Oleh: Nurun Nisa* Sebut saja Pak Rahmat. Ia membeli rumah di Perumtas menggunakan uang tabungannya selama mengajar hingga pensiun. Namun, tak lama ia menikmati hasil jerih payahnya. Sebab, lumpur panas me-ngurug tempat tinggalnya. Entah di mana ia akan berteduh di hari tuanya. Tak ada ganti rugi (apalagi ganti untung) untuk membeli rumah baru. Namun, ia tak mau diam merana. Bersama warga Perumtas lainnya, ia mengutus delegasi untuk mengadu kepada bupatinya, Win Hendarso. Usulan mereka sederhana. Tidak perlu setor pajak ke pusat kalau pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Jika ini benar-benar dilaksanakan, pemerintah pusat akan kehilangan dana Rp. 178 milyar. Jumlah yang tidak sedikit. Ini, menurut penulis, merupakan cara efektif dan paling realistis untuk menggertak pemerintah kita agar peduli pada rakyatnya. Tapi, apa jawaban yang didapat? Win Hendarso merespon dingin. Ia berapologi, itu bukan wewenangnya. Yang parah, dan amat menyakitkan, adalah tanggapan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). “Tidak apa-apa. Yang tidak menyetor pajak tidak bakal mendapat DAU (Dana Isian Umum) dan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran),” kata JK. Aksi tersebut bahkan dianggap irelevan. Tanggapan Kalla benar-benar tak bisa dikunyah akal sehat. Bagaimana mungkin pejabat yang bertugas melayani rakyat melontarkan kata-kata sedemikian kasar. Yang dipikirkan hanya soal anggaran semata. Usulan warga Sidoarjo dianggap pelanggaran. Karena itu harus diberi hukuman. Kalla seolah tak peduli bahwa yang dilakukan warga Perumtas bukan hanya soal tidak mau setor pajak. Tapi ada soal lain yang lebih rumit. Yakni puncak frustasi masyarakat karena tak diurusi oleh pemerintah. Mereka menganggap pemerintah telah gagal. Si pengelola ladang minyak tak bertanggung jawab. Rakyat pun bertindak menentukan nasib mereka sendiri. Mungkin aksi mereka tak terpikirkan. Tapi, kenyataan pahit, menyuburkan segumpal kesadaran mereka. Pemerintah bukanlah satu-satunya tumpuan harapan. Kalau memang tidak becus, tak apalah membangkang. Aksi ini bisa disebut, meminjam istilah Antonio L. Casado da Rocha, sebagai pembangkangan sipil (civil disobedience). Pemberontakan yang dilakukan oleh warga sipil untuk menggugat negara. Atau juga mengeliminir peran negara karena tak bisa diandalkan lagi. Mereka percaya bisa membereskan masalahnya tanpa harus mengandalkan kekuasaan negara. Dan tentu, nir-kepentingan. Yang dipikirkan hanya bagaimana masalah yang dihadapi cepat berakhir. Itu saja! Tak ada kaitannya dengan kisruh politik, reshuffle kabinet, recall dari partai atau legitimasi di mata publik. Pokoknya, masalah selesai. Masa bodoh dengan itu semua. Di sinilah, keacuhan terhadap sesuatu yang politis itu kerap berbenturan dengan logika kekuasaan. Termasuk logika pak wakil presiden. Tindakan menolak menyetor pajak, jika sungguh-sungguh dilakukan, adalah membahayakan. Pemerintah bisa berkurang wibawanya. Apalagi efek domino yang mungkin timbul—aksi ini menular ke kabupaten-kabupaten sebelahnya. Bisa-bisa, pemerintah yang dipilih langsung itu menjadi tidak legitimate. Karenanya, aksi ini harus ditindak, dengan alibi apapun, termasuk ‘menyandera’ DIPA yang seharusnya menjadi hak tiap kabupaten. Memang agak susah bila pemimpin di negeri kita ini adalah politikus (busuk) yang mengaku-aku negarawan. Mengklaim diri sebagai cerminan kehendak rakyat, tapi yang dipikirkan cuma kursi dan jabatan. Nuraninya mungkin sudah karam di lautan kekuasaan. Entah sampai kapan. Sepertinya ia harus hidup di Sidoarjo dulu seperti Pak Rahmat. Tidur di pengungsian. Melahap nasi basi setiap hari. Dan, tak memperoleh ganti rugi. Siapa mau? Wallahu A’lam. Matraman, 21 Maret 2007 |
"Barangkali kau bukan siapa-siapa di dunia Ini, tetapi bagi seseorang mungkin kau adalah dunianya" [DYI]
Selasa, 21 Agustus 2007
Bila Masyarakat (Berani) Membangkang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar