tag:blogger.com,1999:blog-11075550544455106672024-03-13T19:50:00.810+07:00Nurun Nisa'"Barangkali kau bukan siapa-siapa di dunia Ini, tetapi bagi seseorang mungkin kau adalah dunianya"
[DYI]Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.comBlogger28125tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-480795705841053172014-03-31T18:52:00.000+07:002014-03-31T18:53:56.940+07:00Morning V: Sea Games<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-OjNJv0CS2gg/UzlW0n2tGVI/AAAAAAAAAHI/Y7Ov1wQE2ps/s1600/Hanoman.JPG" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-OjNJv0CS2gg/UzlW0n2tGVI/AAAAAAAAAHI/Y7Ov1wQE2ps/s320/Hanoman.JPG" /></a></div>
I have a sweet memory with Sea Games. In textbook of English published by Education and Culture Department the author told us that Indonesia won almost this games. It almost held in Jakarta too. So awesome. Unfortunately, the book used when I was in junior high school
Now, Indonesia is ordinary contestant. In football, Indonesia defeated by Thailand. In badminton, the most popular sports, Malaysia is new winner and also ini many sports I don't want to mention--because it's will be a list of sadness.
I like to watch every match in Sea Games. And I always so curious with the medals Indonesia get. It's not about what kind of medals: gold, silver or bronze but about "how many" Indonesia get it. Then, I compared with the medals in last Sea Games. It also make us very happy to do home work to collect the news about Sea Games. We, I with my classmates, asked a shop sold second-use newspaper and cut everything related with the match. Almost of them about the gold and glory. And many faces with smile and "Anoman" mascots in their hand. Yes, it's the past. It's occured when I was in junior high school.
I have no curisority now. Due to the allegation corruption and many disorganized happens with the venue and many thing, I get desperated. I have no insterest with the match of Kampuchea and Singapore versus Indonesia, and Thailand. The same feeling I get with Taufik Hidayat and Simon Santoso in the evening. Nothing, just worry and fear.
I just can't watch Indonesian athletes being loser in sport, with fairness, and the unfairness did by Indonesia government in same times.
What about you?
Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-42949643461242806022014-03-26T16:19:00.002+07:002014-03-26T16:19:44.504+07:00 Morning IVHow are you, Qaddafi? I think, many people looking for Qaddafi--he was lost since the TNC take over of Libya's government. Some of them wanna make sure that this leader of Libya is still alive. And others, wanna deliver him to International Supreme Court [CMIIW] in the name of violation of human right. Well, Qaddafi is one of the most-wanted person in the world.
I know Qaddafi, for first time, as a good leader from Middle East. "Good", in Middle East, not always similar with democratic, fairness, respect on human rights, and something similiar with this. It's just simple: authoritarian-less. No more. But it's meaningfull. Authoritarian-less means that the government provides a system can share the power. It's also means the wealth of nation distributes by the government--in many ways--to the people. "Good" also related with promoting women's right.
In this term, Qaddafi initiate something called Mu'tamar Sy'ab (People Congress)--we can explore it well in Green Book volume 1. It's not bad idea when compare with other countries: many leader loves to be king, with centered power, rather than shares the power with the prime minister or vice president, and also the people--the true owner of sovereignity and power. Mu'tamar Sya'b provides a system making people to be a decision maker for their life. Rizal Sukma said Libya is better than others petro dollar country in Middle East--Libya is welfare state. The government didn't monopolize the petroleum. Other book said, Qaddafi build many school for women. When it compares with Afganistan now, it's a big thing of course. Women, by Qaddafi's policy, can acces many area even military. Qaddafi did it after succesfully coup d'etat in 1st September 1969.
But now everything it's gonna bad. Mu'tamar Sya'b is one system, and decision making is another one. Qaddafi, in the fact, is the center of everything. And the women just supporter. So many people and countries criticize him in the name of democracy. But it'sn not just simple as that. Libya blessed (or cursed?) with petroleum. And, Qaddafi / Libya promotes Uni of Africa. Uni Africa makes Africa well controlled in one system--just like Uni of Europe. It's means, nobody can control Africa without Qaddafi's permission. And nobody access the petroleum also.
But, Qaddafi's era is over now. Let us know the TNC works. And we can see what NATO's want from Libya. But, the aspiration of Libyan's people is everything..
Jakarta. 18 September 2011Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-84200514947038255062014-03-19T10:48:00.000+07:002014-03-26T16:15:53.816+07:00GUSTI TAK MAU PERGI“Kamu merasa bahagia?,” Tyas menanyakannya lagi kepada Gusti. Tyas sebenarnya hanya sekedar menanyakan perasaan terdalam mantan lelakinya. Memastikan Gusti baik-baik saja sejak mereka berpisah setahun lalu.
Sejak itu, komunikasi terputus. Tyas memutuskan diam. Hanya mengirimkan senyum singkat ketika bertemu dengan sang mantan. Sebaliknya, Gusti masih menggebu. Lelaki itu yang memutuskan, tetapi juga ia tidak terima ketika Tyas tak lagi berkata-kata seperti biasa.
Melihat Tyas mogok bicara, Gusti semakin menjadi-jadi. Berkali-kali ia mengirim pesan di media social bisa tiga kali sehari. Layaknya minum obat.
Gusti Arifin mengirim tiga pesan.
“Halo, apa kabar?”
“Sudah makan belum?”
“Selamat bobok, Dinda”.
Tyas menghela nafas. Tyas baru saja memikirkan teman SMA-nya itu. Ia melihatnya bengong di taman fakultas, seperti ada yang mengganjal. Ia segera menuju ke kamar tidur –selimut biru lau itu seperti menariknya. “Apalagi, Gusti? Kau yang mengakhiri dan sekarang kau kacau begini,” Tyas memikirkannya lagi. Tapi hatinya menolak. Gusti yang memutuskan pergi. Tyas sudah menahannya, dan Gusti lebih suka menyenangkan egonya.
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-pLEaTmWrtEc/UykS04-9Q7I/AAAAAAAAAFw/q6xGG8bYklI/s1600/if+you+want+to+be+happy+be+leo+tolstoy+copy.jpg" imageanchor="1" ><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-pLEaTmWrtEc/UykS04-9Q7I/AAAAAAAAAFw/q6xGG8bYklI/s320/if+you+want+to+be+happy+be+leo+tolstoy+copy.jpg" /></a>
Setahun tanpa percakapan memang menyiksa. Tapi Tyas menahan diri—percakapan hanya mewariskan kesedihan. Mungkin lebih buruk lagi: menyalahkan satu sama lain. Memang iya jika dikatakan akhir hubungan mereka karena tidak ada yang mengalah.
“Aku sudah sering mengalah. Aku capek tiap hari begini,” Gusti berteriak keras-keras.
“Aku menunggumu setiap pulang kerja. Aku selalu menelponmu lebih dulu jika kita berselisih paham. Aku membelamu di depan ibuku, apapun kesalahanmu. Aku sabar dengan semua keluhanmu yang tak pernah berubah setahun,” Gusti segera menggelar semua jasanya serupa tukang obat yang biasa praktek di Monas menjelang akhir pekan."
“Aku juga yang menjengukmu sewaktu sakit. Kamu? Aku telpon berkali-kali. Itu jika moodmu bagus”. Isi hati Gusti tumpah ruah.
Seribu kata ia keluarkan, tapi rupanya Gusti belum ingin berhenti. “Itu belum seberapa sakit. Sikapmu kemarin itu merusak segunung harapku”.
Tyas mendadak pucat. Hanya kalimat Gusti yang membuatnya terhenyak. Gusti adalah orang yang bisa membuatnya bertahan. Riwayat cintanya adalah siklus tiga bulan. Tiga bulan berbunga-bunga. Tiga bulan ribut besar dan konflik semi besar. Tiga bulan berikutnya, ribut maha besar.
Tersebutlah Septian, Reza, dan Galih. Tiga nama dan siklus tiga bulan. Tyas menganggap biasa. Lebih dari tiga kali tiga bulan, kisah cinta hanya akan jadi hambar tidak karuan. Kalau ia masih ada, bagi Tyas, berarti ada tambahan pengawet. Makanya, setelah siklus ini lewat, dua belah pihak biasanya tak begitu sehat. Harap maklum, namanya juga cinta pengawet.
Rina dan Rita adalah karibnya. Mereka adalah contoh terbaik teori cinta Tyas. Tyas sering meledek. “Rina, kamu itu cantik minta ampun. Kenapa masih bertahan dengan Farid?” Rina cuma mengulum senyum. Farid sering ingkar janji. Sudah begitu kelakuannya bak polisi: tiap Rina pergi tanpa izin, segera diinterogasi. Tapi ia punya seribu alasan untuk membuat Rina meleleh.
Rita sudah bahan makanan Tyas. Si cewek super duper pinter ini punya banyak penggemar. Cuma, ia sudah klik dengan Mamet. Teman kelasnya tetapi memiliki IP mengecewakan. “Aku memilih setia, Tyas,” Rita memberikan alasannya bertahan.Tapi Tyas tak percaya. Mamet itu banyak tingkah. Ia suka bikin modus kepada cewek-cewek manis jika Rita absen ke kampus. Sesuai dengan ramalan Tyas, tingkh belagu cowok ini dimulai sejak bulan keempat. Ya, tiga bulan kedua.
Tyas baru pensiun meledek setelah bertemu Gusti. Gusti adalah pacarnya yang maha. Selalu menjemputnya hingga kerjanya setahun. Meminta maaf lebih dulu ketika dia yang khilaf. Dan ia begitu terharu ketika ia dipilih daripada ibu Gusti—ia tanpa sengaja memecahkan pot kesayangan ibunya. Tyas tidak mungkin selamat jika Gusti tidak tanggap. Ibu Gusti adalah tipe amat-setia-terhadap-segala-miliknya. Setia macam ini pula yang ditunjukkan kepada mendiang ayahnya.
“Dan tadi siang, mengapa kamu bersama Septian? Tidak ada stok sabar buatmu lagi!”
“Septian itu terus kamu ceritakan sepanjang tiga bulan!”
“Septian itu yang tahu lebih banyak tentang kamu!”
Tyas tak lagi sabar mendengar kalimat Gusti yang beranak pinak. “Aku tidak pernah memintamu Gusti. Merengek segala yang kau sebutkan tadi. Tidak pernah sama sekali,” Tyas berhenti. Ia tidak hendak berkata begini, tapi kalimat ini tak bisa ditarik lagi
“Tapi aku berterima kasih engkau rela memberi. Tolong jangan pergi, Gusti,” Tyas menghiba. Ia mengganti kata-kata kerasnya—ia ingat segala jerih pacarnya itu sejak siklus tiga bulan ketiga. Ini satu-satunya alasan tidak bertahan. Tidak ada yang menahannya pergi seperti Gusti. Tidak Septian atau mantannya yang lain.
Tyas harus puas ketika Gusti benar-benar pergi. Dengan pengalamannya selama ini, Tyas menjadi orang dengan move on yang professional. Begitu doi pergi, ia ke kamar. Menangis dengan satu box tisu. Setelah itu makan menu aneh di kafe paling mahal di kota. Jika badan masih kuat, ia ke bioskop menonton film Bollywood. Tentu saja hape Tyas dimatikan dan pergi dari rumah tanpa pesan.
Hampir setahun berjalan, Tyas merasa bergembira. Upayanya akan berhasil. Sampai pesan itu kembali datang. Lalu, ia mengeluarkan jurus lamanya.
“Kamu merasa bahagia?”
“Jika iya, teruskan saja pesan berantaimu”.
“Jika sudah tidak ada, maka itu saatnya berhenti”.
Tyas menekan enter dan pesan itu segera menuju ke akun Facebook Gusti.
Gusti senang dengan balasan ini. Tapi matanya nanar. Pesan itu kejam sekali buat Gusti. Serupa tombak yang dibidikkan ke ulu hati. Ia tentu tidak bahagia denga cara begini. Tapi apa daya? Siang tadi, ia tak sengaja bertemu Tyas di kantin kampus. Matanya bersirobok dengan perempuan berkulit pualam itu.
Gusti membayangkan Tyas akan gugup. Seharusnya iya, sebab Tyas yang menahannya pergi. Halo, dan tersenyum lalu berlalu dari hadapannya. Hanya itu saja. Tyas sepert robot cerdas era ini.
Ia tak terima dan karenanya terus berkirim pesan.
Makan apa pagi ini, Dinda?
Hati-hati di jalan ya. Seharian mendung..
Jangan pikirkan Septian lagi. Dia membonceng Rita dengan mesra
Tiga bulan itu hanya ramalan
Tiga bulan itu teori yang akan segera berganti
Tyas membacanya, dan terus membacanya lagi. Ia mengetik kembali: “Kamu merasa bahagia?”
Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-51607789231530754562014-03-15T13:50:00.000+07:002014-03-26T16:16:50.205+07:00Jalan-jalan ke LamonganIni sebenarnya perjalanan yang tertunda sekian lama. Teman-teman satu grup sudah ke daerah ini setahun lalu. Waktu itu saya izin sebab pekerjaan mengantri. Harap maklum sebab ini akhir tahun: laporan menggunung. Saya sudah wanti-wanti untuk tidak mengunggah segala hal berkait wisata ini. Tentu dengan setengah bercanda. Selain bikin ngeri ulu hati, juga bisa-bisa saya gigit jari.
Episode paling menarik tentu saja makan--maklum hobi makan. Wahai penggemar seafood, inilah surgamu. Cumi-cumi, ikan, krupuk ikan, ikan asin, udang semua dijamin 105% segar...Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-70847714365456894102014-03-15T11:35:00.001+07:002014-03-26T16:17:44.142+07:00Morning IIINow, I believe what woman activist said: talking about equality is useless when the developed and undeveloped people meet. It doesn't mean that the ideas of Kartini is useless. Now it's important, it's irreplaceable. The problem is how to keep the meaning well-understanding and well-parcticed now. Yes, it's about the actor. The developed people means the people aware how important equalities are: respect, non-discriminative, zero tolerance for voilence, freedom, and so on and they practice it when keep contact with others. The undeveloped people is the contrary. May they know about the ideas, can memorize Kartini's biography well, study about feminism in college--but non sens: they ignore it.
I talk about the professor. He obtain his Ph.D from one of top ten university abroad. But the problem is himself. He discussed with us (the student) about religion and sociology. He explained us about the definition, theories, and methods--the focus is method. I just shaked my head due to the way he chooses to do introductory session. He asked me to be the last person who introduced theirself and ask my mobile number as joking--I the only one woman in the class.
I show my objection but it's continue--making woman to be the object of study--and my mates loves it, I suppose. Then I said to mates; please think first before you argue on some issues. I said like that when they did the simlar statement: blaming the woman. Then other mate said: the professor it's so funny, it's common. He said like that because the proffessor involve with the training and my mate is the participant. But, I said, there many jokes you can make, without blaming woman. I did this when the professor out of class for a while.
I can't count "the jokes" or the samples talk with us--I choose to forget it--but I want to tell one of them. He said, how is your opinion when I hug this women (read; me)? He said: I want, very much but I can't because the norm, the sharia prohibit it. Almost the class laugh. It's hurts. It's annoying. It's harrasment....Do I doing exxageration? I don't think so. I keep silent. I forgive up for giving warning. Actually, I said to the professor, before this joke is released, that the class is academic environment, what he did is a kind of harrasment--but I don't know what the respons is. The class was so rush, I can't explain my argument well. I just hope somebody say something to him. But no one.
I stop pay attention to the class, the mates, an the professor, then. I get frustated for getting bad treatment. Just look the books, look the down. And professor said, without empathiness, don't be angry, Mbak. What? How come? I just wanna be angry--much. To be honest, I can't believe what he did in academic aspect and treat the student today. My friend said that he suggest the topic of his final paper to be neutral, objective. But, with the student in class, he was being subjective person--he defines everything based on his opininon, not feminist opinion, especially on something so-called harrasment. Contractditio interminis. He shaked our hand, finally, before the class closing and ask apoligies for everything make us hurted--I do and I smiled. But, for me, it's healing nothing. Just ceremonial stuff. Dunno what cross in his mind when I looked him and keep smiling. I didn't forgive him yet.
I keep my dissapointment my self, then told it in lunch time with my (woman) mate: she support me much. She get the same treatment in the same day, but from the mates--his professor is clear and firm about the ideas of equality. She told me that her (man) mate avoid her when he shared the paper. What kind of this treatment? Just for your information, the man, and almost the class, is well-educated people in religious issues. They know well our prophet PBUH respect woman much. It's hurted in usual days--and it's very hurted in Kartini's day.
Well, finally, I have to say: so many undeveloped people around us. Please, never associated this term released by New Order regime--i dislike it and you too, I think. It's about the people aware and practice the equality. And, discussing this term didn't meant I'm the typical of developed person. I just can't stop to criticize the attitude of undeveloped people whoever he/she is that treat everybody badly because they are women.
Last but not least, it's difficult to implement the ideas of Ibu Kartini. In the past, I believe that education will be the best way for eradicating the oppression of woman. It's not true--no matter what we've done with our education--we are still under-pressed by patriarchal rules. The level of education, I quote my friend statement, just making us know about the oppression better. How to eradicate the opression is other bussines. It's happen when the developed-women and developed-men meet. I do believe.
Unforgettable Kartini's Day
21th April 2011
20.19 WIBNisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-52744971491877395532013-05-23T00:14:00.003+07:002013-05-23T00:18:49.104+07:00Morning IIYeterday everybody is invited by Majelis Shalawat Gus Dur to celebrates Maulid Nabi, the day when Muhammad PBUH was born, in Ciganjur. I didn’t attend. My friend said that this moment was full with people. What cross in my mind for first time is Gus Dur and his fans. People respect on him, and loves him at the same times. They attend everything related with Gus Dur with passion—including many celebration dedicated to the late.
Yes, Gus Dur is a brilliant person. He is so brave and has a great vision. It’s based on his idea how to treat diversity, how to deal with Islam and local culture, and how to keep Indonesia on the track. Many experts discuss about this topic. Many books have written for these themes—I read it for two or three. Gus Dur become a subject, a discipline of knowledge, then. I would never discuss about this. My understanding is not good enough to do it.
Actually, I just wanna write about the legacy Gus Dur practically. Gus Dur is a good husband, indeed. He cooperated with his beloved wife, Shinta Nuriyah spent the time to create a happy family. It’s not ashamed to do caring about baby, to do household’s tasks, etc. He respect Shinta Nuriyah also: he said to their daughter: “Never ever angry with your Mom. She did everything for us. We can live because of her effort”. Shinta wakes up on the midnight to fry the peanut, pack, and sell them. Shinta also produces es mambo, an fruity iced drink packed with plastic. Shinta did this for several years. It’s unnormal due to Gus Dur is a prolific columnist with a noble family as a background.
Gus Dur get my respect on the way treat the sickness—I loves his way much. He showed us when he suffer from unhealthy condition. Never complaining about our sick, he said, we have to fight. It’s simple but difficult messages. Everybody knows that we love to talk about our condition—even it is a cough, fever, influenza or something like that. We share about our schedule to see the doctor. We complain why our body is not well although we did anything to make it well. We write it on our facebook account or twitter or others social network. It’s quite simple, but for me it’s big thing. How can we regard our selves as Gus Dur-ian, and at the same thing we do the contrary: keep complaining? It’s badly serious. To be honest, we can count how many times Gus Dur complain about his body: seldom.
My mate has same opinion. It’s easier to understand Gus Dur in practice rather than Gus Dur in theory. He said that he helps his wife to care about the baby—I hope it’s true. It’s normal, I said, but he reply: It’s unnormal for my culture. Father usually keep away from this stuff due to the baby is the mother’s business. Okay, I said, it’s pretty good.
How about you?Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-83431737182995880472013-05-22T17:40:00.000+07:002013-05-22T18:00:54.354+07:00Morning ILast night, everybody talked about their inspiration for what they doing now: fighting for their idealism. Yes, the inspiration comes from their mommy. Me too--but I'm speechless, I wanna cry. So, I keep silent. This note for completing the conversation.
Actually, I love the way my mother grow us up. She is ordinary person and we are ordinary family--but she is extraordinary mother. She teaches us how to handle everything about house-hold by her-self--we can't pay for assistant to finish this stuff. So, she makes a task for everybody in the house. My brother has to wash plates, my other brother did nanny's task--he play with our little sister and accompany her, and I sweep the floor everyday. This task will be changed automatically--when somebody leave home for study and something like that, the other one will replace him/her. I wash plates when my brother continue his undergraduate, and so does my others brother/sister. This is public task--we have personal task also. We have to wash our clothes by ourselves when we are in junior high school. We just have one choice: we did it. If we don't, we can't go to school while the uniform is still wet or dirty, for example. It's includes about ironing too.
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-QYEXu9pR8xA/UZykoAoAHXI/AAAAAAAAAFI/24o3KIIhHmw/s1600/MothersDay.gif" imageanchor="1" ><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-QYEXu9pR8xA/UZykoAoAHXI/AAAAAAAAAFI/24o3KIIhHmw/s320/MothersDay.gif" /></a>
For first, I think this is a necessity; nobody assist us, so it's a must to do everything by ourselves. But, when I meet many friends from several regions and family, I changed my minds. They got the same condition, but the treatment is different--almost the women is the busiest people in the house. Wow. I know then that my mother doing something so -called equality before woman and man. I don't know what's in her mind when she decide to share the task for every children--but it's a great idea to do several works without making different between woman's task and man's task.
Then, when I meet many person concern on feminism and gender issues, i know what have mother done is a part of feminism, although she never study about that. The challenge now is on her chilren's hand: how to practice feminism in real world. It's ashamed when we, the children, treat women as a half human being while we know about feminism well.
Finally, thank's Mom for everything you've done. So sorry for everything we've done..
Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-91505526051157423652009-05-05T11:20:00.001+07:002009-07-21T14:36:38.124+07:00Menghadirkan Islam Tanpa Amarah dan Darah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmVvpw3xmHI/AAAAAAAAACw/SqhT_CZXLQI/s1600-h/Cover+Ragam+Ekspresi.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 163px; height: 200px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmVvpw3xmHI/AAAAAAAAACw/SqhT_CZXLQI/s200/Cover+Ragam+Ekspresi.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360813694738602098" border="0" /></a><br />Judul Buku : Ragam Ekspresi Islam Nusantara<br />Pengantar : Abdurrahman Wahid<br />Penerbit : the WAHID Institute<br />Kota Terbit : Jakarta<br />Tahun Terbit : 2008<br />Jumlah Halaman : 145 halaman<br /><br /><br /><div align="justify">Jika kita memperhatikan dengan seksama, banyak berita di media massa, “membantu” pencitraan Islam yang bernada negatif. Islam ditampakkan sebagai sebuah agama yang keras, pro kekerasan, dan merasa paling benar. Citra ini benar adanya—golongan Islam tertentu melakukan tindakan dan penyikapan dengan model ini. Sayangnya citra ini cenderung hiperbolik, berorientasi rating, dan menggelapkan wajah Islam yang lain; wajah Islam yang ramah, damai, dan toleran kepada yang lain.<br /><br />Media “membantu” kelompok Islam melainkan sang liyan dengan cara menyakitkan seperti memukul fisik sang liyan atau mengkafirkan sang liyan. Media memang tidak membantu memukul atau membuat seruan tertulis pernyataan dukungan sikap, tapi media “membantu” mereproduksi sikap golongan tersebut. Reproduksi ini bukan tidak mungkin memungkinkan duplikasi (kekerasan) seperti halnya duplikasi mutilasi yang kini marak. Reproduksi ini dapat juga memunculkan pembenaran sikap golongan Islam yang sebenarnya tidak bisa dibenarkan itu. Pada konteks ini, media bisa menjadi—mengutip Jalaluddin Rakhmat—provokator.<br /><br />Dampak reproduksi ini dapat dilihat dalam tayangan dan berita media menjelang Amrozi dan kawan-kawan. Banyak simpati, bukan kutukan layaknya bagi pelaku kekerasan, justru berdatangan. Sikap ini bukan datang dari sikap sadar dan tahu tragedi bom Bali semata-mata. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, sikap ini (salah satunya) merupakan dampak dari penayangan berturut-turut tindakan Amrozi dan kesedihan orang-orang terdekatnya. Amrozi digambarkan sebagai orang yang melakukan pengeboman karena marah dengan agresi dan arogansi Amerika Serikat (sehingga layak didukung meski korban yang jatuh mayoritas bukan warga Amerika) dan keluarganya digambarkan sedih namun tetap berusaha tegar (sehingga pantas mendapatkan simpati). Sementara derita dan suara korban diperlihatkan dalam durasi yang sebentar. Mereka tenggelam di tengah hirau pikuk curahan hati Amrozi dan kerabatnya. Korban, sebagai yang teraniaya, hanya mendapatkan simpati sekedarnya.<br /><br />Dampak ini tidak seharusnya terus menyebar ke bagian masyarakat. Siapa berani membayangkan wajah Indonesia di masa depan ketika mayoritasnya mengamini sikap keras Amrozi. Siapa berani beranda-andai jika kekerasan kelak menjadi sesuatu yang dibenarkan ketika menyelesaikan persoalan karena meniru Amrozi. Kita layak prihatin dengan andaian ini. Sikap prihatin ini bukan saja sikap moral tanda peduli atau tanpa komitmen untuk menghadirkan berita atau tayangan dari perspektif berbeda. Islam selayaknya dipandang bukan dengan perspektif marah dan darah. Islam dipandang sebagai agama yang menjanjikan yang damai dan toleran. Inilah yang hendak dihadirkan dalam buku bertajuk Ragam Ekspresi Islam Nusantara. Buku ini merupakan kumpulan berita dalam bentuk suplemen di majalah GATRA dan TEMPO—selanjutnya disebut suplemen WI—sepanjang dua tahun.<br /><br />Ketika trend berita menunjukkan maraknya Islam garis keras, suplemen WI menunjukkan fakta lain; pertobatan para pengikut Islam garis keras. Fauzi Isman bertobat dan menyatakan keluar dari Jamaah Warsidi yang bercita-cita mendirikan negara Islam termasuk dengan cara kekerasan. Ia melakukannya setelah bertemu dengan eks-tapol PKI yang akan dihukum mati di penjara tempat dia ditahan. Tapol bernama Asep Suryaman itu terus memegangi Yasin sampai nyawanya disetorkan kepada regu tembak. Tapol PKI itu begitu relijius—tak seperti dibayangkan Fauzi selama ini. Fauzi juga merasakan sesal karena istri dan keluarganya yang paling menderita akibat aktivitasnya. Mereka dengan setia menjenguk Fauzi sementara Jamaah Warsidi lain tidak pernah tampak batang hitungnya lagi (h. 83).<br /><br />Suplemen WI juga mewawancarai langsung Nasir Abbas yang sudah bertobat dari Jamaah Islamiyah. Ia bertobat setelah menyaksikan kelakuan anggota JI membunuhi warga sipil termasuk perempuan yang tidak bersalah dalam konflik Poso. Nasir menganggapnya sebagai dosa besar. Sebagai bentuk pertobatannya, Nasir berbicara dengan pelaku kekerasan seperti Hasanuddin (pelaku mutilasi Poso) agar segera hijrah dari jalur kekerasan karena tidak bersesuaian dengan ajaran Nabi SAW (h.85)<br /><br />Gerakan Islam garis keras ini dianggap bermula dari ketimpangan ekonomi. Suplemen WI memotret pesantren, yang kerap dituding sebagai persemaian benih-benih Islam keras, yang dengan tekun menjalankan bisnis. Dengan titel “Mengikis Fundamentalis dengan Berbisnis”, suplemen WI mengisahkan kiprah pesantren Nurul Iman di Parung yang produktif menjalankan usaha pengolahan sampah, perkebunan sawah, dan pabrik roti. Dari usaha ini, pesantren yang diasuh oleh Habib Saggaf bin Mahdi mampu menghidupi delapan ribu santrinya dengan gratis. Paul Wolfowitz, direktur Bank Dunia ketika itu kagum dibuatnya, sehingga mengutus delegasi untuk menyambangi pesantren yang berdiri sejak 1998 itu (h. 45).<br /><br />Yang penting dan sangat mendasar adalah memandang teks kitab suci sebagai dasar pembenar gerakan Islam garis keras. Suplemen WI meneropong berbagai literatur klasik dalam bentuk kitab kuning yang lazim diajarkan di pesantren. Dalam kitab Raudlah al-Thalibin karya Yahya bin Sharaf al-Dimasyqi disebutkan bahwa orang kafir (baca; berbeda keyakinan) tidak boleh diperangi. Kecuali, kata KH. Imam Ghazali Said, jika mereka melakukan hirabah (pemberontakan) pada pemerintah Islam (h. 75). Dengan demikian, bila orang kafir berlaku ramah dan damai maka tidak boleh ditindak memakai kekerasan meskipun mereka memiliki ritual dan keyakinan yang berbeda dengan orang Islam. Pemaknaan yang berbeda ini juga terjadi pada teks kitab suci yang menjadi pembenar kekerasan terhadap perempuan—bahwa perempuan boleh dipukul oleh suaminya jika melakukan nusyuz (pembangkangan). Kekerasan ini harus dilawan, bukan dilestarikan. Bu Nyai Ruqayyah (Bondowoso), Bu Nyai Djuju Zubaidah (Tasikmalaya), Bu Nyai Lilik Nihayah (Cirebon), Baiq Elly Mahmudah (Lombok), dan Shinta Nuriyah Wahid bahkan melakukan advokasi kepada perempuan korban kekerasan psikis maupun seksual (h. 91). Mereka bukan saja pejuang perempuan tetapi pemuka pesantren yang selama ini kerap dianggap sebagai lahan domestikasi dan diskriminasi paling subur.<br /><br />Cuplikan-cuplikan ini menghadirkan wajah Islam lain yang menyejukkan. Sesuatu yang disebut oleh Toriq Haddad sebagai pereda rasa cemas atas munculnya kelompok (Islam) dengan rasa toleransi tipis. Kutipan wawancara di suplemen ini, kata pemimpin redaksi majalah TEMPO tersebut, dipilih yang tenang, rileks, dan melegakan seperti meneguk air es di panas terik. Asrori S. Karni, dalam kata pengantarnya, menyatakan bahwa suplemen ini adalah upaya menampilkan wajah moderat kreatif kaum santri arus utama yang selama ini cenderung menjadi “mayoritas diam” (silent majority). Peraih Muchtar Lubis award itu menilai bahwa kaum santri tipikal ini lebih sepi ing pamrih tapi rame ing gawe; mereka banyak berkreasi tapi tidak terlalu memikirkan publikasi. Publikasi ini, kata redaktur GATRA ini, seharusnya wajib mengingat kinerja sosial mereka penting menjadi pembelajaran publik luas.<br /><br />Ungkapan para jurnalis senior ini memang benar adanya. Suplemen ini memandang Islam dalam kerangka kearifan lokal yang penuh harmoni, bukan konfrontasi teologi. Mereka berbeda tapi saling menghargai seperti didedahkan oleh Mpu Tantular dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika” sejak Majapahit berkuasa dulu kala. Inilah sesungguhnya wajah Islam Indonesia. Islam Indonesia ini memiliki karakter yang unik. Keunikan yang dimaksud adalah perpaduan antara watak kultural dari agama Islam dengan adat istiadat bangsa Indonesia yang dominan—mengutip Gus Dur dalam pengantar buku ini—dan kehilangan watak politisnya. Jika watak politis ini kemudian ditonjolkan sedemikian rupa sehingga menjadi ideologis maka Islam akan jumud dan rigid. Kejumudan mendatangkan fanatisme keberagamaan yang mendekat pada kekerasan.<br /><br />Penasaran? Selamat membaca. Dijamin beda! (Nurun Nisa')</div>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-7906112461918957052009-05-05T11:19:00.000+07:002009-05-05T11:20:06.006+07:00Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-58983021808920628752009-04-27T11:49:00.000+07:002009-07-21T18:38:32.788+07:00(Agak) Lega Rasanya 2<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmWoDqOpj6I/AAAAAAAAAD8/aJCn-qOixYU/s1600-h/Foto+Wisuda.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px; height: 150px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmWoDqOpj6I/AAAAAAAAAD8/aJCn-qOixYU/s200/Foto+Wisuda.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360875712283250594" border="0" /></a>Alhamdulillah, setelah perjuangan melawan kemalasan selama hampir 8 bulan, hari itu datang; hari wisuda. Tepat 4 bulan setelah sidang skripsi, saya memperolah gelar S. Sos (gak pake i-islam, meski kuliah di U-Islam-N, he2). Seneng akhirnya hari itu datang juga. Tapi sempet sedih karena kawan-kawan senasib sependeritaan satu angkatan tidak ada yang diwisuda hari itu. Padahal, dari kemarin-kemarin sudah janji mau wisuda berjamaah; ada yang sudah bab 3, ada yang sudah mau daftar sidang, bla bla. Tapi ya keinginan itu ternyata belum kesampaian. Ketidaksamapaian itu ternyata "diganti" dengan yang lain; wisuda saya ternyata berbarengan dengan wisuda orang-orang penting--tentu saja penting menurut saya. Orang penting pertama adalah dosen penguji saya. Dia juga diwisuda dengan gelar Dr. Kebayang gak tuh kita menyalami dosen kita di arena wisuda? He he. Orang penting kedua adalah Yusuf Mansyur. Semua orang tahu siapa tahu (terutama yang punya tipi). Huh, kebayang ramainya. Kuli tinta (utamanya dari kalangan infotainment) tumpah ruah di tempat wisuda. Lumayan kepala agak sakit--karena nengok ke belakang. Deretan bangku sang ustadz persis dua deret di belakang bangku saya. Katrok juga sih ya..tapi gitu-lah anak UIN ketemu artis dari kalangan sendiri. Kalau dari kalangan lain sih kayaknya enggak norak-norak bergembira gitu.<br /><div align="justify"><br />Btw, prosesi wisuda selesai berarti prosesi baru harus segera dimulai; ngurus ijazah. Waduh sekarang (sudah 3 bulan) baru inget lagi. Itupun karena sering diingetin..(paraaaah). Sudah mau ngurus ijazah minggu lalu tapi dilalah-nya kok ada halangan terus. Jadi ya tambah luama ini. Tambah mualesnya..<br /><br />Ya, Rabb, jauhkan hamba-Mu ini dari kemalasan..Amin ya Mujibas Sailin..</div>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-83734239998115725112008-09-24T19:33:00.000+07:002009-07-21T19:31:45.284+07:00(Agak) Lega Rasanya<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmWyRHyIJyI/AAAAAAAAAEE/aTS-BSOjO88/s1600-h/Green+Book+I.gif"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 158px; height: 200px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmWyRHyIJyI/AAAAAAAAAEE/aTS-BSOjO88/s200/Green+Book+I.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360886938671261474" border="0" /></a>Perut saya melilit fajar itu. Mulas berat. Isinya keluar semua. Kepala saya mendadak pusing. Saya bingung..saya puasa dan saya harus sidang skripsi hari itu (buku rujukan skripsi bisa dilihat di gambar, Pen.) Kebingungan ini bukan karena saya fokus terhadap materi skripsi tapi karena kebiasaan buruk puasa saya. Saya tidak bisa berpikir jernih kalau perut lapar. Tidak bisa berpikir logis kalau tidak ada logistik. Halah. Waduh..apakah saya batal puasa demi munaqasyah ini? Untung saya masih kuat hilir mudik Ciputat - Kedaung. Batal puasa saya urungkan. Dan saya akhirnya melalui ujian pagi itu--sehari menjelang Nine Eleven--dengan nilai sesuai harapan. Jawaban saya serba ngecap. Tapi saya kuatkan untuk memberikan argumen yang masuk akal. Dan, saya mendapatkan ganjaran itu. Makasih semuanya.<br /><div style="text-align: justify;"><br />Thank God, mom, sista, bro, and all friend who support me with everything, everywhere, and everytime I need it..<br /><br />Tapi masih revisi sekarang. Penyakit malesnya kambuh lagi. Leganya baru setengah..Tapi lumayanlah..bisa setor muka sama Ummi di rumah, saudara, bulek, budhe, pakdhe, paklik. "Alhamdulillah, kulo sampun lulus. Pangestunipun..."<br /><br />23 September 2008<br /><br />Hotel Sofyan Betawi<br />(belum tarawehan)</div>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-32429981026771686252008-05-02T16:41:00.000+07:002008-09-24T19:28:09.117+07:00Ragam Pandangan Aliran Sempalan<p style="margin-left: 1.5in; text-indent: -1.5in; margin-bottom: 0in; text-align: left;" lang="id-ID"> <span style="font-family:Book Antiqua,serif;font-size:100%;"><b>Judul Buku : Respon Pemerintah, Ormas, dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia</b></span></p><p style="margin-bottom: 0in;" align="left" lang="id-ID"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;font-size:100%;"><b>Editor : Haidlor Ali Ahmad<br /></b></span></p><p style="margin-bottom: 0in;" align="left" lang="id-ID"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;font-size:100%;"><b><span lang="id-ID">Penerbit : Badan Litbang & Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI</span><br /></b></span></p><p style="margin-bottom: 0in;" align="left" lang="id-ID"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;font-size:100%;"><b>Tahun Terbit : 2007<br /></b></span></p><div> </div><div> </div><p style="margin-bottom: 0in;" align="left" lang="id-ID"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;font-size:100%;"><b>Kota Terbit : Jakarta<br /></b></span></p><p style="margin-bottom: 0in;" align="left" lang="id-ID"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;font-size:100%;"><b>Jumlah Halaman : 207 hlm</b></span></p> <p style="margin-bottom: 0in; text-align: center;" lang="id-ID"><span style="font-size:100%;"><br /></span></p><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;font-size:100%;"><b>RAGAM SUDUT PANDANG ALIRAN SEMPALAN</b></span></p><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><b><span lang="id-ID"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Oleh: Nurun Nisa'</span></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><br /></span><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Di sebuah SMU di Banjarmasin, seorang siswi mesti menghadap kepala sekolahnya. Bukan karena tidak disiplin. Tetapi disebabkan oleh aliran Ahmadiyah yang dianutnya dan orang tuanya. Sementara siswa lain adalah pengikut aliran yang familiar; NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan al-Wathaniyah. Ia disuruh pindah aliran karena dinilai sesat, tapi ia tak mau. </span></span></div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Kesesatan Ahmadiyah—seperti difatwakan oleh MUI—membuat pimpinan sekolah itu ketar-ketir. Akhirnya, sebuah makalah dibuat oleh pihak sekolah untuk menjelaskan kesesatan Ahmadiyah lalu diperbanyak dan disebarkan kepada guru, murid, dan orang tua/wali murid. Tak terima, pengurus Ahmadiyah setempat membuat makalah tandingan. Timbullah masalah sehingga kepala Departemen Agama Kalimantan Selatan mesti turun tangan. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Kasus ini merupakan potret kehidupan keberagamaan di negeri ini. Pemicunya banyak hal. Antara lain, karena pemahaman atau pengetahuan terhadap aliran Ahmadiyah yang terdistorsi—entah disengaja atau tidak. Pada tahap akut, distorsi ini dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Agar tidak berulang, perlu kiranya penjelasan soal aliran ini dan berbagai aliran sempalan lainnya yang berbeda dari <i>main-stream</i> secara komprehensif dan <i>cover both side</i> (baca: netral)<i>.</i> </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Di sinilah, signifikansi dari kehadiran buku yang bertajuk "Respon Pemerintah, Ormas, dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia" yang diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI. Buku ini merupakan laporan hasil serangkaian penelitian lapangan yang dilakukan sepanjang 2006 yang ditujukan untuk menelaah respon pemerintah, ormas, dan masyarakat terhadap fenomena aliran sempalan yang muncul dan merebak di mana-mana yang seringkali memunculkan persoalan baru dalam masyarakat. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;" lang="id-ID"> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Penelitian dilakukan di enam daerah dengan lima aliran sempalan sebagai sasaran penelitiannya. Yakni Jamaah Tabligh dan Ahmadiyah di Banjarmasin oleh Zaenal Abidin, Imam Syaukani, dan Antung Norhasanah. LDII dan Jamaah Tabligh di Samarinda oleh Abdul Aziz, Ahsanul Khalikin, dan Sri Sulastri. Tiga organisasi ini juga diteliti oleh Ridwan Lubis, Mursyid Ali, dan Akmal Salim Ruhana di Palembang dan Bashori A. Hakim, Eko Aliroso & Fakhruddin M. di Tanjung Pinang. LDII dan Saksi-saksi Yehowa di Manado diteliti oleh Nuhrison M. Nuh, Asmawati, dan Sri Haryati. Muh. Nahar Nahrawi, Wakhid Sugiyarto, dan Reza Perwira meneliti Ahmadiyah dan Hindu Tamil di Medan. Daerah ini dipilih karena tingkat perubahan sosialnya tinggi. Pada kondisi ini, masuknya berbagai aliran sempalan akan cepat mendapat respon dari berbagai kalangan karena—disadari atau tidak—mempengaruhi struktur sosial-politis di tempat tersebut. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Lima aliran ini dianggap sempalan karena memiliki karakteristik unik yang membedakannya dengan (agama) induk yang dipahami oleh <i>main-stream</i>. Perbedaan ini amat kuat sehingga nampak jauh dari aslinya—disebutlah sebagai cabang atau sempalan. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Jamaah Tabligh, misalnya, memiliki ajaran <i>khuruj</i>. Ajaran ini menugaskan para penganutnya untuk berdakwah dalam kurun waktu tertentu ke tempat tertentu dengan meninggalkan segala tanggungannya, termasuk istri dan keluarganya guna menyebarkan ajaran Islam. Cara dakwah seperti itu, bagi mayoritas Islam, adalah keliru sebab Nabi tak pernah melakukannya. Ahmadiyah dinilai lain karena telah menahbiskan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Nabi. Sementara, kebanyakan orang Islam memiliki keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan yang pungkasan. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">LDII pernah dicap ingkar sunnah atau mengingkari hadits sebagai landasan keagamannya. Padahal, NU dan Muhammadiyah memegang teguh al-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman agama. Saksi-saksi Yehowa tidak mengakui Trinitas yang menjadi asas ketuhanan Kristen pada umumnya. Sementara itu Hindu Tamil tak merayakan Nyepi, Galungan, dan Kuningan seperti halnya pemeluk Hindu Bali. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><br /></span> <div style="text-align: center;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;font-size:100%;">****</span> </div></div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Perbedaan penafsiran keagamaan di atas menimbulkan respon beragam. Ormas, masyarakat, dan pemerintah memiliki sikap beragam; mulai dari apreasiasi positif, menentang bahkan acuh tak acuh terhadap fenomena aliran sempalan ini. Perbedaan ini karena memang dilatari ketidaksamaan pola pikir dan <i>setting</i> sosial budaya masing-masing. Belum lagi soal pembedaan kategorisasi penilaian: aspek aqidah dan aspek muamalah. Aspek aqidah biasanya tegas dan cenderung nomatif. Aspek ini mendapat sorotan tajam, dan bahkan perlakuan ekstrim seperti penyerangan, oleh masyarakat yang tidak setuju terhadap keberadaan mereka. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Ahmadiyah di Banjarmasin misalnya. Markasnya hampir-hampir diserang seperti halnya Ahmadiyah di Bogor karena dicap sebagai aliran sempalan yang sesat. Demikian pula Saksi-saksi Yehowa di Medan. Aliran yang berpusat di New York ini ditentang "habis-habisan" oleh Gereja Masehi Injili Manado (GMIM) karena penolakannya atas doktrin Trinitas. Sayangnya, peneliti yang bersangkutan tidak menjelaskan term "habis-habisan" tersebut secara komprehensif. Di Samarinda, beberapa tokoh agama merekomendasikan agar LDII ditindak tegas sebelum konflik meletus. Hal ini didasari adanya beberapa kejanggalan tak terjelaskan—semisal penggunaan sandi 3-1-3 dan 3-5-4 di kalangan warga LDII yang hanya dapat dipahami pihak intern LDII—yang didapat dari hasil penelitian mereka sendiri terhadap ajaran LDII. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Aspek muamalah biasanya menyangkut teknik dakwah, cara bergaul, dan cara hidup. Titik tolaknya adalah keterbukaan atau inklusivitas dalam bermasyarakat. Sanksinya, dikucilkan secara sosial. Persoalan Jamaah Tabligh, LDII, dan Hindu Tamil berkutat pada masalah ini. Jamaah Tabligh di semua sasaran penelitian mendapat respon negatif karena sikapnya yang jorok padahal aktivitas mereka berpusat di masjid. Di Tanjung Pinang, pengurus NU mengeluhkan gaya dakwah aliran yang diidentikan dengan Nurhasan al-Ubaidah ini yang merasa (paling) benar sendiri. Pengurus Muhammadiyah di sana juga mengeluhkan sikap anggota LDII yang cenderung memaksakan kehendak. Selain itu, hampir di semua daerah penelitian, LDII dianggap kurang bergaul sehingga kurang disenangi masyarakat sekitar.</span></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Tetapi bukan berarti tidak ada kesan positif dari tiga aliran sempalan ini. Jamaah Tabligh, sebagai contoh, dianggap menyebarkan kebiasaan baik—bahkan dinilai meningkatkan gairah keagamaan yang cenderung meredup akhir-akhir ini semisal sholat berjamaah. Karena itu, keberadaan aliran yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi ini didukung. Bahkan, pengurus Muhammadiyah di Palembang menjadi anggota aliran yang diimpor dari India ini karena didasari motif tersebut. Hindu Tamil di Medan beradaptasi dengan baik, meski pernah timbul masalah disebabkan perbedaan hari besar keagamaan, terhadap saudaranya; pemeluk Hindu Bali. Kondisi ini juga didorong oleh tingkat perekonomian dan pendidikan yang cukup tinggi di sana. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;" lang="id-ID"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Di luar itu, beberapa dari warga masyarakat memilih sikap acuh tak acuh karena kehadiran semua aliran hampir-hampir tidak memiliki pengaruh—jika tidak ingin dikatakan tidak ada sama sekali—terhadap kehidupan mereka.</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;" lang="id-ID"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Yang menarik adalah respon dari MUI yang posisinya ganda—sebagai ormas dan (kadang-kadang) sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Sikap MUI di daerah penelitian menunjukkan kecenderungan yang berbeda, meski sandaran hukum mereka menyikapi aliran-aliran sempalan tetap saja fatwa dari Komisi Fatwa MUI Pusat. Ini terlihat dalam tindakan atau pendekatan yang diambil terutama menyangkut keberadaan LDII dan Ahmadiyah yang secara resmi dicap sesat oleh MUI. Citra yang lebih menonjol adalah MUI daerah justru menjadi penyerap aspirasi masyarakat.</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Dalam penelitian di Samarinda, MUI menerima kritik dari masyarakat. Akan tetapi karena LDII bersedia beradaptasi dengan tradisi setempat, maka MUI hanya memberi teguran saja. Tidak ada larangan khusus. Sikap yang hampir senada diambil oleh MUI di Banjarmasin. MUI Palembang mengeluhkan fanatisme LDII yang dapat menimbulkan rasa curiga dan salah faham antar warga dan antar kelompok sesama Muslim. Tetapi sebatas itu saja. MUI Manado menekankan bahwa secara kelembagaan, LDII memang ditolak. Tetapi bukan berarti harus dikebiri perkembangannya. Asalkan, mereka tidak ekspansif. Kalau ini dijalankan, tidak akan ada masalah. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Di Banjarmasin, MUI mengakui fatwa sesat buat Ahmadiyah. Tetapi, sang ketua, menenkankan bahwa yang demikian bukan pembenar terjadinya kekerasan. Karena itulah, ia memilih pendekatan persuasif—bukan represif—terhadap aliran ini. Tidak ada keterangan tentang respon Ahmadiyah di Medan. Hanya saja, peneliti mengungkapkan bahwa Medan merupakan daerah multi-etnis dan multi-agama. Kondisi masyarakat dengan tipikal ini, membuat masyarakatnya telah lama belajar berbeda dalam memeluk agama. Meskipun, potensi konflik antar kelompok cukup besar, namun sampai penelitian tersebut selesai ditulis, belum pernah terjadi konflik. Mungkin, dugaan penulis, Ahmadiyah mengalami perlakuan serupa; tidak ada soal di sana meski sudah dianggap sesat. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;" lang="id-ID"> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: center;" lang="id-ID"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;font-size:100%;">****</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Buku ini berbeda dengan buku penelitian sejenis. Bila penelitian biasanya cukup diakhiri kesimpulan, ia menambahkan rekomendasi di penutup laporan penelitiannya. Di sini, beberapa rekomendasi diajukan khusus kepada para aparat berwenang sehingga terkesan "struktural". Misalnya saja, adanya rekomendasi berbentuk tuntutan dan ekspektasi yang besar atas keterlibatan aparat Departemen Agama atau Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam konflik akibat perbedaan tafsir keagamaan. Ini cukup wajar. Sebab tujuan buku ini memang untuk dijadikan rujukan dasar atau masukan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya membangun kerukunan kehidupan keagamaan di negeri ini—khususnya ketika aliran sempalan mulai meruyak di mana-mana. Sebagaimana kita ketahui, kerukunan menjadi barang mahal ketika aliran sempalan itu hadir karena dipicu berbagai macam sebab. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Namun, rekomendasi yang diajukan para peneliti ini bukan berarti tak menyimpan persoalan. Tuntutan inklusivitas LDII di Samarinda misalnya tampak berlebihan. Dalam segi kemasyarakatan, inklusivitas ini sangat mungkin diwujudkan. Penulis sepakat penuh atas inklusivitas secara sosial—ia dapat menjadi jurus ampuh mendamaikan berbagai perbedaan teologis di masyarakat. </span></span> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;" lang="id-ID"> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Akan tetapi, ini menjadi lain ceritanya jika inklusivitas yang dimaksud dilaksanakan dalam taraf peribadatan. Mengganti imam masjid dari yang bukan golongan LDII, bagi penulis, serasa memangkas perbedaan (teologis) yang mestinya kita hormati. Secara real, kita dapat menyaksikan betapa ormas terbesar di negeri ini (baca: NU dan Muhammadiyah), agak mengalami kesulitan jika mesti melakukan "inklusivitas masjid" ini. Sebagai organisasi yang dicap sesat, bila rekomendasi ini benar-benar dilaksanakan, nampaknya para penganut LDII akan memperoleh kesulitan yang berganda.</span></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;" lang="id-ID"> </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;">Selain itu, jaminan kebebasan keberagamaan di buku ini kurang mendapat penekanan. Editor sempat menyebut hal itu dalam pengantarnya tetapi detailnya tidak dijabarkan. Pasal 28 E UUD 1945 Amandemen IV, Konvensi Hak Sipil Politik PBB, dan peraturan terkait lainnya sepertinya perlu ditambahkan. Ini penting. Karena, di sinilah sesungguhnya perbedaan tafsir keagamaan yang ujungnya adalah berbagai aliran sempalan di atas akan menemu konteksnya. Mereka, yang berbeda dari <i>main-stream</i>, berhak mengekspresikan keyakinannya dan masyarakat memiliki sandaran hukum untuk menghormatinya. Ketika dua sikap telah ada, kerukunan akan muncul dengan sendirinya.</span></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span lang="id-ID" style="font-size:100%;"><span style="font-family:Book Antiqua,serif;"><br />Di atas itu semua, buku ini berguna sekali kehadirannya. Paling tidak, buku ini mampu merangkum berbagai respon yang ada dalam masyarakat. Melalui buku ini, kita tahu bahwa perbedaan pandangan keagamaan di daerah penelitian tidak sampai kepada penganiayaan fisik seperti halnya tragedi penyerbuan kampus Ahmadiyah di Parung beberapa waktu lalu. Ketidaksetujuan terhadap keberadaan aliran sempalan, sebagian besar, diekspresikan hanya secara verbal. Namun, bukan berarti bahwa persoalan ini tidak akan berkembang menjadi lebih besar sehingga harus segera diselesaikan. Tentu saja, dialog dan keterbukaan dari kedua belak pihak menjadi prasyarat utama. Semua pihak wajib terlibat, termasuk pemerintah. <i>Wallahu A'lam</i> <i>bish Shawab</i>. </span></span></div><p style="margin-bottom: 0in;" align="left"> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="left"> </p>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-32940929977031370992007-12-28T11:25:00.000+07:002009-07-21T19:16:21.152+07:00Menggugat Kegamangan Negara Mengawal Pluralisme<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmWVop8I8GI/AAAAAAAAADs/vIo1qcLnJMc/s1600-h/Cover+Politisasi+Agama.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 90px; height: 121px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmWVop8I8GI/AAAAAAAAADs/vIo1qcLnJMc/s200/Cover+Politisasi+Agama.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360855457139847266" border="0" /></a><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Georgia; panose-1:2 4 5 2 5 4 5 2 3 3; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} p.style1, li.style1, div.style1 {mso-style-name:style1; mso-style-unhide:no; mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0in; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0in; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;} </style> <![endif]--> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Judul Buku: Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di Indonesia<o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Penulis: Ahmad Suaedy dkk<o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Penerbit: the WAHID Institute, 2007<br /></span></p><p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Jumlah Halaman: 366 hlm<br /></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Perkara pluralisme ternyata begitu mahal di negeri ini. Modal awal berupa kemajemukan suku, bangsa, dan agama yang sudah ada seperti sia-sia. Mereka yang tidak memiliki toleransi terus mengoyaknya. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Mereka membuat bangsa ini saling bersyak-wasangka kepada golongan di luarnya. Umat Islam, misalnya. Mereka lebih sering ribut soal kapan berhari raya. Pilihan bermazhab juga acap memicu konflik. Atau soal tafsir agama yang menimbulkan bermacam aliran dengan stempel penyesatan di mana-mana. Tak (pernah) dipikirkan kalau jumlah mereka yang besar sangat potensial untuk membangun negara ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Tidak mengherankan jika keadaan ini pararel dengan sebuah adagium—bahwa terlalu banyak alasan bagi kita untuk membenci yang lain, yang berbeda dengan kita. Sebaliknya, terlalu sedikit alasan bagi kita untuk mencintai mereka. Inilah yang membuat kita koyak. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Beberapa kejadian menegaskan kesan ini. Dua hal yang paling menyolok; penyesatan aliran dan perusakan tempat ibadat. Penyesatan aliran meruyak setahun belakangan ini. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, YKNCA, Ponpes I’tikaf Ngaji Lelaku, dan Komunitas Eden dicap sesat. Pemimpinnya – Ardhi Husein, M. Yusman Roy, dan Lia Eden – diajukan ke muka hukum karena dianggap menodai agama. Propertinya dihancurkan secara massal. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Tak ada empati di situ. Yang ada semangat menghancurkan karena perbedaan adalah bencana. Demikian halnya perusakan sejumlah tempat ibadat. Karena dianggap “bukan golongan kami”, bangunan boleh dihancurkan. Tak peduli memiliki ijin membangun atau tidak. Padahal, perusak dan yang bangunannya dirusak merupakan tetangga dekat. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Dua hal inilah yang dikemas apik dalam buku bertitel <em><span style=";font-family:";" >Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di Indonesia</span></em>. Hasil penelitian di 7 (tujuh) kota ini, secara komprehensif merangkum berbagai peristiwa diskriminasi yang dialami kelompok minoritas. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Peristiwa tersebut adalah pelarangan pencatatan pernikahan Jemaat Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan oleh Rosyidin & Ali Mursyid, kasus pembubaran padepokan YKNCA oleh Andri A. & Salman al-Farizi, kasus penyesatan dan kriminalisasi M. Yusman Roy oleh Paring Waluyo Utomo & Levi Riyansyah, kisah formalisasi agama di Maros dan Pangkep oleh Subair Umam & Syamsul Pattinjo, kasus penyerangan kampus Ahmadiyah Parung Bogor oleh Mujtaba Hamdi, penutupan gereja di Kronelan dan Demakan oleh Nur Khalik Ridwan & Anas Aizuddin, dan penerapan syari’at Islam di Aceh oleh peneliti Fullbright Indonesia Troy A. Johnson. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Beberapa temuan dari penelitian ini: <em><span style=";font-family:";" >pertama</span></em>, pluralisme di masyarakat ternyata memiliki landasan yang rapuh. Sedikit saja terkena gesekan, ia hancur berkeping-keping. Tak ada lagi yang mengikat. Yang tersisa cuma kebencian. Juga keinginan untuk saling mengenyahkan. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><em><span style=";font-family:";" >Kedua</span></em><span style=";font-family:";" > , ketika terjadi ribut-ribut soal perbedaan, negara berikut aparatnya menjadi andalan. Stempel sesat atau tidaknya sebuah aliran diserahkan pada MUI. Sementara ribut-ribut soal rumah ibadat dipasrahkan pada pejabat kelurahan dan seterusnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Celakanya, negara tidak jarang bertindak semena-mena. Seringkali terjadi standar ganda— kesalahan mayoritas tidak dianggap ada, sementara bagi minoritas berlaku sebaliknya. Atau keputusan aparat negara berdasar desakan massa, bukan regulasi yang ada. Di titik inilah, negara terlihat gamang mengawal pluralisme. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Sikap negara jelas merugikan pihak minoritas. Pada titik ini, buku setebal 366 halaman ini menemukan relevansinya. Buku ini mendedahkan serangkaian data dan fakta penelitian di lapangan yang membuktikan bahwa kegamangan negara itu nyata-nyata ada. <o:p></o:p></span></p> <p class="style1" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" >Karena itu, para peneliti dalam buku ini bukan saja berperan sebagai pemerhati yang menuliskan hasil amatannya. Tetapi, di beberapa daerah, mereka juga mengadvokasi objek penelitiannya untuk mengawal pluralisme. Sebuah usaha yang layak diapresiasi. [<strong><span style=";font-family:";" >Nurun Nisa</span></strong>] <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:";" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";" ><o:p> </o:p></span></p><table width="820"><tbody><tr><td colspan="3"><br /></td></tr><tr><td width="86"><br /></td><td width="5"><br /></td><td width="713"><br /></td></tr><tr><td><br /></td><td><br /></td><td><br /></td></tr><tr><td><br /></td><td><br /></td><td><br /></td></tr></tbody></table>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-34935140711834432752007-11-15T13:44:00.000+07:002007-11-15T13:53:25.245+07:00Rukun atau Dibikin Rukun?<b><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"></span></b><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Rabu malam (22/08/07), terdengar pekikan “Allahu Akbar,” di depan Gedung Gracia, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Cirebon</st1:place></st1:City>. Pekikan ini berasal dari puluhan orang yang mengaku mewakili umat Islam. Mereka datang dari kelompok Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI), Forum Umat & Ulama <span class="yshortcuts">Indonesia</span> (FUUI), dan Gerakan Anti Pemurtadan & Aliran Sesat (GAPAS). </span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Kedatangan mereka untuk menyerbu gedung itu. Sebab, pengurusnya dianggap melecehkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 01/Ber/MDN-MAG/1969 tanggal 13 September 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">“Kalau gedung itu gereja, kami tidak keberatan. Fungsinya gedung itu untuk umum, tapi disalahgunakan, makanya kami protes dan minta agar peribadatan di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:City></st1:place> dihentikan,” kata Andi Mulya, Ketua Laskar FUI Kota Cirebon. <br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Silang sengketa terus berlangsung hingga Kapolsekta Cirebon Utara Barat, AKP Sukhemi dan Dandenpom III/3 Siliwangi Letkol CPM Agus datang melerai. Mereka kemudian menjembatani pertemuan dengan salah satu pengelola gedung tersebut, Andreas Budi Hartono.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Tapi rupanya ini belum selesai. Pihak korban mengadukan nasibnya ke Fahmina Institute—sebuah lembaga untuk pengembangan wacana agama kritis di <st1:place st="on"><st1:city st="on">Cirebon</st1:City></st1:place>—karena merasa didiskriminasikan.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">“Yang seharusnya berperan dalam masalah ini ya FKUB, bukan Fahmina,” keluh Ali Mursyid. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">FKUB Kota Cirebon, menurut aktivis Fahmina Institute ini, justru tak tampak batang hidungnya ketika kasus ini mengemuka. </span></p> <div style="text-align: center;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> ****</span><br /><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"></span></div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><br />Sesungguhnya keluhan Kang Ali, panggilan akrab Ali Mursyid, ini amat wajar. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibangun dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan mestinya turut berperan dalam kasus ini. Apalagi mereka beroleh tugas khusus untuk mengawal berbagai urusan menyangkut rumah peribadatan. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Semua ini termaktub dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 9/2006 dan No. 8/2006. “FKUB Kabupaten memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat,” jelas pasal 9 ayat 2 Perber itu.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Kekecewaan terhadap FKUB ini kian menumpuk ditambah dengan permasalahan yang sejak semula ada ketika FKUB akan dibentuk; mulai dari sengketa jumlah kursi sampai sosialisasi yang minim.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">FKUB Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya. Ia belum terbentuk sampai sekarang. Pihak yang terlibat ribut-ribut merasa perwakilan di FKUB tidak representatif. “Perwakilan FKUB yang dimaksud berbasis pada jumlah umat. Umat yang kuantitasnya lebih banyak akan mendapatkan kursi yang lebih banyak,” jelas Nur Khalik Ridwan. <em><span style="font-family: Arial;"></span></em> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Rebutan posisi di kalangan intern terjadi di FKUB Kab. Sukabumi. Intern Protestan di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:City></st1:place> berseteru karena rebutan jabatan. Salah satu pihak amat ngotot duduk di jabatan itu. “Ini karena jabatan FKUB mendapat alokasi dana khusus dari APBD,” terang Daden Sukendar, Sekretaris FKUB Kabupaten Sukabumi, Rabu (19/09/07).<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Di tubuh FKUB Kab. <span class="yshortcuts">Bekasi malah keanggotaannya </span>di-<i>fait accompli</i> (diputus sendiri, <i>Red.</i>) oleh pihak tertentu. Ketika itu, terdapat <st1:place st="on"><st1:city st="on">surat</st1:City></st1:place> dari MUI setempat yang berisi usulan siapa menjabat apa dalam kepengurusan FKUB. “Mendadak FKUB terbentuk dengan 17 anggota. Rinciannya, 12 orang dari Islam dan 5 orang masing-masing dari Katolik, Kristen, Hindu, <span class="yshortcuts">Buddha</span>, dan Konghucu,” jelas Anton Lukito, perwakilan FKUB dari Katolik. <br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Sosialisasi FKUB minim untuk tataran masyarakat bawah. Padahal, seperti kasus Gedung Gracia, perannya diharapkan maksimal. Faktanya, hanya elit saja yang lebih banyak tahu soal keberadaan FKUB ini.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">FKUB Propinsi Kalimantan Selatan, misalnya, nampak elitis. Sosialisasinya terbatas. “Kalangan masyarakat dan lembaga swadaya tidak begitu jelas (mengerti, <i>Red.</i>) dengan kiprah lembaga ini,” ujar Ghazali Rahman dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) <st1:place st="on"><st1:city st="on"><span class="yshortcuts">Banjarmasin</span></st1:City></st1:place> (27/09/07). <br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Tak jauh beda dengan mereka adalah FKUB Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). “Di kalangan elit semua agama, FKUB di sini cukup tersosialisasi dengan baik. Tapi tidak bagi publik dan <i>grass-root</i>,” ungkap Jumarim dari Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (YPKM) Mataram (25/09/07).<span style=""> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> ****</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Permasalahan yang menumpuk ini akhirnya berimbas pada praktek FKUB di lapangan. Misalnya, perihal mekanisme pengambilan keputusan dalam soal ditutup atau tidaknya rumah ibadat yang melenceng dari ketentuan asal. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>“Sistemnya memakai voting. Jelas, kelompok mayoritas selalu menang,” terang Firman Eddy Kristiyono, pegiat Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB), tentang FKUB di Kotamadya Bekasi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>Padahal, Perber sudah menggariskan secara khusus mengenai hal ini. “Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat,” demikian bunyi Pasal 21 (1) Perber itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>Ini dilanjutkan dengan kekacauan baru di mana prosedurnya berlangsung kilat. Hari ini <st1:place st="on"><st1:city st="on">surat</st1:City></st1:place> masuk, besok sudah keluar izin untuk menutup sebuah rumah ibadat.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">FKUB daerah sebelahnya, memiliki problem sama namun diselesaikan dengan cara berbeda. Ketika sebuah gereja di Lembang Sari, Tambun diperselisihkan, FKUB Kab. Bekasi tidak bisa berbuat apa-apa. Penyelesaiannya justru diserahkan kepada Pemda. Ini karena FKUB bersangkutan memiliki cara pandang yang berbeda dengan FKUB Kotamadya <span class="yshortcuts">Bekasi</span>.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">“FKUB berpendapat bahwa landasannya adalah Perber pasal 28 ayat 1,” lanjut Anton Lukito.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Pasal tesebut menyatakan bahwa izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Perber ini dinyatakan sah dan tetap berlaku. Tetapi, sampai sekarang, kasusnya justru menggantung.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Menyikapi kasus ini saja, FKUB telihat tak seragam meski berpegang pada satu pedoman. Lalu bagaimana dengan soal yang lain?</span><o:p><br /></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Ini belum termasuk kompleksitas tiap daerah yang beragam tensi kehidupan keberagamaannya. Tetapi, oleh pemerintah dipaksakan ada FKUB dengan manajerial yang sama. <span style=""></span><o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Keberagamaan dan FKUB NTB misalnya baik-baik saja. “Sejauh ini adem ayem,” jelas Jumarim. Sukabumi mengalami keadaan serupa. “Suasananya kondusif. Beberapa waktu yang lalu kami (sukses) mengadakan kemah keagamaan untuk kerukunan umat beragama. Pesertanya 100 orang dari berbagai kalangan agama,” tutur Daden bangga. <span style=""></span><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Daden sendiri ragu dengan kondisi daerah lain. “Di acara Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Departemen Dalam Negeri (Kesbanglinmas Depdagri) Jawa Barat, ternyata FKUB di tempat lain itu didominasi oleh kalangan Islam fundamentalis. Jadi rusuh,” imbuh Daden.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Yang ditakutkan Daden, keberadaan mereka akan berdampak pada disharmonisasi umat beragama di masa mendatang.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Ketakutan Daden ini sudah disinyalir oleh Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The WAHID Institute. “FKUB rawan diselewengkan dan disusupi kepentingan politik lainnya, seperti elit politik lokal maupun elit agama tertentu yang ada di daerah,” jelasnya (24/07/07). Jika terjadi, di mata pegiat jaringan advokasi kerukunan umat beragama ini, FKUB berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap umat beragama dari kelompok tertentu. </span></p> <div style="text-align: center;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> ****</span><br /><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"></span></div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><br />Dengan semua lika-liku di atas, FKUB sebenarnya dapat dipertanyakan perannya dalam konteks perukunan umat beragama.<br /><br />“Tugas FKUB sebenarnya bisa dijalankan oleh masyarakat karena mereka sudah dewasa. Sudah bisa rukun sendiri,” tandas Daden. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>Tugas pertama FKUB seperti termuat dalam Perber pasal 9 berupa melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menurut Daden, sudah dilakukan elemen masyarakat sejak dulu kala—jauh sebelum FKUB ada. Tugas yang lainnya seperti sosialiasi peraturan dan penyalur aspirasi masyarakat semestinya dilakukan oleh anggota badan perwakilan rakyat.<br /><br />Tugas yang sudah dilakukan oleh masyarakat ini antara lain dijalankan oleh forum kerukunan swadaya masyarakat sendiri. Bukan forum resmi seperti FKUB. Namun, sifatnya partikelir alias non-pemerintah sehingga lebih cair sekaligus tidak birokratis.<br /><br />Dalam hal ini, kita bisa menyaksikan kiprah Forum Sabtuan (FORSAB) <st1:place st="on"><st1:city st="on">Cirebon</st1:City></st1:place>. “Forum lintas agama ini berdiri sejak 26 Desember 2006,” jelas KH. Husein Muhammad, salah satu pengurusnya yang juga pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Cirebon</st1:place></st1:City>.<br /><br />Mereka rutin membicarakan berbagai hal demi meretas kejumudan dialog antar-agama secara bergiliran di rumah anggotanya, markas Fahmina Institute atau sesekali di hotel. Acaranya sepekan sekali. <br /><br />Juga Forum Gedangan di Salatiga. Forum yang berdiri sejak 22 Februari 1998 ini dimotori oleh KH. Mahfudz Ridwan dan beranggotakan warga dari berbagai agama dan etnis. Tidak hanya kegiatan antar agama yang dilakukan, tetapi juga kegiatan kemanusiaan. Antara lain pemberian bantuan kepada korban gempa <st1:place st="on">Yogyakarta</st1:place>. <span style=""> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"></span><st1:place st="on"><st1:city st="on"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Ada</span></st1:City></st1:place><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> lagi Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jaka Tarub) di <span class="yshortcuts">Bandung</span>. Lembaga yang dikomandoi Dindin Abdullah Ghazali ini secara mandiri (pernah) menerbitkan majalah Bianglala secara berkala. Isinya info dan advokasi seputar pluralisme. Pengurusnya pun kerap menggelar acara yang melibatkan dengan peserta lintas agama. Misalnya saja diskusi bersama soal puasa ditinjau dari perspektif berbagai agama.<br /><br />Selain kedewasaan masyarakat tersebut, ada soal lain yang perlu diberi perhatian. Bahwa masyarakat kita ini sebenarnya baik-baik saja dan damai tanpa keberadaaan FKUB. Kisruh ada di tingkatan elit saja.<br /><br />“Masyarakat di bawah itu baik-baik saja. Tak ada kisruh soal rumah ibadah,” tutur Anton Lukito menyitir hasil investigasi lembaganya, FKUB Bekasi, tentang keluhan agar gereja di daerahnya ditutup. Penghembus isu dalam kasus tersebut ternyata para golongan elit agama. Sementara masyarakat di daerahnya tak meributkan apa-apa.<br /><br />Yang buruk, misi FKUB dalam beberapa kondisi malah kontra-produktif. Masyarakat menjadi kurang harmonis seiring gencarnya penutupan rumah ibadah. “Intensitas penutupan rumah ibadah meninggi pasca terbentuknya FKUB,” tutur Firman Eddy Kristiyono. </span></p> <div style="text-align: center;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> ****</span><br /><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"></span></div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><br />Toh demikian, FKUB sudah eksis. Tetapi bagaimana reaksi masyarakat sendiri?<br /><br />FKUB tidak lain dan tidak bukan adalah campur tangan negara atas pemerintah atas proyek bersama bernama kerukunan antar umat beragama. Betapa tidak, lembaga kerukunan ini memiliki payung hukum tersendiri, mempunyai kewajiban yang sangat rigid, dan dibiayai alokasi dana khusus melalui APBD. Bahkan ada dewan penasehat yang terdiri dari unsur pemerintah daerah dan Departemen Agama di wilayah bersangkutan.<br /><br />Sesungguhnya keinginan negara untuk memproteksi umat beragama adalah wajar sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Termasuk membikin lembaga semacam FKUB. Namun, tidak jarang hal ini dilakukan dalam kadar berlebihan. <span style=""></span><br /><br />"Kebutuhan akan stabilitas dan tanggung jawab sebagai pemerintah, membuat pemerintah sering ikut campur dalam urusan intern agama(-agama) ini," jelas Hairus Salim HS dalam tulisannya yang berjudul <i>Kebijakan Agama Masa Orde Lama dan Orde Baru</i> (2004). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>Ironisnya, hemat aktivis Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yoygakarta ini, keikutsertaan pemerintah dalam pengaturan hubungan antar agama itu sendiri tak jarang justru memperkeruh hubungan antar-agama itu sendiri. Ini terbukti dalam kasus di <st1:place st="on"><st1:city st="on">Cirebon</st1:City></st1:place> dan Bekasi.<br /><br />Campur tangan ini bisa jadi dianggap sebagai perlindungan atas mayoritas di mana mereka dijaga kepentingannya dalam kasus perizinan rumah ibadah. Sebaliknya, bagi minoritas, prosedur demikian ibarat bencana, Beribadah mirip dengan bepergian ke luar negeri sebab banyaknya dokumen yang harus diurus. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>Dokumen yang dimaksud adalah Izin Prinsip Pendirian Rumah Ibadat (IPPRI) dan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat (IMBRI) yang diterbitkan Bupati/Wali Kota. IPPRI dan IMBRI bisa keluar berdasar rekomendasi FKUB tingkat kelurahan/desa yang disahkan kepala desa, rekomendasi FKUB kecamatan yang telah disahkan camat, rekomendasi FKUB kabupaten/kota, rekomendasi Kepala Kantor Depag kabupaten/kota. Dan, daftar nama dan alamat kepala keluarga sesuai KTP setempat yang akan menjadi jemaat rumah sebanyak 90 orang.<br /><br />Apa yang akan terjadi? "Akan ada birokratisasi agama dan tempat ibadat," tandas Rumadi dalam artikelnya yang bertajuk <i>Birokratisasi Tempat Ibadah</i> (2005). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>Peneliti The WAHID Institute ini mendasarkan pendapatnya pada FKUB yang sangat struktural dan bentuk kepengurusannya yang amat hierarkis.<br /><br />Di sinilah, negara dengan diam-diam sebenarnya sedang menunjukkan kekuasaannya. "Kebijakan khususnya menyangkut hubungan antar-agama(-agama) dan negara, antar-agama-agama, dan antar-internal suatu agama itu telah menjadi bahasa dan kekuasaan," terang Anas Saidi dalam tulisannya yang bertitel Agama sebagai Variabel Sosial; Sebuah Pengantar (2005). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>Peneliti LIPI ini juga menyebut kebijakan yang demikian sebagai "teknologi politik" pengaturan dan pengontrolan terhadap masyarakat. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Dengan realitas begini, apakah masyarakat mau menerima kembali kontrol negara melalui FKUB seperti zaman Orde Baru dulu? Atau FKUB hendak disiasati agar sesuai dengan tuntutan Orde Reformasi sekarang ini?<br /></span></p> <div style="text-align: center;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">****</span><br /><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"></span></div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><br />FKUB bisa saja dipermak atawa disiasati dalam aras tertentu agar tidak terlalu terkooptasi oleh kepentingan negara. Sehingga, keberadaannya bermanfaat untuk publik. Misalnya saja dalam soal keanggotaan, pembiayaan, dan minimalisasi eksploitasi pemerintah. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>“Teman-teman pegiat pluralisme mestinya ikut masuk lembaga ini supaya FKUB tidak menjadi forum kaum fundamentalis,” usul Daden.<br /><br />Yang lain menganggap bahwa alokasi dana untuk FKUB sedikit demi sedikit dikurangi setelah misinya untuk mendewasakan masyarakat dalam soal kerukunan terpenuhi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p></o:p>“Nantinya dana ini bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan untuk rakyat,” tutur Ridlwan Nasir, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya kepada The WAHID Institute (03/10/07). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"><o:p>I</o:p>a mendasarkan opininya pada lembaganya telah berpengalaman bekerja sama dengan FKUB Propinsi Jawa Timur menggelar pendidikan kerukunan untuk masyarakat dari berbagai karesidenan di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:City></st1:place>. <br /><br />Atau pendapat dari salah satu penyusun draft Perber, Ridwan Lubis. “FKUB ini tidak boleh dieksploitasi oleh pemerintah. Garansinya, mereka yang akan diangkat menjadi pengurus FKUB direkomendasikan oleh majelis agama masing-masing,” tandas mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depag ini kepada The WAHID Institute (05/10/07<br /> </span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">****</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Akhirnya, FKUB tidak mungkin dibubarkan. Konstitusi mengharuskan demikian. Tetapi, menerima FKUB yang resmi dan menampik forum sejenis yang tak resmi juga bukan sebuah keharusan. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;">Masyarakat cuma wajib rukun dengan sesamanya, baik kepada mereka yang berlainan agama maupun yang seagama. Tak perlu dibikin rukun, bukan? <i>Wallahu A’lam</i>.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> </span></p> <p><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-size: 7.5pt; font-family: Arial;"> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-size: 7.5pt; font-family: Arial;"> </span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-5442538422534658172007-11-15T12:00:00.000+07:002009-07-21T17:34:37.490+07:00Gus Dur: Idola (Baru) Remaja<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmWYdR735MI/AAAAAAAAAD0/F0hYQrclHf0/s1600-h/Cover+Gus+Dur+Asyiik.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 143px; height: 200px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/SmWYdR735MI/AAAAAAAAAD0/F0hYQrclHf0/s200/Cover+Gus+Dur+Asyiik.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360858560252601538" border="0" /></a><span style="font-weight: bold; font-family: georgia;">Judul Buku : Gus Dur…Asyik Gitu Loh</span><br /><p style="font-weight: bold; font-family: georgia;" class="style1" align="justify"><strong> Penulis : Maia Rosyida<br /></strong></p><p style="font-weight: bold; font-family: georgia;" class="style1" align="justify"><strong>Penerbit : The WAHID Institute<br /></strong></p><p style="font-weight: bold; font-family: georgia;" class="style1" align="justify"><strong>Tahun Terbit : 2007<br /></strong></p><p style="font-family: georgia;" class="style1" align="justify"><strong>Jumlah Halaman : 98 hlm </strong></p> <p class="style1" align="justify"><strong style="font-family: georgia;">Oleh: Nurun Nisa</strong><em style="font-family: georgia;">'</em><strong></strong><br /></p><p class="style1" align="justify"><br /></p><p class="style1" align="justify">Keliru besar kalau Anda menyangka bahwa Gus Dur cuma pujaan khusus kalangan dewasa dan orang-orang politik saja. Mau bukti? Buku bertitel Gus Dur…Asyik Gitu Loh akan membalikkan anggapan Anda selama ini. </p> <img src="http://www.wahidinstitute.org/pictures/200710/gusdur-buku-bp.jpg" alt="Gus Dur Asyik" align="right" hspace="6" /><p class="style1" align="justify">Buku karya Maia Rasyida, siswi Sekolah Menengah Universal (SMU) Qaryah Thayyibah, ini membingkai kekaguman remaja terhadap sosok Gus Dur dengan bahasa khas anak gaul sekarang. Namun isinya tetap bernas. </p> <p class="style1" align="justify">Ini dapat dicermati dari lembar-lembar tulisannya. Di awal, misalnya, kita bisa melihatnya dengan baik dalam soal penggambaran fisik Gus Dur. </p> <p class="style1" align="justify">“Gus Dur itu ganteng? Setuju banget. Tepatnya, <em>good looking</em> abis. Rasanya nggak perlu lagi sibuk <em>hunting </em>cowok muda yang segar dan punya perut<em> six pack</em>. Gus Dur (memang) jika dilihat dari struktur wajah mungkin masih boleh dibilang kalah jauh sama Brad Pitt atau aktor siapalah itu yang bisa bikin cewek-cewek yang ngelihat langsung teriak histeris. Diliat dari postur badan juga boleh dikatakan Gus Dur masih jauh dari sempurna….Tapi kenapa kita bisa lebih betah mandangin wajah Gus Dur daripada para <em>icon cover boy</em> yang banyak nampang di majalah remaja itu?” (hlm. 11) </p> <p class="style1" align="justify">Dara kelahiran 1987 ini punya jawabnya. Gus Dur enak dipandang sebab beliau memiliki segudang kharismatik dan <em>inner beauty</em> luar biasa. Tak lain ia adalah seorang intelektual yang menata hidupnya dengan akhlak dan selalu disirami dengan ilmu. Waktu SD saja Gus Dur sudah akrab dengan karya-karya Karl Marx, catatan-catatan pemikir Marxisme, dan berbagai macam buku filsafat. </p> <p class="style1" align="justify">Kita dapat pula membaca komentar Maia terhadap pembelaan Gus Dur atas goyangan Inul yang kontroversial itu. </p> <p class="style1" align="justify">“Sikap Gus Dur membela Inul dari kecaman orang-orang yang mengaku Islam adalah cerminan sikap Rasulullah. Rasulullah gak perlu pake kekerasan ketika mendidik umatnya yang masih belum tau. Karna Gus Dur tau betul Inul itu belum begitu tau agama, maka dia mengayominya dengan cara yang kalem. Menunjukkan begitulah Islam. Mengajak berpikir, tak boleh keras, dan sangat menghormati perbedaan pemikiran,” (hlm. 39). </p> <p class="style1" align="justify">Sikap bijak Maia ini, bagi penulis, melebihi kadar usianya. Bahkan melampaui penentang Inul, yang sebagiannya, terang benderang tidak menunjukkan kematangan usia mereka dalam merespon isu yang sama. Mereka tak mampu menyampaikan perbedaan pendapat dengan santun. Cuma berani unjuk kekuatan saja layaknya preman (berjubah). </p> <p class="style1" align="justify">Lain lagi soal korupsi. Maia prihatin betul dengan korupsi dan pengadilan yang tak kunjung unjuk gigi. Maia salut dengan gaya Gus Dur yang potong kompas demi mengamputasi budaya korupsi secara radikal. </p> <p class="style1" align="justify">“Korupsi udah nggak mau tau tempat lagi. Ini mungkin satu hal yang yang menyebabkan negeri ini menjadi <em>hopeless</em> untuk bisa bersih...pengadilan juga udah banyak yang punya dwifungsi. So..biar pengadilan jadi layak disebut adil dan terpercaya, kira-kira gimana yah caranya? Nggak ada harapan banget nih. Kuncinya emang pemimpin mesti tegas dan bersih. Berani dan tanggung jawab dunia wal akherat. Kaya’ Gus Dur ajalah. Santai gitu. Tinggal pecat sana pecat sini. Asyik tuh. Nggak bertele-tele dan habis. Meski beresiko tinggi, ya emang begitu kan resikonya jadi orang jadi orang nomor satu? Begitu kan resikonya seorang pembela kebenaran?” (h. 52). </p> <p class="style1" align="justify">Mendengar ini, para politikus, aparat penegak hukum, dan tentu saja para koruptor itu sendiri selayaknya merenung. Atau malah malu. Sebab, remaja yang masih bau kencur saja tahu dan bisa memilih yang terbaik; bahwa kebenaran dan kebersihan mestilah dijadikan pegangan hidup seperti dipraktikkan Gus Dur. Bukan berlindung di balik kebohongan atau justru menggadaikan diri dengan kekuasaan. Padahal, mereka tahu perkara ini lebih dalam dan lebih banyak ketimbang seorang remaja seumuran Maia. Tapi mereka tak mau melakukannya. </p> <p class="style1" align="justify">Buku setebal 98 hlm ini layak baca untuk semua kalangan. Diksinya renyah—namun tak sampai jatuh pada kegenitan remaja yang kadangkala membikin tulisan menjadi barisan kosakata prokem yang tak ada isi sama sekali. </p> <p class="style1" align="justify">Meski begitu, ia tetaplah buku bergizi tinggi. Ini dapat dilihat dari rujukan pendapat Maia; mulai dari puisi-puisi Gus Mus, cerita-cerita Abu Nawas, <em>Sirah Nabawiyah</em> sampai kaidah-kaidah <em>fiqhiyyah</em> yang lumayan rumit. </p> <p class="style1" align="justify">Buku ini <em>gue banget</em> buat para teman remaja. Para orang tua tidak perlu khawatir membaca buku ini. Dijamin tidak akan merasa digurui. Justru mereka dijadikan teman bicara yang setara. <em>Wallahu A’lam</em>.</p> <table align="center" border="0" cellpadding="4" cellspacing="0" width="98%"><tbody><tr><td class="mainpage" align="center" width="150"><br /></td> <td class="mainpage" align="center"> <br /></td></tr></tbody></table>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-70506469503010809802007-11-14T15:11:00.001+07:002007-11-14T15:59:31.666+07:00Puisi untuk Umat 'Tersesat'<p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><b><o:p> </o:p></b><span style="font-weight: bold;">Tuhan, Engkau tahu, di negeri kami sedang berlangsung gonjang-ganjing hebat</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Tentang mereka yang dianggap tersesat</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Mereka ditindak, dikejar, dan disuruh taubat</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Mereka mau dibabat</p><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"> Jiwa dan harta mereka terancam</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Hak asasi mereka sebagai manusia dan warga negara dilecehkan</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;" class="MsoNormal">Tuhan, aku akan bertanya kepada-Mu</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Bukankah Engkau telah berfirman; sungguh telah kami mulyakan anak cucu Adam Apakah mereka yang dianggap tersesat itu termasuk anak cucu Adam yang Engkau mulyakan?</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;" class="MsoNormal">Tuhan, aku tanyakan hal ini kepada-Mu</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Karena ada di antara makhluk-Mu yang bertindak seolah-olah mereka telah memperoleh mandat dari-Mu untuk membersihkan bumi dari orang-orang yang mereka anggap tersesat</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;" class="MsoNormal">Tuhan, Engkau adalah penguasa di atas segala penguasa</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Engkau adalah raja di atas segala raja</p><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Engkau adalah pencipta langit dan bumi</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Engkau berkuasa atas segala sesuatu</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Kalau bumi ini hanya boleh dihuni oleh mereka yang tidak sesat</p><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Mengapa Engkau diam saja karena Engkau biarkan orang-orang yang lain itu tersesat </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Kenapa Engaku biarkan ada orang-orang yang mengaku-ngaku menerima wahyu-Mu<br /></p><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Kenapa tidak Engkau perintahkan kepada malaikat maut menghabisi mereka</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Kenapa tidak Engkau hentikan jantung mereka yang berdetak hingga mati serentak</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Kenapa tidak Engkau mandulkan saja istri-istri mereka sehingga kaum tersesat tidak beranak pinak</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Atau Engkau impotenkan laki-laki mereka sehingga tidak ada lagi keturunan mereka</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="font-weight: bold; text-align: justify;" class="MsoNormal">Akhirnya aku bertanya kepada-Mu</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Manakah yang lebih sesat</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Mereka yang merasa mendapat wahyu-Mu ataukah mereka yang bertindak seolah-olah mendapat mandat dari</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-style: italic;">PS. Ini ungkapan hati dari seorang Djohan Effendi sebagai solidaritasnya atas derita teman-teman yang disesatkan sekelompok orang sebab pilihan keyakinannya yang di luar jalur main-stream. Puisi ini merupakan transkrip rekaman dari seorang kawan yang hadir di acara Halal Bi Halal Lintas Iman di UPM, 09 Nov 07. Hasilnya, sesuai dengan kadar pendengarannya, he2. Karena itulah, kekurangan (tulisan atau pelafadzan) yang ada mohon dimaklumi. Kalau mau, silakan konfirm langsung ke Pak Djohan sendiri..Oc?</span><br /></o:p></p>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-42037516564075095712007-10-06T08:23:00.000+07:002007-10-06T08:40:58.993+07:00Doa dan Pidato Berbahasa Arab<div style="text-align: left;">Pada sebuah acara<span style="font-style: italic;"> ifthar gathering </span>(buka bersama) di sebuah masjid di tanah Paman Sam, saya dan istri saya terpisah tempat duduk akibat membludaknya jamaah yang hadir. Saya berada di dalam masjid sedangkan istri saya di luar masjid bersama ibu-ibu lain dari Indonesia.<br /><br />Seorang pengurus masjid yang berasal dari Arab Saudi memberikan sambutan. Maklum karena kebanyakan yang hadir dari negara-negara Arab sana ya...sambutan awalnya dengan bahasa Arab. Kebetulan saya duduk berdekatan dengan jendela masjid sehingga saya masih bisa melihat istri saya dan teman-temannya yang berkumpul sendiri.<br /><br />Ketika sambutan pengurus masjid itu disampaikan, saya melihat mereka kok menengadahkan tangan dengan gerakan mimik mulut bersuara<span style="font-style: italic;"> amin</span>. Rupaya pidato pengurus amsjid tadi didengar oleh mereka seperti doa, maklum kebanyakan ibu-ibu dari Indonesia yang hadir itu kebetulan tak paham bahasa Arab.<br /><br />"Sorry.....ya," kata saya kepada istri dan rombongannya pada saat <span style="font-style: italic;">ifthar tiba, </span>"yang tadi itu sebenarnya bukan doa tapi pidato."<br /><br />Begitu menyadari apa yang mereka lakukan, kontan mereka tertawa juga.<br /><br />"Wah, kita dibohongi orang Arab," sahut salah seorang ibu.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sumber; 100 Anekdot Ubudiyah, Sukendra Martha, Yogyakarta: LKiS, 2005</span> </div>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-80969169312713673772007-09-28T15:02:00.000+07:002007-11-07T16:22:14.209+07:00Something about NothingApa yang kita anggap penting dan patut diperjuangkan hari ini sangat mungkin tidak bermakna apapun di masa mendatang. Artinya, hari ini ia berharga, tapi besok seterusnya tak bernilai. Dengan beginilah, kita mulai berpikir panjang. Tak main-main. Tidak latah. Tidak lapar mata.<br /><br />Waktu akan mendewasakan kita. Pengalaman akan membikin kita semakin matang. Demikianlah, kita akhirnya dapat menjadi yang bertanggung jawab, yang tidak emosional, dan tentu yang sanggup menanggung resiko terhadap apapun yang sudah kita pilih.<br /><br />Dengan begini, hidup jadi bermakna. Tak ada kata rugi. Dan tidak boleh ada air mata.<br /><br />Tapi, bukan berarti hidup mesti disikapi dengan amat sangat serius. Kita nikmati saja dengan rileks dan biarkan ia mengalir tanpa rekayasa.<br /><br />Slow down, baby. Take it easy. Just let it flow.<br /><br />Setelah semua kedukaan itu datang...<br />Matraman, 28 September 2007<br />15.36 WIBNisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-8979273307623269412007-09-24T15:32:00.000+07:002007-09-24T15:39:50.974+07:00Pilkada Bermasalah, Siapa Salah?<p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span class="konten" style="font-size:100%;"><span lang="IN" style="font-family:Arial;">Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Alun-alun Tuban, Rabu (2/5/2006), menjadi momen penting warga Tuban. Saat itu adalah kali pertama bupati terpilih periode 2006-2011, </span></span><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Haeny Relawati, muncul pasca kerusuhan. Sayang, ketika diserbu wartawan, ia tak sudi menjawab pertanyaan seputar kemenangannya pada Pilkada 27 April 2006 yang memakan banyak korban.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Ketika dikejar, Haeny bergegas masuk ke Jaguar warna merah hati dengan Nomor Polisi S 1 HA. Sebelumnya, pelat nomor itu biasa terpasang di mobil dinas Bupati Tuban, Nissan Terrano, yang habis dibakar massa di parkiran Pendopo "Krido Manunggal", Sabtu (29/4/2006).<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Selain mobil dinas, mereka yang tidak puas atas kemenangan calon Partai Golkar ini juga <span style=""> </span>merusak sejumlah mobil mewah yang berada di rumah dinasnya. Antara lain, Range Rover bernopol B 8038 FZ, Toyota Alphard G bernopol L 2560 HP, dan VW Caravelle bernopol H 7439. Sebelumnya, mereka juga meluruk kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tuban dan membakar bangunan utama pendopo kabupaten tersebut.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Bakal rumah Haeny di atas lahan empat hektare di Jalan Letda Sucipto pun tak luput dari amuk massa. Begitu juga Hotel Mustika di Jalan Teuku Umar dan gudang PT Sembilan Sembilan milik suaminya, Ali Hasan. Keduanya ludes di tangan massa. Harta Ali lainnya, dua SPBU dan kediaman Haeny di Jalan KH Agus Salim turut jadi sasaran walau tak sampai dibakar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><b><span lang="IN" style="font-family:Arial;"><o:p></o:p>Biang Kisruh Pilkada</span></b></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Tak hanya di Tuban, pilkada di beberapa daerah juga meninggalkan masalah. Bentuknya tidak tunggal. Ada yang rusuh. Ada juga yang menempuh jalur hukum. Meski berbeda, pilkada bermasalah memiliki hulu yang sama.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Mulanya, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang dinilai tidak netral. Komisi ini dianggap sering bermain mata dengan para calon. Terutama Bupati yang sedang menjabat sebagaimana terjadi di Sukoharjo, Jawa Tengah. KPUD Sukohardjo bahkan dituntut untuk dibubarkan karena ada indikasi curang guna memenangkan pasangan calon bupati (cabup) Bambang Riyanto-calon wakil bupati (cawabup) Muhammad Thoha. Di antaranya, penggelembungan jumlah pemilih di sejumlah</span><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" > tempat pemungutan suara. Juga mencetak tambahan 10.000 lembar <st1:city st="on"><st1:place st="on">surat</st1:place></st1:city> suara sehari menjelang pencoblosan.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Begitupun di Tana Toraja seperti dilansir Forum Komunikasi Mahasiwa Toraja (FKMT) Se-Indonesia. “KPUD Toraja tidak pernah mengeluarkan: 1. Daftar Pemilih Sementara (A1), 2. Daftar Pemilih Tambahan (A2) KPUD Tana Toraja justru mengeluarkan daftar pemilih tetap (A3) berulang sampai tiga (3) kali. Hal ini melanggar PP No 6 Tahun 2005 Pasal 16, 19, 20 dan PP No 17 perubahan PP No 6 tahun 2005 tentang Tahap Pelaksanaan Pilkada,” demikian bunyi selebaran yang diterbitkan oleh FKMT dalam Kronologi Kisruh Pilkada Tana Toraja, Kamis (14/7/2005).<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Panitia Pengawas (Panwas) pilkada juga bermasalah. Mestinya menjadi wasit pertandingan pilkada, mereka malah <i>ogah</i> memperingatkan <i>atawa</i> memberi kartu merah saat salah satu pemain pilkada ‘melanggar’ pemain yang lain. Kisruh pilkada di Tuban contohnya. Panwas dianggap menutup mata. “Panwas tidak menggubris pelanggaran Pilkada seperti politik uang, dan pemalsuan nominal pemilih, dan masih banyak lagi pola-pola pelanggaran yang secara telanjang disaksikan oleh orang yang paling awam proses pilkada sekalipun,” ungkap peneliti Yayasan Tantular Malang, Paring Waluyo Utomo yang mengamati perkembangan Pilkada Tuban.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Para kandidat juga urun masalah. Mereka sering tidak siap kalah. Alih-alih menerima hasil pilkada dengan <i>legowo</i>, ketidakdewasaan mereka justru membuat pilkada berdarah-darah. Di Kaur misalnya. Calon bupati kalah ditengarai menggerakkan massa untuk menolak pasangan bupati baru, Saukani Saleh-Warman Suardi. Massa yang marah melakukan perusakan. Polisi pun bertindak. Yusirwan Wanie dan Sahlan Sirad, cabup dan cawabup yang kalah, ditetapkan sebagai tersangka dalam pilkada daerah yang merupakan pemekaran wilayah Bengkulu itu.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Harus diakui, para kandidat Pilkada banyak yang kurang matang dalam menghadapi event lima tahunan itu. “Kekurangmatangan (para kandidat, <i>red.</i>) banyak terjadi di pilkada-pilkada kita. Karena tidak puas dengan hasil-hasil dan sudah <i>kadung</i> terlalu rugi, terus kalah, mulailah mengancam, mendorong, <i>ngompor-ngomporin</i> sehingga jadi keributan. Saya melihatnya di kasus Tuban, Kaur dan Sulsel”, ungkap Direktur Eksekutif CETRO Hadar Navis Gumay.<span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Partai politik yang menjadi kendaraan juga tak berkutik. Mereka tidak mendidik massa untuk cerdas politik. “Apa yang mereka lakukan? Cuma kampanye. Mereka mengatakan yang terbenar. Hanya itu. Belum sampai melakukan pendidikan politik <span style=""> </span>yang murni,” gugat Hadar.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Insiden di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, bulan Mei 2005 dapat dijadikan pelajaran berharga atas hal ini. KPUD Manggarai menolak pendaftaran calon dari PDI-P karena batas waktu pendaftaran calon bupati sudah lewat. Karena tidak puas, pengurus partai berlambang banteng gemuk ini pun meminta izin berdemo damai. Tapi, petugas menemukan senjata tajam di tangan sejumlah massa. Bahkan, beberapa di antaranya dalam keadaan mabuk. Di depan Kantor KPUD di Ruteng, ibukota Manggarai, massa PDI-P itu pun bentrok dengan polisi. Akibatnya, empat anggota Polres Manggarai terluka, yakni Kabag Ops, AKP Agus Nggana, Kasat Samapta, Ipda Donce Fernandez, Bripda Yefta Tafoi dan Bripda Kamilus S. Niron.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Selain tiga pihak di atas, Depdagri (Departemen Dalam Negeri) juga bertanggungjawab atas pesta demokrasi tingkat lokal yang tidak berjalan sesuai harapan. Moh. Samsul Arifin,<span style=""> dalam salah satu tulisannya di koran Jawa Barat, menilai </span>Depdagri terkesan sangat ngotot menyelenggarakan pilkada mulai Juni 2005. Seolah-olah mereka dikejar tenggat. “Semakin cepat pilkada dilaksanakan berarti jalannya roda pemerintahan daerah akan lancar dan efektif. Yang digembar-gemborkan Depdagri adalah dari sekitar 181 propinsi dan kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada, mayoritas sudah rampung persiapannya," tegas analis politik pada CBS (<i>Centre for Bureaucracy Studies</i><span style="">)<i> </i>Jakarta ini. </span><o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Pada posisi ini, Depdagri kurang sensitif dengan daerah-daerah yang memiliki kendala spesifik berdasarkan karakter dan kapasitas tertentu. “Daerah (pemerintah kabupaten dan KPUD) diiming-imingi semacam <i>reward</i> tertentu baik berupa dukungan dan fasilitas, agar sanggup menyelenggarakan pilkada tepat waktu,” ungkap Samsul. Ia menambahkan, situasi tersebut cenderung memunculkan masalah baru. KPUD potensial mengabaikan kondisi batin dan psiko-politik yang mengitari daerah tersebut. Ini amat beresiko terhadap kesuksesan pilkada, apalagi jika dihelat di daerah yang baru saja mengalami pemekaran.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Namun, hal ini dibantah oleh Depdagri. “Daerah pemekaran calon potensial konflik akan menjadi prioritas Depdagri. Mendagri telah meminta gubernur-gubernur menyelesaikan masalah ini," aku Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Progo Nurdjaman.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Potensi konflik ini bertambah parah jika dibumbui dengan intimidasi dalam bentuk isu ras sebagaimana kasus Tuban. Sebelum meletus konflik pasca pilkada, merebak isu rasial untuk mendiskreditkan cawabup Go Tjong Ping, pasangan cabup Noor Nahar Hussein, yang menjadi rival politik pasangan Haeny Relawati-Lilik Soehardjono. “Di kalangan <i style="">grassroot</i> berhembus isu jangan pilih Cina untuk memimpin Tuban. Atau jangan pilih Cina karena dia tidak dikhitan. Isu ini memang konyol kelihatannya, namun bagi kalangan <i style="">grassroot</i>, terutama di desa-desa cukup efektif untuk menimbulkan kebencian laten terhadap WNI keturunan Tionghoa,” ungkap Paring W. Utomo.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Isu agama juga mengundang bencana. Di Tasikmalaya dan Muna (Sulawesi Tenggara) muncul fatwa untuk menjegal lawan. "Di sana, ada pemuka agama yang membuat fatwa masuk neraka jika masyarakat memilih pasangan calon tertentu," tutur Lukman Budiman Tadjo, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Simbol agama juga sering dipakai untuk menyuap. Ketika pilkada sudah dekat, banyak calon kepala daerah berbondong-bondong menyumbang ke mushala serta membagikan jilbab dan kitab Yasin. "Ini terjadi di Asahan, Kendal, dan Jember," ungkap Lukman.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Selain itu, simbol agama bisa menjadi alat penekan kepala daerah yang sedang menjabat, seperti yang terjadi di Banyuwangi. "Jika masa yang memakai simbol agama berhasil menggulingkan kepala daerah, ini akan dipakai di daerah lain," ujar Koordinator JPPR Adung A. Rochman.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Premanisme juga menjadi momok Pilkada sebagaimana terjadi di Bandar Lampung. "Di Kota Bandar Lampung, kepala desa diintimidasi oleh para preman agar mendukung kandidat tertentu", tutur Lukman.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Apalagi <i>money politic</i><span style="">. Taktik busuk ini seperti </span>lazim dipakai. "Di Sumenep, Muna, Asahan, Sidoarjo, dan Sukabumi, calon-calon ketahuan membagikan uang kontan Rp 20-50 ribu kepada para pemilih," tambahnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><b><span lang="IN" style="font-family:Arial;"><o:p></o:p>Legitimasi Tak Berarti<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Pilkada bermasalah ternyata juga disebabkan oleh legitimasi publik. Dalam periode Juni 2005-Mei 2006, mayoritas kepala daerah terpilih mendapat dukungan yang sangat rendah dari masyarakat daerahnya. "Berdasarkan pemantauan kami di 226 pilkada, 153 kepala daerah atau 67,70 persen terpilih dengan mendapatkan suara di bawah 51 persen," papar Adung A. Rochman saat seminar evaluasi satu tahun pilkada di Jakarta, Rabu (28/6/2006). Hal tersebut mengakibatkan legitimasi kepala daerah terpilih kurang kuat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Keadaan ini secara tidak langsung disebabkan oleh regulasi pilkada itu sendiri. Jika UU Pemilu mengharuskan pasangan capres dan cawapres merebut suara 50% plus satu agar dapat menjadi pemenang, tidak demikian dengan pilkada. Pemenang cukup memiliki suara 25 % plus satu seperti termaktub dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 95 ayat (2) PP No. 6 Tahun 2005. Juga tidak diharuskannya pilkada putaran kedua, seperti halnya pemilihan presiden.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Kenapa? Alasannya sangat pragmatis; demi efisiensi pendanaan. Ini sebagaimana diungkapkan Hadar N. Gumay, saat dia mengajukan RUU Pemerintahan Daerah. “Kami pernah mengusulkan kepada DPR, dengan agak mengalah, sebanyak 40%. Sekurang-kurangnya 40%. Tapi kalau kurang dari itu, harus ke putaran dua. Tetapi di UU No. 32 ini ‘kan hanya 25% plus satu? Itu kecil sekali.” Hadar melanjutkan, “Waktu itu mereka (<i style="">DPR</i>, <i>red.</i>) bilang; 'Wah, nanti, biayanya terlalu tinggi kalau sampai putaran kedua”.</span><span style="font-size:100%;"><b><span lang="IN" style="font-family:Arial;"><o:p><br /></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><b><span lang="IN" style="font-family:Arial;">Tawaran Alternatif<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" >Lalu bagaimana mengatasi pilkada bermasalah ini? Ada bebarapa tawaran alternatif yang patut disimak. <i>Pertama</i>, soal teknis. Mau tidak mau, UU No.32 mesti direvisi terutama menyangkut pemisahan rezim pemerintahan dan rezim pemilu. Yang berlaku selama ini, urusan pilkada adalah urusan berdua; KPUD dan Pemda. Depdagri bahkan membentuk badan bernama <i>desk</i> pilkada untuk urusan ini. Bukannya efektif, keduanya seringkali malah tumpang tindih.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span><i> Kedua</i>, menyangkut problem non teknis. Ini terkait dengan kepuasan rakyat atas kandidat terpilih, dapat diperkenalkan sistem baru. Bentuknya, menurut Hadar, adalah <i>direct democracy</i> yang sebenarnya, di mana rakyat memiliki hak inisiatif untuk mengajukan keberatan kepala daerah terpilih. Dengan kata lain, bila sang kepala daerah tak cakap memimpin, ia dapat diturunkan (di-<i>recall</i>) tanpa menunggu masa jabatannya <i style="">khatam</i> lima tahun. Tentu, setelah diadakan referendum atau semacam jajak pendapat terlebih dahulu dengan memakai prosedur tertentu.<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span> Kini, usulan di atas menunggu diperjuangkan. Bila tidak, perbaikan yang dijanjikan pilkada langsung jangan harap menjadi kenyataan. <i>Wallahu A’lam.</i> (Nurun Nisa’ dkk)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" dir="ltr"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><o:p> </o:p></span></p>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-78400718898085272432007-09-24T13:44:00.000+07:002007-09-24T14:02:13.427+07:00Seulawah, Syari’ah, dan Serambi Mekkah<b><o:p></o:p></b> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><b><o:p> </o:p></b><i>“Saya meminta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”</i></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><br /><i><o:p></o:p></i></p><div> </div><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><i><o:p> </o:p></i></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><i>“Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fi sabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam peperangan itu maka berarti mati syahid”.</i></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><br /><i><o:p></o:p></i></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">Demikianlah, dialog mesra antara mantan Presiden Soekarno dan Tgk. Muhammad Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin kharismatis Aceh enam dasawarsa yang lalu. Sang Datuk bersama Tgk. H. Djakfar Lamjabat, Tgk. H. Muhammad Krueng Kalee, dan Tgk. H. Ahmad Hasballah Indra Puri kemudian mengeluarkan fatwa khusus. “<i>Bagi kaum muslimin yang berperang mempertahankan cita-cita proklamasi, kalau meninggal dunia dalam perang itu akan mendapat pahala syahid</i>” demikian seruan tertanggal 7 Oktober 1945 itu. Sontak, rakyat Aceh mengumpulkan sumbangan dan dibelilah pesawat jenis Dakota DC-3 yang disebut ‘Dakota R1-001 Seulawah’. Sengaja diimbuhi ‘Seulawah’, artinya gunung emas, karena memang dibeli dengan bantuan setara 20 kg emas.</p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">Tapi hubungan yang sangat baik ini kemudian bubar di bulan September 1953. Daud Beureuh memilih memisahkan diri karena sang Presiden ingkar janji dan bergabung dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo. Soekarno tak mau menegakkan Syari’at Islam (SI) di Bumi Rencong seperti dijanjikannya dulu. Setelah itu, terus menerus Aceh bergolak. Klimaksnya adalah deklarasi <i>Geurakan Acheh Merdeka</i> (GAM) di tahun 1976 yang berusaha ‘ditertibkan’ melalui kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM). Aceh menjadi <span style=""> </span>berdarah-darah.</p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><span style=""></span>Namun, damai akhirnya bersemayam di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:city></st1:place>. Melalui penandatanganan MoU Helsinki (15/08/05) antara GAM dan RI dicapai kata sepakat; tidak ada lagi konfrontasi. Tidak ada lagi ‘konflik’ antar keduanya. Tapi ternyata timbul konflik baru. Konfliknya kini terjadi antar masyarakat lokal Aceh sendiri. Seperti termaktub dalam laporan <i>World Bank</i> Desember 2006, konflik tersebut berubah dari vertikal menjadi horizontal. Masyarakat lebih banyak ribut soal tanah, sumber daya alam, dan bantuan tsunami. Juga soal kekerasan milisi. Ini antara lain ditandai dengan angka kriminalitas, dilansir Media Indonesia (09/08/06), di beberapa daerah yang meningkat.<br /></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><br /></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;">Dengan keadaan yang demikian, Aceh terlihat tak stabil untuk sebuah perubahan. Termasuk proses politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada). Tapi situasi di bulan Desember rupanya lain. Aceh aman dan damai dalam pilkada pertamanya. Semua pihak bersyukur termasuk si pemenang; Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (IRNA).</p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;"><br /></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;">****<br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: center;"><o:p> </o:p><span style=""> </span><br /><div style="text-align: justify;">Demikianlah, GAM harus bubar karena ide-idenya yang separatis. <i>"Kami bangsa Acheh Sumatra, telah melaksanakan hak-hak kami untuk menentukan nasib sendiri, dan melaksanakan tugas kami untuk melindungi hak suci kami atas tanah pusaka peninggalan nenek moyang, dengan ini menyatakan diri kami dan negeri kami bebas dan merdeka dari penguasaan dan penjajahan regime asing Jawa di Jakarta</i>, " tulis Tengku Hasan Muhammad Di Tiro, pendiri GAM, mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada tanggal 04 Desember 1976. <br /><br />Sekedar pengingat, petinggi GAM memang pernah berujar akan membubarkan organisasi ini. “GAM akan membubarkan diri dan berjuang lewat jalur politik,” jelas Zaini Abdullah, Menteri Luar Negeri GAM (28/04/06). Namun beberapa bulan kemudian, Perdana Menteri GAM justru berkata sebaliknya. Malik Mahmud menanggapi dengan sinis <st1:place st="on"><st1:city st="on">surat</st1:city></st1:place> Pieter Feith yang berisi permintaan pembubaran GAM. <i>“</i>Itu<i> out of proportion </i>dan<i> premature</i>,” sergahnya (28/10/06). Permintaan ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), menurut Tjipta Lesmana (<i>Mengapa GAM Tidak Mau Membubarkan Diri</i>, Suara Pembaruan, 19/12/06) <span style=""> </span>itu ditampik karena beberapa alasan. <i><br /><br />Pertama</i>, masalah <i>trust building</i>. Cerita represif dari aparat dan ketidakadilan pemerintah RI di Aceh telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan mereka. <i>Kedua,</i> <i>emotional reality</i>. GAM, menurut Malik, telah mengorbankan aspirasi mereka untuk merdeka. Rasanya tidak adil untuk membubarkan GAM sementara kemerdekaan mereka sudah dikorbankan. <i>Ketiga,</i> masalah pembentukan partai lokal.<br /><br />Pembubaran GAM tidak secara literal dicantumkan dalam MoU Helsinki. Sementara pendirian partai lokal sudah ditegaskan dalam nota kesepahaman tersebut. Kalau partai lokal (yang eksplisit) belum diwujudkan, mengapa GAM (yang implisit) harus ditiadakan?</div></div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify;"> <span style=""></span><i><span style=""></span></i><span style=""></span><br />Ungkapan-ungkapan petinggi GAM di atas cukup mengkhawatirkan. Ini belum termasuk posisi Irwandi Yusuf yang strategis dalam institusi GAM. Ia adalah ahli propaganda, juru runding HAM sekaligus orang penting GAM di Komisi Peralihan Aceh (KPA).<br /></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify;"><o:p></o:p><br />Di sisi lain, hasrat pemerintah Aceh melegalisasi Syariat Islam (SI) tak kalah mengkhawatirkan. Beberapa institusi yang akan mengurus keberlangsungan SI. Yakni, Mahkamah Syari’ah (MS), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Wilayatul Hisbah (WH), Dinas Syari’ah, dan Dewan Syari’ah telah dilegalkan. Tiga institusi pertama semakin kuat posisinya karena termaktub dalam UU No. 11 Th. 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). MS masuk dalam pasal 128, MPU dalam pasal 138, dan WH disahkan di pasal 244.<span style=""> </span><o:p><br /></o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Di tingkatan praktis, positivisasi SI tak kurang taji. Ia sudah memakan banyak korban, utamanya perempuan.<span style=""> </span>Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa selama tahun 2005, tercatat 46 kasus. Tujuh puluh persennya (32 kasus), perempuan menjadi terdakwa dan terhukum. Ini berarti bahwa secara <i>de facto</i>, sasaran utama dalam praktik penerapan syariat Islam di NAD. Belum lagi soal perebutan ‘lahan’, mengutip laporan <i>Crisis Group</i> medio 2006, antara polisi syari’at dan polisi (nasional).<br /></p><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=""></span>Dengan dua kecenderungan ini, kemana pendulum politik Aceh akan bergerak?<br /><b><span style=""> </span><o:p></o:p></b></p><p style="text-align: center;" class="MsoNormal"><b><span style=""> </span>****<o:p></o:p></b></p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><i><span style=""></span>Self-governance</i> atau otonomi Aceh nampaknya akan menuju jalan tengah. Latar belakang gubernur terpilih tentu amat menentukan. Di sini, prospek SI tidak terlalu moncer. Aktivis GAM, seperti Irwandi, memang dikenal sebagai kumpulan orang-orang yang terbiasa berbicara menyangkut pemisahan diri sebagai negara. SIRA mendorong pilihan itu dengan memberi ruang otonomi. Tetapi dalam soal ideologi, rupanya lain. “Keduanya termasuk sekuler,” jelas Indra J. Piliang dalam artikelnya <i>‘Otonomi Paham Separatis’</i> di Majalah Tempo (18-24/12/06).<span style=""> </span><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Sekuler di sini nampaknya dimaksudkan dengan tidak adanya keberpihakan kepada penegakan SI secara jelas. SIRA, dalam situs resminya, tidak pernah menyinggung soal SI. Pun GAM. Pernyataan Acheh-Sumatra Merdeka atau yang lebih familiar sebagai Deklarasi GAM tidak pernah menyebut SI secara vulgar. Hanya ada satu kalimat saja tentang Islam, bukan Syari’ah Islam. “…..<i>Semuanya sebagai Wali Negara dan Panglima Tertinggi yang silih berganti dari negara Islam Acheh Sumatra</i>,” demikian bunyi paragraf kelima deklarasi GAM tersebut. Tetapi yang dimaksud bukanlah Aceh dengan formalisasi SI seperti saat ini. “Mungkin itu konteksnya untuk membedakan diri dengan <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> yang penduduknya majemuk secara agama” terang Kemal Fasya (06/02/06).<br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IT"><span style=""></span>Ini senada dengan jawaban Tgk. Amni Ahmad Marzuki dan Drs. Amdi Hamdani kepada Marzuki Wahid dan Nurrohman (<i>Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syari’at Islam; Kasus Nanggroe Aceh Darussalam, </i>Jurnal <span style=""> </span>Tashwirul Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2003). “GAM tidak tertarik dengan issue seputar formalisasi SI,” tegas mantan juru runding GAM itu (15/07/02). Menurutnya, dengan nada diplomatis, SI sudah menyatu dengan budaya masyarakat Aceh dan yang ada sekarang adalah “Paket Politik Jakarta”. </span><span style=""></span><i><span style=""></span></i><span style=""></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=""></span>Selain itu, formalisasi SI tidak lain adalah aspirasi partai politik nasional yang menang pada pemilu 1999 dan 2004. Ini semu belaka. “Karena pemilu itu diadakan di tengah situasi darurat militer,” tambah peneliti <i>Center for Strategic and International Strategy </i>(CSIS) ini. <span style=""></span><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Orientasi kepada daerah otonom yang akan memerdekakan diri agaknya masih dini untuk diamati. Sejak kesepakatan damai Helsinki 15 Agustus 2005, GAM memainkan politik sipil, meninggalkan cita-cita “M”, merdeka. “Seluruh ketakutan <st1:place st="on"><st1:city st="on">Jakarta</st1:city></st1:place> terhadap kami, telah kami tanggalkan” demikian tokoh Munawarlizza Zain. M, merdeka, baginya, tak ada lagi dalam agenda. “Senjata telah kami potong dan tentara telah kami bubarkan,” tambahnya kepada Radio Nederland Wereldomroep (28/12/06). Jadi, tak ada masalah lagi soal itu.<span style=""> <br /></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=""></span>Pendapat senada datang dari pengamat politik Aceh, Kemal Fasya. IRNA akan memfokuskan pemerintahan Aceh pada soal-soal krusial. “Di antaranya, perbaikan ekonomi, pembentukan <i>clean government</i> yang bebas dan transparan,” terang ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA) ini. Pemerintahan yang peduli lingkungan dan HAM juga akan menjadi agenda politik IRNA. “Ini demi menjaga kepercayaan internasional,” tandasnya kepada WI via telepon (18/01/07). Maklum, keberadaan GAM selama ini antara lain berkat dukungan dunia internasional.<span style=""> </span><span style=""> </span><br /></p><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Kesan ini makin kuat dengan adanya ‘kunjungan’ Irwandi ke <st1:place st="on"><st1:city st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>. Ia bersama ketua tim suksesnya, mantan Panglima Wilayah GAM, Sofyan Dawood, bertemu salah satu bos Golkar yang juga taipan media asal Aceh, Surya Paloh. “Kami ingin dengar pendapat Bang Surya,” Irwandi berkelit. Seperti dirilis radio tersebut pula, <st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:city></st1:place> faksi GAM Irwandi dianggap pragmatis. Senada dengan hal tersebut adalah pendapat Sidney Jones, peneliti dari <i>International Crisis Group</i> (ICG). “Saya yakin Irwandi akan pargmatis,” tandasnya. <span style=""></span><span style=""> </span><span style=""> </span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: center;" class="MsoNormal"><span style=""> </span>****</p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=""></span>Kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan penduduk yang rendah harus menjadi agenda utama pemerintahan IRNA. Apalagi, seperti dilansir Kompas, Aceh adalah provinsi termiskin keempat sebelum tsunami. Angka kemiskinannya mencapai 28,5%. Jumlah ini diperkirakan meningkat hingga 7 % pasca tsunami sehingga menempatkan Aceh sebagai daerah termiskin kedua di <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, setelah Papua. Ini antara lain karena maraknya korupsi. Kiranya tak berlebihan jika Azhari berharap soal tersebut. “Saya berharap Irwandi-Nazar membersihkan birokrasi di Pemda Aceh sebagai sarang korupsi,” tutur pegiat Komunitas Tikar Pandan ini. <span style=""> <br /></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=""> </span>Tak kalah penting adalah merawat perdamaian yang telah disemai dengan susah payah—bahkan dengan air mata dan darah. <span style=""><span style=""> </span></span>“Bagi pemimpin yang terpilih pada Pilkada nanti harus bisa menjalankan dan menjaga kedamaian di Aceh seperti yang sudah dirasakan sebelumnya, tanpa adanya lagi kekerasan dan konflik yang berkepanjangan pasca penanda-tanganan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), sehingga masyarakat dapat hidup aman dan damai di Aceh,” demikian salah satu rekomendasi workshop yang diselenggarakan WI di Aula Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry itu (07/12/06).<o:p></o:p><span style=""> <br /></span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Di atas semua itu, yang paling substansial, justru keterlibatan seluruh komponen Aceh dalam membangun Aceh pasca pilkada dan konflik. Rakyat Aceh mesti dilibatkan oleh pemerintah dalam segala proses menuju masa depan Aceh yang lebih baik. Termasuk dalam soal pembuatan <i>policy</i>, kebijakan. Kebersamaan dan kesatuan keduanya mutlak dijunjung meski dilanda prahara apapan. Sama dengan ‘pesawat’ Seulawah yang tetap kokoh hingga kini meski diterjang tsunami. <i>Wallahu A’lam</i> (Nurun Nisa')<br /></p>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-30941963155426431672007-09-24T13:24:00.000+07:002007-09-24T14:09:08.845+07:00Bersama-sama Menolak Perda<p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><u style="font-weight: bold;"><span style=""><o:p></o:p></span></u><span style="">Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Pertanda malam mulai kelam. Tapi, Jalan Otista, Tangerang, masih ramai. Beberapa perempuan terlihat menunggu angkutan di sisi pinggirnya. Termasuk Lilis, pramusaji di sebuah restoran di Cengkareng. Ia tenang saja meski dingin angin makin menusuk. Maklum, begitulah rutinitasnya; pulang larut malam selepas kerjanya rampung.</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Tak dinyana, malam itu dirinya menginap di penjara. Sebab, petugas tramtib (ketentraman dan ketertiban, <i>Red.</i>) telah menangkapnya. Tak tanggung-tanggung, ia dituduh sebagai pelacur gara-gara kebiasannya itu. Dasarnya perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005.</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Lilis tak terima. Begitu bebas, ia mengajukan gugatan terhadap Walikota Tangerang atas pelaksanaan perda tersebut dengan didampingi pengacaranya. Tetapi ditolak oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Angga yang senasib dengan Lilis juga melakukan hal serupa dengan diwakili ibunya, Tuti Rahmawati. Tuti beserta Hesti Prabowo dan Lilis Mahmudah dengan Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR) mengajukan kasasi ke MA. Nasibnya sama; ditolak.</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""> <span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Penolakan ini tak membikin patah semangat para perempuan Tangerang. Perda boleh jalan terus, tapi perlawanan tak mau surut. “Mereka tetap tidak takut pulang malam,” kata Asfinawati ketika dihubungi The WAHID Institute, Jumat (<st1:date year="2007" day="22" month="6" st="on">22/06/07</st1:date>). Mereka, kata Ketua LBH Jakarta yang juga terlibat dalam TAKDIR ini, melakukannya karena keberanian mereka yang kuat. “Kalau bukan PSK, kenapa takut?,” begitu kira-kira argumen mereka.</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;font-family:arial;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;font-family:arial;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="">****</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;font-family:arial;" align="center"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Tak hanya Perda Tangerang yang ditolak kaum perempuan. Perda No. 5 Tahun 2003 yang mewajibkan pemakaian jilbab itu ditampik oleh perempuan Bulukumba, Sulawesi Selatan. “Ibu-ibu PNS hanya memakai jilbab ketika di kantor. Setelah pulang dilepas,” kata Subair, pegiat Lembaga Advokasi dan Pendidikan untuk Anak Rakyat (LAPAR), Makasar kepada WAHID Institute (<st1:date year="2007" day="20" month="6" st="on">20/06/07</st1:date>). Padahal, di <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city> ada kawasan bernama desa Muslim di mana warganya wajib menutup aurat setiap waktu.</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Di Padang sama saja. Instruksi Walikota No.451.442/Binsos-III/2005 yang berisi kewajiban berjibab dan anjurannya bagi yang non-Muslim itu justru menimbulkan antipati. <st1:place st="on">Para</st1:place> siswi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) negeri memang mengenakan jilbabnya. Tetapi ada rambut yang dicat di balik penutup kepala itu. “Itu (mengecat rambut, <i>Red.</i>) dilarang keras di sekolah negeri dan diberi sanksi jika dilakukan,” ujar Sudarto, seorang guru yang juga peneliti Pusat Studi Antar-komunitas (PUSAKA,) <st1:city st="on"><st1:place st="on">Padang</st1:place></st1:city>.</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""> <o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Penolakan ini sesungguhnya amat wajar. Sebab, peraturan tersebut telah mendiskriminasikan perempuan. Padahal, sudah ada peraturan dan kovenan internasional yang merekomendasikan penghapusan diskriminasi tersebut. <span style=""><br /></span></span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><br /><span style=""><span style=""></span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">“Produk kebijakan tersebut jelas mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (UU Sipol),” terang Musdah Mulia dalam tulisannya yang bertajuk <i>Perda Syari’at dan Peminggiran Perempuan</i> di <i>ICRP On-line</i> (01/08/06).<o:p><br /></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"> <br /> CEDAW memberikan amanat kepada negara yang meratifikasinya antara lain agar melakukan langkah-tindak yang tepat untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita—termasuk perda diskriminatif yang menimpa perempuan di Tangerang, Bulukumba, dan <st1:place st="on"><st1:city st="on">Padang</st1:city></st1:place>. “Setiap orang (laki-laki dan perempuan) berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi,” demikian bunyi UU HAM pasal 2. Sementara itu, UU Sipol menggarisbawahi bahwa hak sipil dan politik—termasuk hak sipil dan politik perempuan—tidak boleh dilanggar. Pemberlakuan perda diskriminatif terhadap perempuan jelas-jelas sebuah pelanggaran atas komitmen yang sudah disepakati bersama ini.<br /></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><br /><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Selain itu, peraturan diskriminatif mendatangkan kekerasan bagi perempuan sehingga layak ditolak. Kekerasan psikologis, misalnya, diterima oleh Angga akibat perda usungan Wahidin Halim itu. <span style="">“Anak saya sempat stress karena khawatir ditangkap sebab pulang malam dari hotel tempatnya bekerja,” tutur Tuti Rahmawati, ibu Angga, Selasa (07/03/06). Gara-gara itu Angga pindah kerja ke <st1:city st="on"><st1:place st="on">Bogor</st1:place></st1:city>. Bahkan indekos juga di <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city>.</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""> <o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Kekerasan ekonomi juga muncul akibat peraturan ini. Lilis Lindawati kini hanya di rumah. Sementara, suaminya yang seorang guru dipersulit dalam pekerjaannya—termasuk dalam penerimaan gaji. Padahal, itu sudah haknya. “Itu karena mereka dianggap mempermalukan pejabat pemerintahan Tangerang (karena melakukan gugatan terhadap Walikota Tangerang, <i>Red.</i>),” terang Tuti lagi kepada The WAHID Institute (19/07/07) tentang teman senasib anaknya itu.</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""> <o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Perda jilbab juga mengabaikan hak perempuan untuk memperoleh pelayanan publik sehingga pantas ditolak oleh perempuan. "Tidak melayani kecuali yang berjilbab," demikian bunyi pengumuman di balai desa di Bulukumba. </span><span style="color: rgb(35, 31, 32);">Padahal, pasal 13 perda yang digadang-gadang Pattoboi Pabokori itu menyebutkan, “Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan berdomisili dan atau bekerja dalam wilayah Kabupaten Bulukumba.”</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;font-family:arial;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="">****</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;font-family:arial;" align="center"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Lalu bagaimana jalan keluarnya? Lilis Lindawati, seperti disinggug di atas, memilih melakukan gugatan kepada Walikota Tangerang melalui PN Tangerang. Sementara itu, Tuti Rahmwati dan kawan-kawan melakukan judicial review (permohonan uji materil, Red.) atas perda anti pelacuran Tangerang ke MA bersama tim TAKDIR.</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><br /><span style=""> <o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Alasannya, antara lain karena perda tersebut melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 7 Tap MPR No.27 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. “Perda itu juga berpotensi mengkriminalkan korban perdagangan orang dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain,” tulis tim TAKDIR dalam draft gugatannya setebal 38 halaman itu.<br /></span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""> <span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><st1:place st="on"><st1:city st="on"><span style="">Namun</span></st1:city><span style="">, <st1:state st="on">MA</st1:state></span></st1:place><span style=""> ternyata memiliki anggapan yang lain. Hakim Agung Achmad Sukardja, Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar memutuskan bahwa permohonan itu ditolak. “Melihat dari aspek prosedural, proses pembentukan Perda Kota Tangerang telah melalui proses yang cukup lama, semua unsur dilibatkan, dan tidak bertentangan dengan peraturan UU,” ujar Djoko Sarwoko, juru bicara MA, mengutip delik putusan, Jum’at (13/04/07). Perda itu juga dinilai oleh MA telah melalui proses politik sehingga sudah menjadi wewenang eksekutif dan legislatif daerah dan sah untuk diberlakukan di Tangerang.<br /></span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""> <o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Akan tetapi tim TAKDIR tidak tinggal diam. “Kami sedang melakukan lobby dengan eksekutif dan departemen-departemen terkait,” jelas Asfinawati kepada The WAHID Institute, Jum’at (<st1:date year="2007" day="22" month="6" st="on">22/06/07</st1:date>). Yang dimaksud sebagai pihak eksekutif dan departemen terkait adalah Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Hukum dan HAM.<br /></span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""> <o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Sementara itu, Subair tidak memilih jalur legal formal seperti dilakukan oleh Asfinawati dan kawan-kawan dalam melawan perda jilbab. “Proses ini erat kaitannya dengan parlemen sementara masyarakat di sini belum terbiasa melakukan proses-proses itu,” bebernya. Selain itu, protes lewat jalur ini membutuhkan energi yang besar. “Lobi melalui Kaukus 56 (kaukus 56 anggota DPR menolak perda SI, Red.) saja gagal. Bahkan perda SI malah diganti namanya dengan perda anti maksiat saja,” tambahnya setengah kesal. Belum lagi, menurut Subair, soal definisi terhadap istilah ‘pelanggaran terhadap UU di atasnya’ dan ‘wewenang otonomi daerah’ yang membingungkan itu.<br /></span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""> <span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">“Jalur itu juga berat karena keyakinan agama yang berurat dalam masyarakat Bugis,” tandasnya. Orang Bugis sejak dulu kala terkenal dengan budaya menutup auratnya, termasuk dengan berjilbab yang hingga kini tidak dapat digugat. “Karena itu, kami hanya bisa menghimbau untuk tidak mematuhi peraturan tersebut dalam aras praktisnya,” paparnya lagi. Dalam aras teoritisnya, ia dan lembaganya, LAPAR, menyelenggarakan diskusi terbatas untuk membangun sikap kritis terhadap perda tersebut.<br /></span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Sudarto sejalur dengan Subair. Dalam kultur keagamaan konservatif <st1:place st="on"><st1:city st="on">Padang</st1:city></st1:place>, advokasi PUSAKA—lembaga di mana ia aktif mengkritisi perda diskriminatif—agak berat dilaksanakan dengan menempuh jalur hukum. “Kami berusaha mengkritik kebijakan tersebut melalui seminar atau forum ilmiah lainnya,” tandasnya kepada The WAHID Institute, Jumat (<st1:date year="2007" day="20" month="6" st="on">20/06/07</st1:date>).</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;font-family:arial;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p>****</span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: center;font-family:arial;" align="center"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Yang otoritatif untuk menangani perda diskriminatif ini agar menjadi memihak pada perempuan sebenarnya pemuka agama—mengingat karakter religiusitas orang <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> yang menonjol. Sayangnya, pemuka agama ini berikut pemahaman keagamaannya justru tidak menunjukkan peran yang demikian di Tangerang, Bulukumba, dan di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Padang</st1:place></st1:city>.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Di Tangerang, majelis taklim menjadi corong pemerintah dalam memberlakukan perda anti pelacuran itu. Termasuk para pimpinannya yang <i>notabene</i> ulama. "<st1:place st="on">Para</st1:place> pemimpin agama memainkan simbol-simbol Islam dalam hal itu," terang Asfinawati. Simbolisasi ini berwujud pada pencitraan perempuan; yang suka pulang malam adalah perempuan tidak baik (baca; tuna susila) sehingga harus ditertibkan demi kebaikan bersama. Sementara di Bulukumba, jilbab sudah merupakan keputusan keagamaan yang tidak bisa diganggu gugat. “Itu sesuatu yang sudah final,” jelas Subair lagi. Tradisi keagamaan <st1:place st="on"><st1:city st="on">Padang</st1:city></st1:place> begitu kuat dengan semboyan-nya yang khas: <i>Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah</i>. “</span>Mengkritisi itu kita dianggap orang Yahudi-lah atau Kristen,” ujar Sudarto dalam sebuah acara refleksi yang digelar WI di Padang, Senin (<st1:date year="2005" day="27" month="6" st="on">27/06/05</st1:date>). </span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Pihak lainnya adalah negara. Akan tetapi, kiprah negara sepertinya tidak jauh berbeda. Departemen Dalam Negeri (</span>Depdagri) memang sudah mengupayakan pengawasan dan evaluasi perda-perda yang dianggap bertentangan, baik dengan sistem perundang-undangan yang lebih tinggi maupun bertentangan dengan masyarakat setempat. "Langkah nyata Depdagri tersebut terbukti dengan pengawalan perda diskriminatif di tiga daerah," terang Janiruddin, Kabag Pengkajian dan Evaluasi Produk Hukum Biro Hukum Depdagri dalam sebuah diskusi, Kamis (<st1:date year="2007" day="14" month="6" st="on">14/06/07</st1:date>).<br /></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""></span>Pengawalan yang dimaksud berbentuk pembinaan antara lain kepada Walikota Tegal, Bupati Purworejo, dan Bupati Banjarmasin. Tetapi, perda yang dimaksud terkait dengan larangan minuman beralkohol. Tak ada nuansa perda (diskriminatif) perempuan di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:city></st1:place><span style=""> </span></span> meskipun pembinaan ini telah melibatkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP).</p> <p style="text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Meutia Hatta, sang menteri, sesungguhnya juga sudah menunjukkan sikap. Ia berkeluh soal perda yang diskriminatif terhadap perempuan. </span>“<i>Masa</i> sekarang makin banyak perda yang tidak pro-perempuan dan justru membatasi gerak perempuan,” ujarnya dalam peringatan Hari Kartini di Jakarta, Senin (<st1:date year="2007" day="23" month="4" st="on">23/04/07</st1:date>). Hal itu dinilai kontradiktif dengan prinsip kesetaraan gender di segala sektor termasuk soal Pengarus-utamaan Gender (PUG) dalam kementeriannya sesuai Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000. Ia beserta timnya-pun berusaha membendungnya. "Kami sudah mengirimkan <st1:city st="on">surat</st1:city> ke gubernur dan wali <st1:place st="on"><st1:city st="on">kota</st1:city></st1:place> kalau ingin membuat perda harus memperhatikan kesetaraan gender," tambahnya dalam satu kesempatan, Selasa (<st1:date year="2006" day="23" month="5" st="on">23/05/06</st1:date>). </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Tetapi KNPPP bukanlah kementerian yang berbentuk departemen yang memiliki kewenangan luas. “Kementerian Negara mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara,” demikian bunyi pasal 89 Peraturan Presiden No.9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Ketentuan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Sementara itu, kementerian yang berbentuk departemen memiliki langkah yang lebih panjang karena diberi wewenang untuk menyelenggarakan apa yang sudah dirumuskan. Semaju-majunya KNPP, langkahnya tetap terbatas karena kewenangannya tak banyak. Sehingga, kiprah mereka tidak terlalu bisa diharapkan. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;font-family:arial;" align="center"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p>****</span></p> <p style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""> </span> Karena itulah, penolakan perda lebih tepat dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Tidak dengan mengandalkan siapa-siapa. Bentuknya adalah melibatkan perempuan dari berbagai kalangan. Tak peduli, apakah berasal dari legislatif, aktivis, bahkan perempuan di ranah domestik. “Kita merekomendasikan bahwa perempuan harus membuat koalisi. Koalisi <i>rainbow power </i>(kekuatan pelangi, <i>Red.</i>) atau semacam itu,” usul Erni Agustini, peneliti di <i>Women Research Institute</i> (WRI), <i>(Lihat Wawancara; Perlu Koalisi Rainbow Power</i>). <o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Usulan ini sesungguhnya masuk akal. <i>Pertama</i>, karena tingkat legislasi perempuan rendah. <span style="">Seperti dirilis Kompas (28/08/01), hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Dengan jumlah sekecil ini, perempuan daerah tak sanggup membendung lahirnya peraturan yang diskriminatif tersebut karena posisi tawarnya yang tidak cukup signifikan.<br /></span></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""> <o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><i><span style="">Kedua</span></i><span style="">, perempuan di ranah domestik ternyata memiliki peranan penting sepert halnya kaum legislatif. “Ibu PKK juga mempunyai peran yang signifikan,” tambah alumnus Pusat Studi dan Kajian Wanita (PSKW) UI. <i>Ketiga</i>, aktivis perempuan dan organisasinya yang tidak diragukan lagi kontribusinya dalam perjuangan melawan diskriminasi perempuan, terutama di daerah. “K</span>eberadaan organisasi perempuan di tingkat daerah itu sangat penting keberadaannya dalam konteks otonomi daerah”, ujarnya lagi.<br /></span></p><p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><br /><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="">Perempuan bisa menolak perda bersama-sama. Mari! <i>Wallahu A’lam </i>(Nurun Nisa')<i>. </i><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span>.<span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 17.85pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-41413290915148640562007-09-24T13:15:00.000+07:002007-09-24T14:11:53.410+07:00Perda SI; Aspirasi atawa Komoditi?<div style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-weight: bold;"></span></span></div> <p> </p><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Oleh: <b style="color: black; background-color: rgb(255, 255, 102);">Nurun</b> <b style="color: black; background-color: rgb(160, 255, 255);">Nisa</b>’<br /><br />Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta menunjukkan bahwa 61,4% penduduk Muslim yang bermukim di 16 propinsi di seluruh Indonesia menyetujui syari'at Islam (SI). Riset yang dilakukan pada November 2001 ini kemudian menambahkan soal keterbelahan sikap para responden. Mereka, yang notabene santri, ternyata tidak sepaham dalam soal implementasi SI. 'Syari'at yes, potong tangan nanti dulu', kiranya merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan realitas ini; ada perbedaan tajam antara pemahaman dan pelaksanaan SI (Tempo, 2001).<br /><br />Realitas ini amat menarik jika dikaitkan dengan regulasi otonomi daerah seperti termaktub dalam UU No.22 Tahun 1999. Peraturan yang menjamin daerah berhak mengatur dirinya sendiri ini telah membuka banyak peluang. Di antaranya adalah soal pilihan orientasi dalam pembuatan peraturan daerah. Termasuk juga kecenderungan (formalisasi) syari'at Islam.<br /><br />Gejala di atas dapat dilihat dari meruyaknya aturan daerah bernuansa syari'ah Islam. Sebut saja <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> syaria'ah Islam (<b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> SI). Penggagasnya rata-rata Bupati dengan dukungan badan SI. Di Garut, badan tersebut bernama LP3SI (Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan SI). Sulsel dengan KPPSI (Komite Persiapan Penegakan SI), Banten (KPPSIB; Komite Persiapan Penegakan SI Banten), Cianjur (LPPI, Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Islam), Tasikmalaya (FBPI, Forum Bersama Pemuda Islam), Sukabumi (BPPSI, Badan Pengkajian dan Pengembangan SI). Tak kalah, Kebumen mempunyai FTJ (Front Thariqatul Jihad), Yogyakarta memiliki GPSI (Gerakan Penegak SI)-nya (Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, 2004).<br /><br />Dan memang, bupati dan badan SI-lah yang selama ini menjadi aktor di balik <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">Perda</b> syariah di berbagai daerah. Peraturan di Bulukumba tentang pandai baca tulis Al-Qur'an bagi siswa dan calon pengantin No. 06 Tahun 2003 misalnya dirumuskan oleh Bupati Patoboi Pabokori dan Ketua KPPSI, Aziz Kahar Muzakkar. Atau <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">Perda</b> No. 18/2001 soal pelarangan minuman keras di Pamekasan oleh Bupati Dwiatmo Hadiyanto. Juga Bupati Wasidi Swastomo dengan konsep Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah) di Cianjur—dan lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan LPPI (Lihat tabel). Kesemua daerah memperlihatkan ciri-ciri yang hampir seragam.<br /><br />Betapapun, tidak mampu disangkal adanya kenyataan bahwa masyarakat didera kepanikan yang luar biasa ketika Orde Baru tumbang. Rezim yang begitu hegemonik ini meninggalkan rakyat dalam beliung keterpurukan. Dan, publik akhirnya limbung. Mereka seolah kehilangan pegangan karena seluruh hidupnya selama ini telah diatur dan ditundukkan oleh berbagi policy yang dibuat pada masa rezim Soeharto.<br /><br />Akhirnya, ketika rezim itu runtuh, sebagian dari mereka mulai mencari authentisitas diri. Ambisi ini dimulai dengan 'pencarian' asal-mula daerah yang berujung pada romantisme Negara Islam Indonesia (NII) seperti di Garut (RAHIMA, 2004) atau kerajaan Islam tempo doeloe pada kasus Bulukumba (LAPAR, 2004). Kemudian dilanjutkan dengan problem otentisitas budaya—bahwa kita dikungkung oleh budaya Barat. Hukum dan ekonomi, sebagai contoh, yang membuat Indonesia terjerembab dalam krisis multidimensi adalah hasil adopsi peradaban Barat. Untuk itu, kita perlu kembali ke asal; kita perlu kembali ke 'khittah' awal yang original, yang asli. Dengan kata lain, hukum Islam, ekonomi Islam, dan seterusnya merupakan solusi paling ampuh.<br /><br />Yang lain, merasa resah karena banyak terjadi degradasi moral yang sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Banyaknya perempuan yang berpakaian mini dan tidak berjilbab ditambah pornografi dan pornoaksi yang kian marak, misalnya, membuat jengah sebagian kalangan. Aturan berjilbab dan kewajiban memakai busana muslim(ah) yang ketat tak ayal menunjukkan opini ini. Dan, terlihatlah sebuah upaya 'mendisiplinkan' perempuan—perempuan kadung dianggap sebagai parameter baik buruknya moralitas masyarakat—demi memperbaiki keadaan.<br /><br />Berbagai alasan kuat ini lantas berjalin berkelindan dengan ambisi-ambisi kelompok kepentingan. Di Cianjur, Bupati menjadikan <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> SI sebagai program utama, main program. Tentu ini terkait dengan interest politik; apalagi jika disambungkan dengan event pilkadal (pemilihan kepala daerah langsung) yang kian mendekat. Bupati Bulukumba dan Sukabumi nampaknya melakukan upaya yang terakhir ini. Dengan demikian, bukan tidak mungkin, terjadi politisasi agama—syari'ah dibungkus sedemikian rupa sehingga berbentuk komoditas politik yang bernilai jual tinggi.<br /><br />Di samping kepentingan politis, dalam penerapan <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> SI, ditengarai terdapat pula kepentingan bisnis. Meski menumpang, kepentingan kaum pemodal ini menangguk untung besar. Di Tasikmalaya, industri bordir maju pasca lahirnya regulasi SI terutama berkaitan dengan suplai jilbab sehubungan isu jilbabisasi. Pun di Cianjur, seperti dilansir AD. Kusumaningtyas (aktivis RAHIMA), di mana terdapat penyelenggaraan busana muslim keluaran Shafira sehabis pertemuan ibu-ibu PKK. Juga Bandung, hanya peragaan rancangan baju muslimah saja yang diizinkan. Soal <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> miras yang inkonsisten ternyata menimbulkan problem baru; kesenjangan antara pedagang besar dengan pedagang kecil. Pembolehan penjualan miras hanya di tempat pariwisata (Bira) menguntungkan pihak tertentu (LAPAR, op.cit.). Pengusaha besar tidak dirugikan karena dagangannya tetap dapat dijual asalkan memperoleh mengantongi izin resmi.<br /><br />Sementara itu, sebagian kalangan mengklaim bahwa <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> SI murni niatan untuk menjalankan perintah Tuhan. Karena berstatus Muslim, maka, mereka mesti melaksanakan SI. <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">Perda</b> miras (Pamekasan), <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> zakat profesi (Lombok Timur), qanun khalwat (Aceh), dan kewajiban memakai jilbab (Cianjur) serta larangan keluar malam bagi perempuan (Padang) dianggap mewakili semangat ini.<br /><br />Namun, fenomena yang terjadi belakangan memperlihatkan spirit 'yang lain'. Kebutuhan melaksanakan SI bukan lagi soal kepentingan komunal. Tepatnya, aspirasi kaum muslimin lokal. Dalam perjalanan, <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> SI ternyata lahir tanpa komunikasi dengan kalangan akar rumput. Pola yang dianut bukan bottom-up, melainkan bergaya elitis; top-down. Draft <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> sudah jadi; masyarakat tinggal menyetujui. Mereka tidak diberi ruang sama sekali untuk sekedar beradu argumentasi, apalagi mengkritisi. Bupati dan unsur-unsur pendukungnya menguasai wilayah ini.<br /><br />Di sinilah, menurut Uli Parulian, Direktur LBH Jakarta, terdapat representasi semu. Representasi penuh (dalam proses pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan peraturan perundang-undangan) seperti dikehendaki oleh undang-undang tata cara pembuatan peraturan, tidak dilaksanakan. <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">Perda</b> SI malah diaku mewakili masyarakat—karena unsur-unsur struktural ormas tertentu memang diundang—padahal, yang paling berhak disebut representasi adalah masyarakat secara kultural. Di sinilah, terjadi sebuah reduksi dari demokrasi partisipatif yang sesungguhnya ideal menjadi—mengutip Robert A. Dahl—sekedar demokrasi prosedural (Robert A. Dahl, 2001). <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">Perda</b> SI sudah illegitimate secara sosial.<br /><br />Jika ditarik dalam soal tata tertib perundang-undangan, lanjut Uli, <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> SI sudah menyalahi hierarki. Kaidah lex superiore derogat lex inferiore (peraturan perundangan-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi) sudah dilangkahi. Dengan demikian, <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> SI, cacat untuk kedua kali; cacat dari sisi hukum. Namun, masyarakat tetap bungkam.<br /><br />Keadaan ini (baca: masyarakat yang bungkam) patut dipertanyakan. Apalagi jika dilengkapi data-data berikut; Alifah (nama samaran) digunduli kepalanya oleh Forum Bersama Pemuda Islam (FBPI) sebab tertangkap basah pulang malam tanpa didampingi muhrim. Padahal, ia melakukannya karena darurat; ia tidak mendapatkan kendaraan sampai malam menjelang. Forum pendukung SI Tasikmalaya ini tidak (mau) tahu bahwa sang gadis sudah berinisiatif berangkat sejak pagi buta (Taufik Adnan Amal, op.cit). Idham, mantan aktivis mahasiswa yang juga lulusan PTAIN ternama, mengalami nasib serupa. Ia 'dikerjai' aparat kabupaten Bulukumba ketika akan bertemu dengan Bupati. Al-Qur'an harus dibaca terlebih dahulu sebagai tiket masuk dalam protokol birokrasi di salah satu daerah Sulsel ini. Bahkan, di Lombok Timur, soal pungutan zakat profesi telah menyengsarakan para 'Oemar Bakri'. Gaji yang sudah kecil dipotong sebanyak 2,5% tanpa diperkuat dengan transparansi (Syir'ah, 2006). Walhasil, <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b><br /><br />Tekanan politik yang keras dan kontinyu, setidaknya, menjadi alasan utama mengapa <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> SI tetap (di)berlangsung(kan). Suara protes hanya lamat-lamat terdengar ditelan gemuruh penyeragaman kepatuhan. Nampaknya, silent majority saja yang tetap eksis—meski tidak memiliki imbas signifikan. Begitu efektif dan manjurnya kebijakan ini, antara lain karena didukung oleh mekanisme pemaksaan model baru. Pemaksaan pemahaman keagamaan, menyitir Ahmad Suaedy, telah menggeser pemaksaan militer ala Orde Baru. Benar, kombinasi antara pemuka agama dan penguasa telah mengefektifkan kerja-kerja hegemoni ini. Memasuk-paksakan program-program SI sebagai program unggulan, tandas direktur The Wahid Institute ini, menjadi penanda akurat yang dominan.<br /><br />Kalau sudah seperti ini, <b style="color: black; background-color: rgb(153, 255, 153);">perda</b> SI nampaknya tidak bisa ditabalkan sebagai aspirasi melainkan komoditi. Masihkah kita berekspektasi? <span style="font-style: italic;">Wallahu A’lam</span>.<br /><br />Ciputat, 07 April 2006<br /></span> <br /></div>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-46357086342114085812007-09-19T16:06:00.000+07:002007-09-19T16:23:48.065+07:00Teladan dari Kyai-kyai Oposan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/RvDqeRSYX1I/AAAAAAAAAAM/jQYdlYPYK9U/s1600-h/oposan.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="http://4.bp.blogspot.com/_Edh5CAWYxoE/RvDqeRSYX1I/AAAAAAAAAAM/jQYdlYPYK9U/s320/oposan.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5111843382822985554" border="0" /></a><br /><strong>Judul Buku ; Ulama-ulama Oposan; Syaikh Haji Rasul, Ustadz Ahmad Hassan, KH. Zainal Mustofa, KH. Isa Anshary<br />Penulis ; Subhan SD<br />Penerbit ; Pustaka Hidayah Bandung<br />Tahun Terbit ; 2000<br />Tebal Buku ; 198 hlm. </strong> <p class="style1" align="justify">Singaparna, Jum’at, 25 Februari 1944. Seorang kyai naik ke mimbar. Ia berkhutbah seperti biasa. Tapi kali ini materinya ada imbuhannya; ada pengarahan untuk waspada terhadap penguasa Jepang karena ia dan santri-santrinya sudah berani membangkang. <em>Seikere</em>, upacara membungkukkan badan kepada Dewa Matahari, mereka tolak karena dianggap sebagai kemusyrikan. Rombongan Camat Singaparna bahkan mereka tahan karena dinilai membahayakan jiwa sang kyai. </p> <p class="style1" align="justify">Semua santri juga diminta berjaga-jaga jikalau Jepang tiba-tiba datang. Tapi ia tidak memaksa. “Apabila tidak ikut, sebaiknya kembali saja ke kampung masing-masing,” ucapnya datar. Ternyata, semua santri <em>manut</em> pada pengasuh pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya ini. </p> <p class="style1" align="justify">Ya, kyai yang disebut-sebut itu adalah KH. Zainal Musthofa. Kyai wakil Rais Am NU Cabang Tasikmalaya di tahun 1927 itulah yang menjadi motor utama perlawanan rakyat Singaparna. Jepang kocar-kacir dibuatnya. Kyai Zainal sudah canggih waktu itu; ia membentuk kompi dari lima asrama pesantrennya. Pasukan intinya—tentu saja terlatih, teruji, dan terbukti—saja berjumlah 509 orang. Apa lacur, sebagian pribumi memilih pasang badan membela penjajah. Sehingga, kerabat Ajengan Zainal Muhsin ini kalah. Merekalah yang mengantar kyai kelahiran1899 ini dihukum tembak pada 25 Oktober 1944. </p> <p class="style1" align="justify">Kisah oposan kyai teman seperjuangan Ajengan Ruhiyat itu diungkapkan oleh Subhan SD dalam bukunya yang bertitel <em>“Ulama-ulama Oposan; Syaikh Haji Rasul, Ustadz Ahmad Hasan, KH. Zainal Mustofa, KH. Isa Anshary”</em>. Seperti judulnya, buku ini hendak mengupas kisah para kyai melakukan perlawanan terhadap pihak yang sewenang-wenang; entah penjajah atau pemerintah yang zalim. Mereka mengambil peran oposisi (<em>mu’aradhah</em>) atau kerap disebut oposan. </p> <p class="style1" align="justify">Oposan yang dimaksud dalam konteks ini adalah sebagai tokoh kunci dalam perjuangan menentang kolonialisme dan praktik kezaliman. Kyai—dalam memenuhi panggilan suci jihad Islam—tidak hanya mengaji dan beraktivitas di lingkungan keagamaan, tetapi menjadi penggerak perubahan sosial dan politik. Oleh karena itu, inti sikap oposan adalah <em>amar makruf nahi munkar</em>. Caranya, bisa dilakukan dengan tangan (kekuasaan), dengan lisan (kritik, protes, nasihat, dan sebagainya) atau hanya dengan menggunakan hati (berdoa). </p> <p class="style1" align="justify">Dalam hal ini Kyai Zainal memilih tidak berdamai dengan Jepang plus menanggung resiko-resikonya. Pengaruh dan pengikutnya dipakai untuk melawan penindasan sewenang-sewenang. Di sini, ia berusaha melakukan penjarakan dengan penguasa demi memelihara independensinya itu. Kyai Zainal memilih melakukannya dengan tangan karena dia punya kemampuan untuk itu berkat kedudukannya sebagai pengasuh pesantren berikut kenalan-kenalannya yang rata-rata <em>ajengan</em>.</p> <p class="style1" align="justify">Kyai Zainal, dan kyai-kyai lain yang diceritakan dalam buku setebal 198 ini, tampaknya menginternalisasi betul wejangan dari Al-Ghazali (w. 505 H / 1111 M). <em>Hujjatul Islam </em>itu mengatakan bahwa ulama seharusnya mampu menciptakan jarak dengan penguasa (<em>umara’</em>). Ulama yang baik dan lurus tidak mendatangi para penguasa, pemerintah atau birokrat selama ada celah untuk menghindarinya. Mereka senantiasa memelihara diri dari dari kemungkinan dampak yang muncul akibat hubungan tersebut. </p> <p class="style1" align="justify">Al-Ghazali nampaknya memberikan semacam peringatan dini (<em>early warning</em>) tentang betapa sulitnya melepaskan diri dari kepungan kondisi psikis apabila jarak itu tidak sama sekali. Sebab, hal tersebut dapat berpengaruh pada sikap kaum ulama terhadap penguasa. </p> <p class="style1" align="justify">Inilah sesungguhnya yang dapat diambil dari buku ini; perlunya kemandirian sikap seorang kyai. Seperti diketahui, belakangan ini peran kyai sebagai penggerak ataupun makelar budaya (<em>cultural broker</em>) dalam sebuah perubahan sosial seperti sedang memudar. Sebabnya, mungkin zaman sudah berubah tapi sang kyai tak mau beradaptasi. Tetapi amat mungkin jika karakteristik kyai tak seperti dulu lagi. Mereka lebih suka men(di)dekati dengan kekuasaan ketimbang menjadi pelayan umat. </p> <p class="style1" align="justify">Memang, menjadi oposan kini bisa berarti macam-macam. Melawan kapitalis yang rakus juga sebuah perlawanan. Atau menentang birokrat yang rajin memperkaya diri sendiri. Namun, kedua hal ini seperti tak terbukti sekarang ini. </p> <p class="style1" align="justify">Kita tahu sendiri bahwa tak ada suara lantang kyai menentang cuci tangannya Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. Tak ada fatwa ulama menentang penggusuran di mana-mana. Tak ada pula rekomendasi khusus perdagangan perempuan, termasuk pengiriman TKW kecuali setelah didesak di sana-sini. </p> <p class="style1" align="justify">Yang ada hanya gemuruh dukungan para kyai untuk dukungan calon gubernur tertentu. Atau gegap gempita ceramah kyai di acara-acara pejabat yang tak ada nuansa dakwahnya sama sekali. Bahkan, sebagiannya kini bak selebritis. Susah dicari dan acapkali mementingkan materi.</p> <p class="style1" align="justify">Dalam konteks yang beginilah, buku keluaran tahun 2000 ini menemukan relevansinya. Pengamat pesantren, aktivis gerakan sosial, dan terutama, para santri (calon kyai) mesti membaca buku ini—untuk dijadikan teladan dan bahan pelajaran di masa depan. (<strong>Nurun Nisa’</strong>) </p>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-34147956195865768102007-08-24T17:08:00.002+07:002007-08-24T17:50:51.641+07:00Mencari Islam yang Ramah Perempuan<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Oleh: Nurun Nisa’<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><u><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >PERGULATAN AWAL; BERTEMU DENGAN HAL-HAL YANG TAK TERPIKIRKAN<o:p></o:p></span></u></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Apakah perempuan didiskriminasikan oleh agama? Dulu saya tidak mempersoalkannya sama sekali. Itu pertanyaan remeh; tidak menggelitik—bahkan terkesan kontraproduktif. Tidak mungkin jenis kelamin menjadi alasan pembedaan. Tuhan Maha Adil. Mustahil perempuan diperlakukan secara tidak sama dengan laki-laki. Bukankah mereka sama-sama makhluk Tuhan yang diciptakan dari satu jiwa? Begitu kata guru yang amat saya hormati ketika menimpali kegelisahan saya. Saya meyakini itu. Beliau malah menguatkannya dengan sitiran kalimat Ilahi. Kuat sudah pendirian saya. Demikianlah, tidak ada persoalan dengan ke-perempuan-an.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Namun, pikiran tersebut ternyata merupakan bias dari kehidupan keluarga saya. Bias, karena pengalaman saya adalah sebuah partikularitas. Bukan universalitas. Tidak semua perempuan bernasib “seberuntung” saya. Saya diperlakukan dengan proporsional. Dengan amat seimbang. Nyaris tidak terdapat pembedaan. Apa-apa yang diberikan orang tua kepada anak laki-laki selalu didistribusikan kepada anak perempuan. Pekerjaan berkisar menyapu, mencuci, membersihkan rumah sama sekali tidak mengenal jenis kelamin. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> pembagian secara sistematis. Yang tertua sampai mereka yang tergolong usia <i style="">baligh</i> harus mau melakukannya. Jangan sampai pekerjaan-pekerjaan tersebut dilanggar. Ibu dan bapak bisa marah besar.<span style=""> </span>Kakak lelaki saya lebih mahir memasak ketimbang saya. Itu tidak tabu. Urusan mengecat sanggup saya kerjakan dibantu<span style=""> </span>yang lain. Pun persoalan yang cukup sensitif: urusan menuntut ilmu. Semua anak-anaknya, ibu selalu mengatakannya demikian, harus sekolah setinggi mungkin. Tidak ada yang boleh mengulangi kesalahannya<span style=""> </span>di masa lalu; kesempatan belajar timpang karena perspektif yang masih berputar pada kisaran<i style=""> male-civilization.</i></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Namun, semakin lama pertanyaan tersebut kian memuncak. Memancing perdebatan saja. Ah, pikir saya, itu pertanyaan yang mendendam. Ia terlontar oleh mereka [perempuan-perempuan] yang dijahati oleh kaum lelaki. Mereka tidak mampu membalaskannya secara setimpal, lalu disebarkanlah “virus kebencian”. Paling tidak dengan cara ini, lelaki-lelaki tersebut dapat tersiksa dengan perlahan. Lalu kalah dan tersingkir. Sebuah <i style="">demagogi</i>, kata Romo Haryatmoko, yang cantik dan sistemik. Atau, ke-iri-an yang menyelimuti relasi lelaki <i style="">vis-à-vis </i>perempuan. Selalu saja terdapat kelebihan laki-laki. Perempuan ter[di]singkirkan. Mungkin dalam segi prestasi. Atau <i style="">penis envy</i> seperti disangkakan Sigmund Freud. Sebentuk alat yang penuh kuasa; yang dengan tebaran spermanya, mampu memfasilitasi terciptanya sebuah kehidupan baru. Dengan tanpa kesusahan. Tak perlu hamil seperti halnya perempuan. <i style="">Ngidam, </i>apalagi PMS (<i style="">Pre Menstruation Syndrom</i>), kaum lelaki tidak pernah mengalaminya sama sekali. Dan, itu terjadi karena laki-laki memiliki penis. Penis, bukan vagina. Penis akhirnya tidak dapat ditampik menjadi <i style="">common enemy</i> perempuan—saya tidak termasuk di dalamnya, saya mengambil posisi berseberangan dengan mereka—yang harus dilawan. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Dan, realitas demikian terus berjalan dan merapat ke seluruh pelosok pikiran saya. Ya, bagi saya pertanyaan tersebut lebih didasari naluri emosional dibanding nalar rasional. Kesimpulannya: pertanyaan tersebut memang tidak bermutu sama sekali. Sampai usia 17-an, saya tetap meyakininya dengan kuat. Tapi semuanya hampir rubuh, ketika saya dipertemukan dengan realitas di dunia lain. Dunia yang amat berlainan dengan<span style=""> </span>dunia saya. Sebuah dunia yang mengerikan. Dunia yang tidak ramah dengan perempuan. Saya sedih dan mencak-mencak ketika tersadar. Teman dekat saya selama ini ternyata diperlakukan dengan tidak manusiawi. Dengan alasan berjenis kelamin perempuan, ia diperlakukan tidak wajar. Ia bekerja <i style="">full time</i> dalam keluarga. Semua acara kerumahtetanggaan dibebankan padanya. Itu tugas perempuan. Ringkasnya, apa-apa yang termasuk <i style="">Triple M</i> (Memasak, Menyusui, dan Melahirkan)—demikian Ratna Megawangi mendeskripsikan—wajib dikerjakan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Berat sekali tugas perempuan, pikir saya. Perempuan harus menjadi super kuat. Karena siapapun tahu bahwa kerja-kerja rumah tangga adalah selama 24 jam penuh. Dari mata terbuka hingga terpejam. Dan, itu membutuhkan stamina lebih. Berbeda dengan laki-laki. Ia membanting tulang paling lama dalam kisaran 12 jam. Selebihnya, dirinya dapat menjadi majikan. Tinggal memanggil, datanglah istri atau anak [perempuan]. Dengan sekejap, kopi dan makanan ringan terhidang. Asyik sekali. Bila ternyata terdapat masalah di tempat kerjanya, ia berhak melepaskannya di rumah. Itu boleh dan absah, kata teman lelaki saya. Saya pun tercengang. Relasi macam apa ini? Laki-laki begitu didewakan. <i style="">Centrum</i>, katakanlah. Sementara perempuan tidak lain merupakan orang-orang pinggiran. Suaranya hampir-hampir termarjinalkan. <i style="">Subaltern—</i>meminjam istilah Gayatri Spivak—mungkin kata yang paling tepat, demi menggambarkan perempuan. Posisi <i style="">subaltern</i> adalah posisi yang sama sekali di luar kekuasaan. Suaranya tidak didengarkan. Partisipasinya tidak diharapkan. Jika keadannya demikian, benarkah perempuan lahir untuk didiskriminasikan? Tidak. Tidak. Saya belum mau berpikir demikian. Pendirian saya memang melemah, tapi bukan berarti saya berpindah. Saya menjadi pendukung mereka yang menebarkan “virus kebencian” kepada laki-laki? Belum. Hanya satu bukti saja. Itu perlu diragukan. Bisa saja, ia merupakan kekecualian.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Bulan berikutnya saya mendapat kejutan. Teman perempuan pesantren saya merasa “kedaulatan”nya dilangkahi. Ia memang tidak pernah menyebutnya demikian. Namun dengan bahasa sederhana, ia berkata: “Privasiku dilanggar”. Dengan tuturan dan argumen yang lumayan sistematis, saya mantap; bahwa yang dimaksudkan adalah kedaulatan dirinya. Itu tidak penting. Tapi ceritanya menarik. Surat-surat<span style=""> </span>kiriman teman karibnya ternyata disensor lebih dulu sebelum dibaca, asalkan isinya tidak bertentangan dengan peraturan pesantren.<span style=""> </span>Salah satunya, dilarang surat-menyurat yang berkaitan dengan “urusan perasaan”. Haram. <i style="">Zina sughra</i>. Jika telah<span style=""> </span>seperti itu, jangan pernah berharap membacanya; melihat berkasnya saja sudah cukup beruntung. Kenyataan demikian terus berlanjut sampai sekarang. Sejatinya, ia tidak mempersoalkan masalah pemeriksaan. Tapi kenapa harus laki-laki? Bukankah banyak santri perempuan? Mereka tidak mungkin begitu bodoh sehingga tidak mampu membedakan antara <st1:place st="on"><st1:city st="on">surat</st1:city></st1:place> yang “benar” dan tidak. Perempuan tidak diperhitungkan. “Tidak adil”, ia mengakhiri kisahnya. Rupanya ini tidak terjadi di lingkungan abangan—teman saya di awal berasal dari kalangan bukan santri—namun di ranah kehidupan di mana nilai-nilai agama begitu lekat. Pengasuhnya tidak melakukan upaya apapun. Agama tidak berbuat apapun. Sementara perempuan tetap dengan ikhlas melakukan apapun untuk menyempurnakan keberagamaannya. Perempuan tidak berniat sedikitpun keluar dari agamanya lalu menjadi atheis hanya karena didzalimi agama. Benarkah ucapan Carol Tavris, bahwa paling bersahabat dengan perempuan adalah agama; yang paling tidak bersahabat dengan perempuan adalah agama? Saya pun limbung.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Mengapa runyam seperti ini? Belum sempat berpikir jernih, muncul goncangan bertubi-tubi. Saudara [laki-laki] saya dengan setengah berkelakar menyatakan untuk tidak akan memperistri perempuan melebihi dirinya. Utamanya jenjang pendidikan si calon istri. Perempuan itu akan dibimbingnya. Akan dididik dengan benar. Diproyeksikan sedemikian rupa sehingga menjadi istri <i style="">shalihah</i>. Ciri-cirinya terdapat pada istri yang mampu menyenangkan perasaan suami; istri yang menuruti segala kemauan suami. Dan, berkuasalah suami melebihi orang tua istri. Ia melanjutkan opininya dengan terus mengulang hikayat dalam kitab<i style=""> Uqudullujain</i>. Hikayat yang amat saya hafal sampai sekarang. Ketika itu, terdapat seorang perempuan sedang mendapati ayahnya kesakitan. Ia sudah menjenguknya. Sampai suatu saat, ayahnya tidak kuat menahan sakit hingga kepayahan. Tibalah masa-masa <i style="">sakaratul maut</i>. Si istri diundang untuk segera datang. Istri menolak karena tak ada izin dari suami; waktu itu suaminya sedang tidak berada di rumah. Padahal, jarak keduanya—rumah si istri dengan orang tuanya sangat dekat. Istri di lantai atas sementara keluarga orangtuanya di lantai bawah. Merasa sudah mendesak, si istri didatangi kembali. Si istri tetap tak bergeming. Suaminya sudah <i style="">wanti-wanti </i>untuk tidak keluar sebelum ia datang. Sang ayah keburu dijemput ajal sebelum suami anaknya datang. Datang kabar tak terduga; seluruh dosa ayahnya dihapuskan karena kepatuhan istri terhadap suami. Suami, lanjut saudara saya, berperan penting. Seandainya si istri memaksa datang, tidak mungkin terjadi demikian.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Apalagi ini? Penghormatan luar biasa kepada suami; melebihi orang tua yang telah bersusah payah membesarkannya? Bukankah ini merupakan <i style="">idolisasi </i>suami; pemberhalaan suami? Ini menyimpang, pikir saya. Suami hampir-hampir saja “menyamai” Tuhan. Sulit diterima akal untuk ukuran Islam yang <i style="">notabene</i> tauhid; monotheis. Dan, tidak. Kali ini saya tidak sangup menoleransi lagi. Bahwa perempuan didiskriminasi adalah nyata dan di depan mata. Kemana saja saya selama ini?<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya kembali limbung. Kehilangan pegangan; yang terakhir saya dengar membuat saya berpikir ulang tentang relasi perempuan <i style="">vis-à-vis</i> laki-laki. Saya harus luruh oleh penyangkalan terhadap keyakinan pihak yang selama ini terkesan pendendam terhadap figur laki-laki. Harus berputar haluan. Inilah satu-satunya usaha yang<span style=""> </span>dapat<span style=""> </span>saya kerjakan untuk memperbaiki dosa besar. Sebuah dosa karena telah membiarkan sesama perempuan terjebak dalam kondisi penuh ketidakadilan. Padahal, jelas-jelas terdapat kemampuan untuk merubah keadaan. Tibalah saya di titik mengejutkan. Tidak terdesain sama sekali. Saya tanpa sengaja berubah menjadi pribadi ekstrimis.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><u><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >TENGAH-TENGAH; MENJADI EKSTRIMIS<o:p></o:p></span></u></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Fase ini begitu saja mengaliri pikiran dalam otak saya. Bisa jadi inilah reaksi balik atas kebodohan yang telah terlanjur saya pelihara tanpa rasa kebersalahan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Waktu itu, tahun ajaran baru menjelang. Saya masuk UIN Jakarta. Sebuah pergumulan panjang sebenarnya. Dilematis; saya (di)harus(<st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>) nyantri atau kuliah. Tapi itu selalu saya banggakan hingga kini. Teman-teman berjibaku dengan kemuraman masa depan, saya justru kebingungan menentukan pilihan. Apalagi untuk teman-teman perempuanku. Sebut saja<i style=""> madesur</i> (masa depan suram) bagi mereka. Tidak ada pilihan menggembirakan. Bekerja atau segera dipinang orang. Tragis. Amat tragis, karena mereka sekedar melaksanakan. Tidak ada pelibatan. Palu diketuk dan tanpa <i style="">ba bi bu </i>langsung dilaksanakan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Sebenarnya faktor ekonomi bukan landasan utama penentu masa depan mereka. Kalau saja tekad sudah bulat, semua bisa disiasati. Tapi, ternyata ada penanaman ideologi di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:city></st1:place>. Pihak-pihak tertentu merasa berkewajiban untuk mengamankan masa depan gadis-gadis tersebut. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> kekhawatiran terselubung. “Jangan-jangan anakku tidak laku”. “Bersegeralah menikah atau kamu jadi perawan tua”. “Tidak usah bekerja keras, toh nanti suamimu yang menafkahi”. “Perempuan tidak perlu keberhasilan dan kecerdasan; bisa jadi bumerang; susah jodohnya”. Begitu kira-kira ungkapan para orang tua.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Dan, dampaknya ternyata luar biasa. Asa perempuan-perempuan tersebut dilemahkan dengan percuma. Akhirnya, mereka terserang <i style="">“Cinderella Complex”</i>. Virus yang tak kalah kejam dibanding virus HIV. Tidak terdeteksi jika dilihat di permukaan <i style="">an sich.</i> Tapi jangan ditanyakan efeknya. Virus ini mendekonstruksi pemikiran perempuan untuk tidak mandiri. Bukan tidak mampu, tapi tidak mau. Ia ingin ditolong<span style=""> </span>seorang pangeran. Sama halnya ketika gadis bernama Cinderella bangkit dari keterpurukan setelah dinikahi seorang pangeran. Ya, mitologisasi Cinderella tepatnya, seperti diungkapkan Collete Dawling. Mereka yang terinfeksi pada stadium lanjut akan menderita luar biasa; menjadi takut sukses. Apalagi jika bukan karena dihinggapi ketakutan; ketakutan tidak didatangi pangeran tampan berkuda hitam. Si perempuan sudah dapat mengurus hidupnya sendirian—tentu saja tidak memerlukan uluran tangan pangeran. Bisa saja si perempuan mengelak. Tapi, norma-norma sosial amat <i style="">impersonal.</i> Bahwa perempuan harus takluk di hadapan laki-laki adalah sebuah keharusan. Jika tidak, bisa dicap sebagai <i style="">deviant</i>; penyimpang. Dan itu, tegas David Berry, tidak bisa dibiarkan. Harus dilenyapkan. Meski timpang, toh yang berlaku tetap demikian. Tetap belum bisa dilawan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya tidak akan munafik. Saya juga terserang virus tersebut. Namun, saya masih dilimpahi keberuntungan. Orang-orang di sekitar saya jarang sekali menanamkan demikian. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> penghargaan; untuk laki-laki dan perempuan disamakan. Kesempatan untuk hijrah ke <st1:place st="on"><st1:city st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>, bagi kebanyakan perempuan, adalah suatu kemenangan. Tidak, bagi saya. Itu hak saya. Takdir milik saya. <i style="">I’ll make my destiny!</i><o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Lalu sayapun bertualang. Saya kejar buku-buku apapun. Kanan atau kiri bukan persoalan. Asalkan memberi asupan informasi; itu saja! Dan, saya menemukan dua nama memikat: Nawal el Saadawi (Mesir) dan Fatima Mernissi (Maroko). Keduanya menakjubkan. Tegas berpendirian. Cerdas berargumen. Yang pasti, feminis <i style="">banget! </i><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Yang pertama terkenal dengan novelnya yang dekonstruksionis. Ketika budaya dominan men-subyek-kan laki-laki, Nawal begitu tegar melawan arus. Tidak tanggung-tanggung, trilogi karyanya begitu gemuruh. Novelnya bercerita tentang dokter perempuan yang meninggalkan “belahan hatinya” dengan mantap; “pelacur” yang menabalkan dirinya sebagai penguasa para lelaki hidung belang; perempuan yang sanggup menjatuhkan imam. Tiga-tiganya tidak lain merupakan representasi dari pilihan hidupnya untuk membebaskan perempuan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Gila! Dahsyat! Jenius! Kesan itu begitu saja muncul dengan spontan. “Seandainya perempuan itu benar-benar ada di depan saya sekarang!” Saya malah ingin melihatnya di depan mata. Bagi Nawal, perempuan tidak wajib berjilbab, penyamaan hak waris perempuan dengan laki-laki adalah keharusan mengingat 35% keluarga Mesir bergantung kepada perempuan, dan mencium Hajar Aswad dalam ibadah haji adalah praktek jahiliyah—dikatakan melecehkan agama. Tapi, saya menjadi geram kemudian ketika sebuah kata pedas meluncur, “Nawal harus dihukum,” begitu kata Nabil al Wash—seorang pengacara, laki-laki. “Nawal mesti diceraikan dari suaminya, Syarif Hetata!”, lanjutnya. Alasannya satu: suaminya Muslim sementara Nawal sudah kafir. Meski akhirnya ditolak oleh yang berwajib, toh, ini sudah terlontar ke publik. Pasti ada respons balik. Apapun hanya satu yang ingin saya tandaskan: pengacara itu begitu kejam, gegabah, dan sok kuasa.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Dengan begitu mudah, Nawal dikafirkan. Dengan begitu enteng pula, Nabil menuntut Nawal dan Sharif dipisahkan. Wow, ini yang namanya<i style=""> amar ma’ruf nahi munkar?</i> Tidak mulia sekali! Saya tak bakal mau melakukannya mesti dijanjikan <i style="">reward</i> yang begitu besar. Tidak akan! Lagipula, Tuhan mustahil menginginkan demikian. Tuhan tidak se”sangar” itu. Tuhan Maha Lembut. Itu pekerjaan orang yang merasa paling benar; bahwa Islam hanya terdiri dari satu pandangan. <i style="">Truth claim.<o:p></o:p></i></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Dan, Fatima Mernissi amat saya idolai. Ia begitu menggebu—dan seringkali amat ekstrim—menyoal relasi perempuan-lelaki. Ya, itu bisa dimaklumi. Mernissi sudah sekian lama dikungkung oleh adat <i style="">harem</i>; budaya pendomestikasian untuk perempuan seperti terjadi di <st1:city st="on">Fez</st1:city>, <st1:place st="on"><st1:city st="on">kota</st1:city></st1:place> kelahirannya di Maroko. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> kepenatan, kekesalan, dan emosi yang meluap atas perlakuan yang dialaminya; di-<i style="">harem</i>-kan. Sementara ia tak jua menemukan jalan demi mengusahakan pembebasan dirinya. Kecuali neneknya, Lala Yasmin, Mernissi tidak pernah menemukan partner tepat untuk mengatasi penderitaannya. Sama sekali tidak ada. Kerabatnya seolah sudah mati rasa; tak ada reaksi sama sekali. Mungkin saja, mereka telah teramat biasa menyaksikan ketimpangan perhubungan perempuan-lelaki. Mernissi sendirian dalam pemberontakan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Mungkin, Mernissi hampir senasib dengan Kartini. Kartini dikurung oleh budaya pingit. Bedanya, Kartini didomestikasi ketika ia sudah dinilai pantas menikah. Namun demikian, Mernissi lebih beruntung. Sementara Kartini kalah oleh perkawinannya dengan laki-laki berpoligami, Mernissi tetap tegar menyuarakan perlawanan. Ketika Kartini hanya boleh berkomunikasi dengan surat-menyurat, Mernissi telah membuat berpuluh-puluh buku. Tentu, saya tidak memungkiri bahwa Mernissi hidup di zaman pasca kolonial dan Kartini menjalani pergulatannya di tengah kolonialisme yang bengal.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Mernissi dengan kebenciannya yang amat dalam menggebrak dunia feminisme Islam dengan ide-ide radikal. Sebagian pemikir laki-laki menganggapnya gila; memusuhi laki-laki di atas ambang normal. Dia mengusulkan surga tandingan. Sejarah tandingan. Tafsir tandingan. Semua itu demi membebaskan perempuan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Apa yang dilakukan oleh Mernissi bukanlah kegilaan—dalam arti sesungguhnya; sebagai suatu penyakit yang wajib disembuhkan—melainkan sebuah reaksi wajar. Bagaimana tidak ia berteriak keras ketika pembelengguan dirinya begitu sarkas. Mereka yang menggangapnya gila—terlalu simplistis. Mereka tidak pernah mengalami penderitaan serupa. Jelas itu sebuah kritik yang tidak proporsional!<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Kegigihannya Mernissilah yang membuat saya mengaguminya begitu dalam. Saya amat sepakat dengan gagasan jenialnya. Kita harus menandingi laki-laki dalam hal apapun. Semua yang bisa dilakukan laki-laki dapat dilakukan perempuan. Misalnya: belajar dan meraih IP tinggi adalah sesuatu yang pasti. Mengecat atau mengangkat beban berat mutlak disanggupi. Pun, bermain sepakbola, bulu tangkis yang selama ini identik dengan laki-laki.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Ringkasnya, selama perbuatan-perbuatan yang bisa saya lakukan untuk mengalahkan hegemoni laki-laki—akan saya tanggung demi memperoleh posisi sederajat. Lebih dari itu, benak saya mengandaikan laki-laki sebagai musuh bersama (<i style="">common enemy</i>) bagi perempuan. Konflik antara keduanya sebesar pertentangan sosialisme-kapitalisme. Akan abadi dan tidak akan pernah bisa diakhiri. <o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Dan, tak dinyana, saya menemukan persinggahan tepat. Saya bertemu dengan teman dekat saya dan bergabung dengannya di sebuah forum studi perempuan di Ciputat. Kebetulan, forum ini mempunyai cukup <i style="">bargain</i>; ia cukup diperhitungkan oleh forum studi lain yang mayoritas dinakhkodai laki-laki. Jelas, itu sebuah nilai lebih. Bagaimana tidak, meski Ciputat kental dengan aktivisme intelektual—perempuan tetap saja (di)bungkam. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> saja faktor penghambat. Perempuan di satu sisi enggan tampil karena mendapat sebuah <i style="">pressure</i> psikologis dari laki-laki. Ini terlihat antara lain di bangku kuliah. Bagaimana suasana kelas menjadi gemuruh ketika seorang perempuan angkat bicara. “Gender, gender.” Apa ini? Saya amat kesal mendapatkan perlakuan demikian. Tentu, bereaksi serupa tak banyak membantu. Cuma memuaskan emosi sesaat. Akhirnya, lontaran-lontaran tersebut harus dianggap angin lalu jika ingin tetap melaju. Betul, saya tidak pernah mendengarnya lagi karena telah membiasakan diri untuk kebal. Dan dengan leluasa, saya akhirnya bisa mengungkapkan segala keluh kesah tentang berbagai persoalan perkuliahan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Tapi, (pem)bungkam(an) ternyata belum berakhir. Perempuan, terutama teman terdekat saya, merasa risih untuk sendirian beraktivitas. Malu, takut pulang malam, <i style="">ogah</i> dianggap tak punya partner, malas disuiti oleh laki-laki iseng selalu menjadi tameng saat aktivisme intelektualnya dipertanyakan. <i style="">Please deh</i>, jika keadaan ini berjalan terus, bagaimana nasib perempuan ke depan? Akankah “perempuan” ter(di)tulis oleh sejarah—<i style="">his</i>tory? Benar, ini merupakan tanda-tanda keruntuhan perempuan yang selama ini jadi ramalan?<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Tidak. Saya tidak mau pikiran-pikiran buruk di atas menjadi terulang. Ya, saya harus bisa melakukan aktivisme intelektual meski sendirian. Kalau bukan kita, siapa lagi? Harus ada martir. Harus ada yang merelakan diri untuk menjadi tumbal demi perbaikan ke depan. Tapi, itu bukan saya. Saya sekedar merealisasikan keinginan pribadi. Saya terlalu gegabah untuk bersedia menjadi tumpuan. Mungkin, ini harapan saya, forum studi perempuan itu bisa menjadi awal perubahan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Akhirnya, saya <i style="">all out</i> di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:city></st1:place>. Saya belajar menjalarkan nalar melalui diskusi mingguan. Saya diajari menghargai perbedaan dalam tiap pertemuan. Saya dituntut untuk bertanggung jawab secara personal. Saya dicetak menjadi perempuan mandiri; semua pekerjaan mesti dilakukan sendirian tanpa berharap mendapat bantuan. Saya benar-benar mendapat bekal tidak bernilai. Apa yang saya cari, ternyata saya dapati.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“Terima kasih, Tuhan atas perjumpaanku dengan mereka”, saya melantukan pujian tersebut berulang-ulang; pujian untuk sebuah anugerah yang tidak boleh putus untuk disyukuri.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Seterusnya, saya ditempa untuk menjadi ekstrim. Saya dengan sadar dikonstruk untuk memahami perhubungan lelaki-perempuan yang timpang—dengan paradigma radikal, ekstrimis. Bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan relasi perempuan dan laki-laki selalu ditekankan dalam setiap pertemuan. Dan, itu harus didekonstruksi. Tidak bisa ditoleransi lagi.<span style=""> </span>Kita, sebagai perempuan, harus melakukan tindakan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Mau tak mau terjadi penetrasi ke dalam; internalisasi. Internalisasi ini kemudian berimbas pada sikap saya sehari-hari. Laki-laki bagi saya tidak perlu diramahi. Dalam hal ini, laki-laki secara frontal layak “dimusuhi”. Perempuan harus melakukan perlawanan jika diperlakukan tak adil. Semua laki-laki saya perlakukan demikian; kecuali saudara laki-laki saya—karena bukan pribadi yang <i style="">Uqudullajain minded</i>—dan ayah saya dengan kesetiaan dan kelembutannya yang amat dalam pada ibu. Selain itu, jangan tanya lagi: tak ada toleransi. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya akan berteriak-teriak dengan keras bila diperlakukan tidak sebagai manusia utuh. Saya bisa menyumpah-nyumpah ketika bertemu dengan laki-laki iseng yang dengan ringan menyuiti tiap perempuan. Saya bahkan dengan sinis segera menganggap pujian laki-laki sebagai <i style="">gombalisasi</i> atawa<i style=""> gembelisasi</i>—plesetan dari globalisasi—meski terkadang diringi ketulusan. Tidak tersisa sedikitpun ruang untuk berdamai. “Ah, laki-laki semua sama saja. Selalu ada maunya. Egois pula.” Itulah citra laki-laki. Saya merasa benar untuk klaim ini. Saya mendapatinya secara pribadi. Saya juga mendengarnya dari teman-teman sendiri.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Kebencian demikian semakin kuat didasari oleh perjumpaan saya dengan teks-teks agama. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> teks yang membedakan bagian warisan perempuan dan laki-laki secara rigid: 1 dibanding 2. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> ayat yang melanggengkan kuasa patriarkhi—laki-laki merupakan pemimpin atas perempuan. Lalu kewajiban “khitan” atas perempuan yang disinyalir untuk memberangus seksualitas perempuan; khawatir menyaingi libido laki-laki. Atau, perempuan diharamkan menjadi pemimpin. Tidak sepele, negara akan mengalami kehancuran jika pemimpin dipaksakan untuk dipasrahkan kepada perempuan. Dan, yang paling saya benci: kebolehan laki-laki berpoligami sementara poliandri dihujat habis-habisan. <o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya sejak kecil selalu didoktrin untuk memercayai bahwa agama saya, Islam, sarat dengan nilai-nilai keadilan. Persoalan waris tentu saja memegang teguh nilai keadilan. Perempuan mendapat satu bagian dan laki-laki dua bagian tidak menjadi problem serius. Kenapa? Mereka akan menikah—harta keduanya akan digabung dan menjadilah 3 bagian yang lebur tanpa nama. Laki-laki memang layak menjadi pemimpin; ia kuat dan tangguh. Ia makhluk rasional—mampu menjernihkan persoalan dengan tepat. Ini jelas tidak bisa dilakukan oleh perempuan yang terlalu emosional dalam menghadapi berbagai permasalahan. Wah, kalau khitan itu wajib? Ya, biar perempuan tidak terlalu liar. Biar mereka tidak <i style="">berangasan. </i>Kalau tidak bisa jadi perempuan memuaskan nafsunya dengan serampangan. Ini bisa menggoyahkan stabilitas masyarakat. Tahu <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>, bahwasanya perempuan adalah tiang negara. Tahu <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>, bahwa barometer baik atau tidaknya suatu negara ditentukan oleh keadaan perempuan; jika perempuan di suatu negara “baik” maka negara dianggap baik, pun sebaliknya. Ini tugas perempuan. Artinya, perempuan harus ditundukkan demi sebuah stabilitas, ketertiban, dan keteraturan<span style=""> </span>negara. Rasional <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>?<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Sesudah itu, saya diceramahi lagi. Perempuan tidak bisa memimpin. Mereka seharusnya diprivat(<st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>). Kodratnya memang menjadi ibu rumah tangga—pengasuh dan pelindung anak-anaknya. Itu saja—tidak usah macam-macam. Coba lihat, berapa banyak negara yang maju. Mereka mendapat kemakmuran dan kesejahteraan karena dipimpin oleh laki-laki. Dan jangan lupa: Nabi SAW sudah me<i style="">nash</i>nya demikian. Nabi SAW sudah pernah bersabda bahwa negara tidak menemui keberuntungan jika dipimpin oleh seorang perempuan. Lagipula itu sudah dibuktikan oleh kejatuhan kerajaan <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Persia</st1:place></st1:country-region> semenjak kerajaannya dipimpin oleh sang putri Kisra. Sudah ada bukti, sudah ada nash—kamu mau berdalih apa lagi? Itu sangat, sangat masuk akal.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Mengapa laki-laki boleh berpoligami? Agama telah mengabsahkannya. Apakah perempuan mau suaminya “jajan” di luar karena tidak mendapatkan kepuasan dari istrinya sendiri? Jika tetap dilarang, itu artinya membiarkan mereka jatuh ke lembah perzinaan. Lebih baik mempunyai istri lebih dari satu ketimbang bermain dengan PSK, bukan? Lagipula, ada persyaratan agar tidak semua laki-laki melakukan poligami secara sembarangan. Mereka harus adil! Tentu, derajat keadilan harus dipandang dari segi materi. Persoalan perasaan dan kecondongan hati adalah masalah yang rumit—tidak bisa disamaratakan dengan disribusi materi. Yang paling penting, Nabi SAW pernah melakukan. Poliandri jelas tidak pernah mendapatkan legalisasi.<span style=""> </span>Dan, bukankah lebih repot mengurusi banyak suami. Satu suami saja, mereka harus <i style="">stand by </i>selama 24 jam.<i style=""> Walhasil</i>, poliandri lebih banyak mengundang mudharat ketimbang manfaat. <i style="">So what?</i> <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Saya terdiam. Saya dihabisi. Waktu itu, argumen yang diucapkan sulit untuk ditampik. Bahkan, diutarakankan oleh orang yang berilmu agama luas. Bagaimana saya dapat membantah? Nalar orang yang saya hormati itu, guru saya, tidak terjangkau oleh pikiran-pikiran awam saya.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya baru menemukan jawaban balik-nya ketika “nyantri” di forum studi perempuan tersebut. Banyak buku saya dapatkan, namun saya begitu menyaluti argumentasi Mernissi, feminis idola saya.</span><i style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p><br /></o:p></span></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Pertama</span></i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >, memang bagian perempuan akan terlihat tidak berpengaruh jika kemudian digabungkan dengan bagian laki-laki. Ini tidak bisa tidak harus dilalui lewat mekanisme pernikahan. Tetapi, apakah semua perempuan dan laki-laki dapat dipastikan bersedia menjalankan ritual ini? Dulu memang iya; ketika hegemoni agama kuat ditambah norma-norma masyarakat yang mengikat. Namun, ketika kemandirian dan kedamaian serta anak tidak melulu diperoleh lewat pernikahan—pernikahan bukan lagi sebuah “kebutuhan pokok”. Sebagian menikah dan yang lain tidak.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Yang memilih menikah, persoalan keadilan belum tentu terselesaikan: harta tidak bisa dilebur semudah membalik telapak tangan. Keduanya tidak otomatis sepakat menggabungkan harta masing-masing. Dan, ini akan amat pelik jika dihadapkan dengan fenomena kekinian. Pasangan suami istri ramai-ramai memisahkan harta masing-masing; harta gono-gini, demikian ia disebut. Bahkan, ketika perceraian menjadi pilihan—harta gono-gini mendapatkan perhatian dalam porsi yang dominan. Masihkah disebut adil bila kenyataan di lapangan berbicara berbeda? Buta terhadap realitas jika kita tetap mempertahankan ucapan demik<span style="font-style: italic;">ian.<br /></span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><span style="font-style: italic;"></span></span><i style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Kedua,</span></i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > kepantasan laki-laki memimpin. Memang, sejarah dipenuhi oleh keberhasilan pemimpin laki-laki. Namun, itu tidak dapat dapat digunakan langsung untuk mengafirmasi superioritas laki-laki atas perempuan. Siapapun mafhum, jika sejarah adalah milik penguasa; laki-laki telah menang atas perempuan karena ditopang oleh struktur yang patriarkhal. Pernah dan pasti ada perempuan yang memimpin. Lihat, bagaimana kebesaran Ratu Bulqis dari negeri <st1:place st="on">Saba</st1:place>’ memimpin kerajaannya seperti tertuang dalam Alqur’an. Belum cukup? Perhatikan prestasi pemerintahan Perdana Menteri Margareth “<i style="">Iron Woman</i>” Tatcher dari Inggris atau keberhasilan Golda “<i style="">Tangan Besi</i>” Meir memantapkan stabilitas <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Israel</st1:place></st1:country-region> yang baru saja berdiri. Sulthanat Shafiyatuddin pernah berjaya di Samudra Pasai Aceh. Ini tidak termasuk sederetan ratu di belakang layar seperti ditulis dalam <i style="">Ratu-ratu Islam Yang Terlupakan</i> oleh Fatima Mernissi. Memang minim jika dibandingkan dengan kuantitas laki-laki; ya—karena akses laki-laki lebih lebar.<span style=""></span><o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Ada</span></st1:place></st1:city><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > yang perlu diperbaiki dari paradigma berpikir laki-laki. Selain legitimasi dari hadits: mereka menerapkan beban ganda: perempuan harus bisa berjuang menjadi pemimpin lalu harus sukses. Jika tidak, maka perempuan tidak layak memimpin. Boleh saja, tapi mereka dzalim. Beban itu tidak diletakkan di pundak pemimpin laki-laki. Berhasil atau tidak kepemimpinannya—laki-laki secara general tetap paling berhak memimpin. Bukankah dunia telah dirusak oleh totalitarianisme, penindasan HAM, korupsi, pembantaian massal, perang, dan perusakan alam lingkungan oleh pemimpin bernama laki-laki? Satu hal, hadis tentang kepemimpinan tersebut tidak berharga mati. Ia datang bukan dari ruang hampa. Ia bersenyawa dengan konteks masa kini. Ia dilatarbelakangi oleh kekurangmampuan sang putri untuk memimpin kerajaan <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Persia</st1:country-region></st1:place>. Dan, periwayatan hadisnya—sebagaimana pendapat Mernissi—lemah karena terdapat nama <i style="">Abu Bakrah</i> yang kurang diperhitungkan kredibilitasnya. Masih bertahan dengan pendapat klasik di atas? Jika demikian, alasan ketidakbolehan perempuan memimpin lebih didasari nafsu untuk menghegemoni ketimbang atas dasar membela teks suci.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Ketiga</span></i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >, poligami. Adil sebenarnya milik perempuan. Artinya, suami dianggap adil jika itu merupakan jawaban sang istri. Akan lebih obyektif jika dibanding dengan adil versi laki-laki. Sederhana: siapa individu yang mau mengakui celanya sendiri—kalau tidak untuk disimpan rapat? Mereka yang berpoligami tidak pernah melakukannya bukan? Kalau persoalan menahan hasrat, perempuan pun bisa mengadukan hal yang sama. Poligami menguntungkan laki-laki. Mendasarkan poligami sebagai melestarikan tradisi Nabi?<i style=""> Bull shit. </i>Puspowardoyo memakai alasan ini ketika ia menikahi tiga perempuan setelah istri pertamanya. Demikian ia tetap bersikukuh. Padahal, istri keduanya dinikahi tanpa sepengetahuan dan seizin istri pertama. Ketiganya berstatus tidak janda ketika sedang dinikahi. Semua perkara tersebut tidak pernah dijalankan oleh Nabi. Kalau mau, nikahi saja janda-janda Aceh!<span style=""><br /></span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Inilah sikap saya. Benar: agama sudah mendiskriminasikan perempuan. Marginalisasi perempuan sudah bukan persoalan ketika dilegitimasi agama. Pantas, jika laki-laki dengan ringan meminggirkan perempuan. Merasa berdosa? Jelas, tidak. Regulasi agama telah membolehkan. Demikian apik perselingkuhan agama dan laki-laki terus berjalan, tidak terdapat pemberontakan dari perempuan yang signifikan. Selemah itukah perempuan? Ternyata ada kesadaran palsu, kata Marx, di benak perempuan. Paradigma perempuan didesain untuk selalu membiarkan laki-laki menindas perempuan. Perempuan “disangkarkan”—dirumahkan untuk selalu beraktivitas di wilayah privat. Hal itu tidak boleh dibantah karena sudah di<i style="">nash</i>. Lagipula, perempuan butuh perlindungan. Perempuan dilarang berkeliaran di luar, berbahaya! Di situlah, bekerja sebuah represi yang tidak kentara: kekerasan simbolik. Melalui mekanisme ini, perempuan diberangus kritisismenya. Tatanan patriarkhi dianggap biasa—kalau laki-laki memperoleh kedudukan yang lebih baik dibanding perempuan, bukan sebuah ketimpangan. Wajar; itulah imbalan kepada laki-laki yang sudah menafkahi keluarga, yang telah memberikan mahar, yang mengayomi perempuan di segala tempat dan zaman. Bahasapun menjadi sarana. Idiom-idiom tertentu ditegaskan sebagai milik laki-laki sementara yang lain adalah kepunyaan perempuan: laki-laki/perempuan, aktif/pasif, matahari/bulan, rasional/emosional, tinggi/rendah. Perempuan mana yang mampu berkutik jika dihadapkan oleh nalar yang begitu sistemik dan canggih? Pendidikan minimal bagi perempuan sudah menutup kesempatan untuk mendapat wawasan selain yang diperoleh dari laki-laki yang <i style="">notabene</i> telah me-maskulinisasi ilmu pengetahuan. Ruang untuk pergerakan perempuan (ter)dihapus.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya tidak pernah menyangka, agama sedemikian kejam terhadap perempuan!<span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><i style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></i></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><u><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p><span style="text-decoration: none;"></span></o:p>PEMATANGAN; MENCARI TITIK MODERAT<o:p></o:p></span></u></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Yang saya tanamkan ke segenap relung pemikiran saya ternyata banyak menemui aral. Dicap sebagai liberal—dituduh melanggar ajaran Tuhan sudah sebuah kewajaran. Itulah konsekuensi melawan patriarkhi. Dimusuhi laki-laki karena dinilai mengancam kekuasaannya sudah bukan berita kemarin pagi. Asalkan yang dicita-citakan tercapai, mengapa tidak? Benar. Keyakinan tersebut meneguhkan saya untuk bertindak kecil-kecilan—disertai teman-teman senasib di forum studi—demi terwujudnya kesetaraan perempuan laki-laki dengan <st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:city></st1:place> radikal. Katakanlah, ekstrim. Perempuan dan laki-laki saya petakan dalam kerangka oposisi biner: tertindas/menindas, baik/jahat. Tidak ada identitas lain. Ruang kompromi tertutup.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Apa sebab? Sasaran “dakwah” kami adalah kaum intelektual. Mereka terlatih betul berargumen dan terbiasa terlibat dalam perdebatan. Perbedaan dalam pandangan, dalam iklim seperti ini, adalah sebuah keniscayaan. Siapapun dengan demikian bebas menyebarkan ide dan gagasan. Tidak ada yang dilarang terjun ke arena kontestasi pemikiran. Pihak aliran A dengan aliran B dapat saja bersaing; berebut pengaruh dan pengikut. Perebutan berbagai tafsir atas realitas kekinian dengan pisau analisis yang beragam bukan pemandangan tabu. <i style="">So</i>, selalu saja terdapat kubu yang saling berhadapan secara frontal. Bukan sesuatu yang perlu diluruskan—semua elemen yang gandrung belajar menikmati suasana tersebut karena memang diilhami oleh perkara berharga; pertarungan ide. Tentu, feminisme adalah sebuah aliran pemikiran yang layak dibawa ke <st1:place st="on"><st1:city st="on">medan</st1:city></st1:place> persaingan.<o:p><br /></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Ternyata, iklim kondusif di atas tidak banyak menunjang. Sebagai aliran berparadigma kritis—feminisme tak mendapat sambutan sebesar Marxisme. Padahal, dua aliran ini sama-sama mengusung pemberontakan untuk mengangkat kaum marjinal pinggiran ke posisi sejajar dengan kaum dominan. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> pembedaan perlakuan. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> nuansa ketidakadilan. Apa yang dapat dinikmati oleh aliran-aliran pemikiran secara <i style="">general</i> tidak bisa dicecap feminisme. Feminisme adalah sebuah aliran pemikiran yang terlalu sensitif. Tidak hanya ilmiah, melainkan dipenuhi agenda politis. Yang menyolok—feminisme adalah sebuah corak pemikiran yang berjenis kelamin. Eksklusif untuk perempuan; feminitas ditonjolkan menandingi maskulinitas. Ya, memang feminisme lahir salah satunya untuk menggusur hegemoni maskulinitas yang <i style="">kadung</i> bercokol dengan rakus. Sadar atau tidak, feminisme sedang mengambil jarak dengan mayoritas pemikiran yang ditopang oleh fundamen-fundamen berorientasi laki-laki. Sebuah langkah maju jika untuk menjaga originalitas pemikiran agar tidak bercampur dengan aliran lama yang tercemari aroma patriarkhi. Tapi, feminisme digunakan untuk tujuan lain—untuk mengugat kemapanan-kemapanan yang sudah <i style="">establish</i>.<o:p><br /></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Atau ketika perempuan menyelenggarakan sebuah perhelatan dan menangguk kesuksesan. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> pujian memang tapi lebih bersifat olokan ketimbang sebuah penghargaan. “Gender, nih…” Selalu itu yang diucapkan.<span style=""> </span><span style=""></span><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Lebih parah bila dibenturkan dengan “perasaan”. Teman saya dianggap sebagai virus perusak hubungan. Karena kenal dengannya, ia mencurigai perubahan teman perempuannya sebagai hasil indoktrinasi. Baginya, terdapat perubahan yang cenderung destruktif. Teman perempuannya menjadi tidak menurut, banyak berdalih, dan selalu komplain bila diperlakukan dengan sedikit represif. Perempuan tersebut tiba-tiba menjadi penuntut. Banyak maunya. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Saya tidak bisa terima dengan imej-imej di atas. Apalagi dengan fakta terakhir. Ini tentu saja tidak dialami oleh aliran pemikiran lain. Seseorang tidak akan diperlakukan sebagai “yang lain” bila tidak menunaikan shalat dengan alasan sedang dalam pencarian jati diri. Atau memilih jalur <i style="">free sex </i>karena menganut asas independensi dan liberalisasi. Juga <span style=""> </span>menetapkan cara-cara Machiavellis dalam berpolitik. Mengagungkan perlawanan terhadap globalisasi di tengah derapnya arus kapitalisme bukan pekerjaan terlarang. Pun memihak kaum miskin <st1:place st="on"><st1:city st="on">kota</st1:city></st1:place> seperti dilakukan teman-teman di berbagai kesatuan aksi mahasiswa yang di tiap kesempatan selalu berkoar-koar tentang perlunya keadilan dan penegakan supremasi hukum. Ya, semua berjalan tanpa rintangan. Tidak ada kecurigaan atau tanda tanya besar terutama soal akibat yang ditimbulkan.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Tapi, ini tidak didapati oleh agenda penyetaraan perempuan laki-laki. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> semacam pengawasan. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> kewaspadaan.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span><i style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Walhasil</span></i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >, menjadi perempuan dengan paradigma demikian tidak selamanya dianggap memiliki kelebihan. Perlu diluruskan, katakanlah. Bukannya memudahkan—agenda ini justru menjadi bumerang. <st1:place st="on">Para</st1:place> [laki-laki] cukup <i style="">shock </i>ketika mengetahui “kondisi” gagasan ini. Menghujam dan menghentak, memang. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> yang merasa tersudutkan—mereka yang telah menikmati banyak <i style="">privilege </i>karena berkelamin laki-laki<i style=""> </i>atau yang berkarakter individualis; menganut paradigma Darwinian tentang seleksi alam. Urusan perempuan, ketertindasan perempuan, adalah urusan ketidakmampuannya bertahan terhadap kondisi alam yang sering mempermainkan. Mengapa harus melibatkan laki-laki? Laki-laki juga sedang dan akan terus berjuang untuk selalu <i style="">survive</i>. Tiap makhluk—laki-laki, perempuan, jantan, betina—harus berjuang untuk dirinya sendiri agar tidak tergerus oleh perputaran alam.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Cara berpikir demikian cukup susah untuk dirubah. Sudah memfosil. Mengajak untuk berpikir lebih ramah terhadap perempuan dengan cara frontal, ekstrim, dan radikal tidak efektif. Sama dengan menghadapi pribadi keras kepala dengan keras kepala juga. Bukannya melunak tetapi justru bertambah keras—akan patah. Sia-sia bukan? Ya, nampaknya diperlukan “perbaikan” dalam metode pencerahan yang lebih baik. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Pun perempuan. Teman-teman saya merasa dicekoki oleh virus-virus pengganggu. Mereka merasa kesetaraan perempuan dan laki-laki hanya menambah masalah baru. Mereka harus menjadi penentang pacar, teman laki-laki, saudara laki-laki, dan ayahnya. Tidak yang positif kecuali mereka harus marah-marah jika diperlakukan dengan tidak baik. Mereka boleh pulang larut malam seenaknya. Dan, mereka harus jadi seperti laki-laki: harus bisa mengecat, bisa mengganti genting yang bocor, dan mengangkat barang-barang berat dengan sendirian. Mereka tidak bisa lagi pulang dengan jemputan, diperlakukan bak putri oleh sang pacar, dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat karena ia perempuan. Setumpuk “keistimewaan” itu dapat hilang begitu saja karena serangan virus feminisme yang mengusung agenda kesetaraan gender. Mengapa harus mengambil yang baru yang tidak baik sementara yang lama jelas-jelas lebih baik?<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Saya tidak mungkin bertahan dengan keadaan demikian untuk waktu yang lama. Bukan keberhasilan yang saya tunai melainkan sebuah kekecewaan yang mendalam. Yang hendak dijadikan teman justru menjadi lawan. Saya harus berubah. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Terus terang saya, tidak mau bernasib seperti Ibu Kartini. Beliau, siapapun tahu, adalah perempuan Jawa paling gigih memperjuangkan pembebasan perempuan. Dan, beliau mendudukkan dirinya secara diametral terhadap budaya laki-laki. Poligami—seperti tertuang dalam surat-suratnya kepada sahabatnya, Stella—selalu beliau tentang tapi beliau ternyata tak mampu melawan. Malah, beliau bertahan dengan suaminya yang poligam hingga melahirkan. Saya tidak habis fikir dengan usulan beliau kepada Bupati Rembang, sang suami, untuk tidak menceraikan istri-istri terdahulunya. Sementara itu, beliau juga tidak mengajukan permintaan perceraian. Sebuah inkonsistensi yang tidak perlu dilestarikan. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Saya tidak bisa menerima alur pikir beliau sampai sekarang. Dari pro menjadi kontra monogami. Wajah perempuan <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> tentu tidak semurung sekarang—jika beliau dengan tegas memutuskan untuk hidup melajang. Perkawinan telah membuat beliau terpasung. Perkawinan sudah membunuh ide-ide <i style="">genial</i> beliau demi perbaikan perempuan di masa depan. Karena itu, bagi saya, Kartini tidak seharusnya (di)menikah(<st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>). Sebab, pernikahan merupakan perkara destruktif baginya. Kartini menjelma menjadi sosok “yang lain”; yang mempunyai pandangan berbeda jauh dengan surat-suratnya yang dibukukan dengan titel “<i style="">Habis Gelap Terbitlah Terang</i>”. Keteguhan hatinya untuk meruntuhkan patriarkhi seperti tergerus gelombang di Laut Rembang di mana beliau tinggal. Saya dapat saja memahami tapi saya tidak mampu menjalani. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Dan, saya tidak sanggup menjadi perempuan ideologis seperti dilakukan oleh Mernissi. Saya amat kagum dengan kehebatannya mengurai benang kusut dalam hubungan perempuan-lelaki. Apalagi dengan<i style=""> masterpiece-</i>nya: <i style="">Beyond The Veil.</i> Tapi saya tidak bisa menjadi Mernissi seperti yang saya ingini. Saya hanya dapat menjadi diri sendiri. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Mungkin sebuah antiklimaks—karena terkesan menafikan corak pikir saya sebelumnya. Tapi inilah, pergeseran paradigma ini justru sebuah langkah jitu untuk tidak berkubang dalam wilayah ekstrim. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> capaian yang mesti digapai dengan tanpa memakai pendekatan “kasar”.<span style=""> </span>Dan,<span style=""> </span>itu yang saya hadapi. Saya harus membuka ruang negosiasi dan kompromi demi tetap memperjuangkan kesetaraan perempuan lelaki. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Ini bahkan menjangkiti ranah agama yang dulu amat saya benci. Agama tidak seganas yang terpikirkan selama ini. Ada KH Husein Muhammad yang membuat agama terasa lebih ramah kepada perempuan. Juga ada Ibu Sinta Nuriyah dan kawan-kawan yang mencerahkan perhubungan suami-istri dengan lebih berimbang: melalui<i style=""> Uqudullujain</i> yang didekonstruksi. Atau Maria Ulfah Anshor yang dengan berani mengumumkan <i style="">Fiqih Aborsi</i>. Mereka memakai agama yang selama ini dijauhi untuk menjernihkan posisi perempuan <i style="">vis-à-vis</i> laki-laki.<span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Tapi, realitas keluarga sayalah yang menjadi porsi terbesar ketika hendak mengubah <span style=""> </span>haluan. Ketika saya pulang, saya menyadari sesuatu yang berbeda pada ibu. Ibu, penganut agama yang taat, tidak pernah melakukan “pemberontakan”. Tapi bukan berarti beliau pasrah. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> yang mesti disiasati. Ketika keluarga sedang kesulitan—ibu tidak serta merta menuntut bapak untuk memenuhi kewajiban. Padahal ibu paham betul fungsi suami sebagai tulang punggung yang pertama kali. Ibu <i style="">fight</i> melawan getir manisnya kehidupan dengan tanpa menanggalkan identitas ke-perempuan-an. Dan, hidup ibu dipenuhi sejuta kreativitas ketika diprivatkan. Ibu adalah mutiara terpendam. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Di balik itu, ibu jelas tidak terima dengan ketimpangan perempuan dan laki-laki. Ibu kerap emosional ketika ada sitiran: “Yang akan masuk neraka kebanyakan perempuan. Itu karena mereka sering membiarkan auratnya terbuka…” Ibu menimpali, “Kasihan sekali perempuan. Mereka sudah capek mengurus anak, memasak, melayani suami tapi tetap saja susah masuk surga.” Tapi ibu masih bersahabat dengan agama—ibu masih menutup aurat sampai sekarang. Seolah ingin menantang dan berkeyakinan; banyak perempuan akan masuk surga termasuk ibu karena sudah menjalankan agama dengan mantap dan benar. Gambaran demikian merupakan sedikit bayangan sikap ibu menghadapi superioritas agama laki-laki. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p>Akhirnya, spirit positif agama yang menyeru pembebasan perlu diamini. Spirit negatif agama yang cenderung mendiskriminasi perempuan selayaknya direkonstruksi. Demi masa depan. Demi Islam yang ramah perempuan.<span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Ciputat, 09 Mei 2005 pkl 23.52 WIB<span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 37.4pt;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >(Ni tulisan iseng-iseng, tapi berhadiah loh..He2)<o:p></o:p></span></b></span></p>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1107555054445510667.post-22944103723043862422007-08-24T15:34:00.000+07:002007-08-24T17:48:38.694+07:00Empat Langkah Memusuhi Sang Liyan<span style="font-size:100%;"><img style="font-family: arial;" src="http://www.wahidinstitute.org/pictures/200707/IqbalAhnaf-bp.jpg" alt="Buku Iqbal Ahnaf" align="right" hspace="6" /></span><p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Judul : <strong><em>Image of The Other as Enemy; Radical Discourse in Indonesia<br /> </em></strong>Penulis : Muhammad Iqbal Ahnaf<br /> Jumlah Hal. : 76 hal<br /> Penerbit : AMAN - Silkworm Books, Bangkok<br /> Tahun Terbit : 2006<br /></span> </p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Oleh <strong>Nurun Nisa’</strong><br /></span></p><p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"> <span style="font-size:100%;"><em>“He is a good man. I respect him. But, unfortunately, he is a Christian. We should be careful”.</em></span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Demikian tuturan seorang petinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan S Awwas, ketika ditanyai soal tokoh terkemuka dialog antar-iman asal Yogyakarta yang beragama Nasrani, Th. Sumartana.<br /></span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Ungkapan tersebut serasa bernada curiga. Kesan yang timbul, boleh saja ia baik hati, tapi kalau beda agama, nanti dulu. Kita harus berhati-hati terhadap orang yang beda agama. Walaupun sama-sama manusia, posisinya cenderung dianggap sebagai <em>sang liyan</em>, <em>the others</em> atawa <em>al-akhar</em>. Dengan status tersebut, <em>sang liyan</em> layak di-lain-kan. Kalau perlu dianggap sebagai musuh, <em>enemy</em>. </span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Tak ada asap kalau tak ada api. Begitupun tentang persepsi ‘musuh’ ini. Ini diungkapkan oleh Muhammad Iqbal Ahnaf dalam bukunya yang bertajuk <em>The Image of The Other as Enemy; Radical Discourse in Indonesia</em>. </span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Berdasarkan penelitiannya terhadap Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia di Yogyakarta, Iqbal menyimpulkan bahwa citra musuh ini sesuatu yang diproduksi dan direproduksi. </span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Citra ‘musuh’ ini diproduksi melalui dua aspek; teologis dan historis. Dari aspek teologis, citra ‘musuh’ disandarkan pada ayat-ayat al-Qur’an. Ada kata ‘<em>aduwwun mubin,</em> musuh yang nyata. Dianggap musuh karena mereka akan selalu mengajak masuk ke agamanya. Ikhtiar ini tak akan berhenti, kecuali kiamat datang. Siapa tidak takut dengan <em>wanti-wanti</em> model begini? Jadi, pantaslah kalau kita merasa harus ber-syakwasangka terhadap <em>liyan</em>. Meski ini adalah pemahaman literal. </span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Yang kedua melalui aspek historis. Konflik yang bertubi-tubi antara umat Islam dan non-muslim yang tak berkesudahan sampai kini. Sebut saja konflik di Ambon dan Poso. Atau konflik Israel-Palestina untuk kontek luar negeri. Tidak bisa tidak, jika disimpulkan, Islam dan agama lain memang tidak dapat di-damaikan alias saling bermusuhan. </span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Kemudian, citra musuh ini direproduksi melalui empat pola. <em>Pertama</em>, ideologisasi. Yakni, dengan menegaskan keunggulan sistem Islam sekaligus menekankan kegagalan sistem sekuler. Caranya dengan memakai simbol dan gambar yang memberi pesan ideologis itu. </span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;"><em>Kedua</em>, demonisasi. Yaitu mencitrakan <em>sang liyan</em> sebagai ancaman, culas, barbar, dan tidak beradab. <em>Ketiga,</em> insistensi (baca; bersikeras) atas apa yang disebut dengan benturan antara sistem Islam dan non-Islam yang didasarkan pada keyakinan superioritas sistem yang pertama atas yang kedua. Pola ini membawa pada penolakan untuk berbagi, berkompromi atau bernegosiasi dengan <em>sang liyan. </em></span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;"><em>Keempat,</em> imajinasi atas kemenangan Islam yang akan segera datang menggantikan kapitalisme yang tengah kolaps. (Sistem) Islam diandaikan sebagai kekuatan adidaya.</span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Proses produksi dan reproduksi atas citra <em>sang liyan</em> sebagai musuh, secara kasat mata, memang tidak menyebabkan problem serius atau konfrontasi dalam soal relasi dengan <em>sang liyan.</em> Ini terbukti dengan kekerasan yang tidak pernah dilakukan oleh HTI dan MMI di Yogyakarta sejauh amatan Iqbal.</span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;"> Akan tetapi, pencitraan <em>sang liyan</em> sebagai musuh, bagaimanapun, termasuk ‘kekerasan simbolik’ seperti digambarkan oleh Pierre Bordeau. Kekerasan simbolik ini merupakan pemaksaan sistem simbolisme dan makna (seperti agama) atas kelompok atau komunitas lain, sehingga (seakan-akan) hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sah. Atau yang digambarkan De Lauretis sebagai ‘kekerasan retorik’. </span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;">Kedua jenis kekerasan ini merupakan diskursus yang tidak objektif dan monolitik. Juga menciptakan generalisasi stigma dan membuat pernyataan provokatif melawan <em>sang liyan</em> yang potensial menyulut konflik dan kekerasan fisik. </span></p> <p style="font-family: arial;" class="style1" align="justify"><span style="font-size:100%;"> Buku ini unik karena menggunakan analisis media sebagai metodologi penelitiannya. Segala macam terbitan dan pidato para pemimpin MMI dan HTI diteliti sedemikian rupa sehingga melahirkan pelbagai kesimpulan menarik. Iqbal diganjar oleh Asian Muslim Action Network (AMAN) sebagai salah satu peneliti terpilih dalam seri penelitian bertemakan <em>Islam in South-east Asia; Views from Within</em> atas ikhtiarnya ini. Selamat membaca.[]</span></p>Nisa'http://www.blogger.com/profile/01915822313616152965noreply@blogger.com0