Senin, 24 September 2007

Pilkada Bermasalah, Siapa Salah?

Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Alun-alun Tuban, Rabu (2/5/2006), menjadi momen penting warga Tuban. Saat itu adalah kali pertama bupati terpilih periode 2006-2011, Haeny Relawati, muncul pasca kerusuhan. Sayang, ketika diserbu wartawan, ia tak sudi menjawab pertanyaan seputar kemenangannya pada Pilkada 27 April 2006 yang memakan banyak korban.

Ketika dikejar, Haeny bergegas masuk ke Jaguar warna merah hati dengan Nomor Polisi S 1 HA. Sebelumnya, pelat nomor itu biasa terpasang di mobil dinas Bupati Tuban, Nissan Terrano, yang habis dibakar massa di parkiran Pendopo "Krido Manunggal", Sabtu (29/4/2006).

Selain mobil dinas, mereka yang tidak puas atas kemenangan calon Partai Golkar ini juga merusak sejumlah mobil mewah yang berada di rumah dinasnya. Antara lain, Range Rover bernopol B 8038 FZ, Toyota Alphard G bernopol L 2560 HP, dan VW Caravelle bernopol H 7439. Sebelumnya, mereka juga meluruk kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tuban dan membakar bangunan utama pendopo kabupaten tersebut.

Bakal rumah Haeny di atas lahan empat hektare di Jalan Letda Sucipto pun tak luput dari amuk massa. Begitu juga Hotel Mustika di Jalan Teuku Umar dan gudang PT Sembilan Sembilan milik suaminya, Ali Hasan. Keduanya ludes di tangan massa. Harta Ali lainnya, dua SPBU dan kediaman Haeny di Jalan KH Agus Salim turut jadi sasaran walau tak sampai dibakar.

Biang Kisruh Pilkada

Tak hanya di Tuban, pilkada di beberapa daerah juga meninggalkan masalah. Bentuknya tidak tunggal. Ada yang rusuh. Ada juga yang menempuh jalur hukum. Meski berbeda, pilkada bermasalah memiliki hulu yang sama.

Mulanya, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang dinilai tidak netral. Komisi ini dianggap sering bermain mata dengan para calon. Terutama Bupati yang sedang menjabat sebagaimana terjadi di Sukoharjo, Jawa Tengah. KPUD Sukohardjo bahkan dituntut untuk dibubarkan karena ada indikasi curang guna memenangkan pasangan calon bupati (cabup) Bambang Riyanto-calon wakil bupati (cawabup) Muhammad Thoha. Di antaranya, penggelembungan jumlah pemilih di sejumlah tempat pemungutan suara. Juga mencetak tambahan 10.000 lembar surat suara sehari menjelang pencoblosan.

Begitupun di Tana Toraja seperti dilansir Forum Komunikasi Mahasiwa Toraja (FKMT) Se-Indonesia. “KPUD Toraja tidak pernah mengeluarkan: 1. Daftar Pemilih Sementara (A1), 2. Daftar Pemilih Tambahan (A2) KPUD Tana Toraja justru mengeluarkan daftar pemilih tetap (A3) berulang sampai tiga (3) kali. Hal ini melanggar PP No 6 Tahun 2005 Pasal 16, 19, 20 dan PP No 17 perubahan PP No 6 tahun 2005 tentang Tahap Pelaksanaan Pilkada,” demikian bunyi selebaran yang diterbitkan oleh FKMT dalam Kronologi Kisruh Pilkada Tana Toraja, Kamis (14/7/2005).

Panitia Pengawas (Panwas) pilkada juga bermasalah. Mestinya menjadi wasit pertandingan pilkada, mereka malah ogah memperingatkan atawa memberi kartu merah saat salah satu pemain pilkada ‘melanggar’ pemain yang lain. Kisruh pilkada di Tuban contohnya. Panwas dianggap menutup mata. “Panwas tidak menggubris pelanggaran Pilkada seperti politik uang, dan pemalsuan nominal pemilih, dan masih banyak lagi pola-pola pelanggaran yang secara telanjang disaksikan oleh orang yang paling awam proses pilkada sekalipun,” ungkap peneliti Yayasan Tantular Malang, Paring Waluyo Utomo yang mengamati perkembangan Pilkada Tuban.

Para kandidat juga urun masalah. Mereka sering tidak siap kalah. Alih-alih menerima hasil pilkada dengan legowo, ketidakdewasaan mereka justru membuat pilkada berdarah-darah. Di Kaur misalnya. Calon bupati kalah ditengarai menggerakkan massa untuk menolak pasangan bupati baru, Saukani Saleh-Warman Suardi. Massa yang marah melakukan perusakan. Polisi pun bertindak. Yusirwan Wanie dan Sahlan Sirad, cabup dan cawabup yang kalah, ditetapkan sebagai tersangka dalam pilkada daerah yang merupakan pemekaran wilayah Bengkulu itu.

Harus diakui, para kandidat Pilkada banyak yang kurang matang dalam menghadapi event lima tahunan itu. “Kekurangmatangan (para kandidat, red.) banyak terjadi di pilkada-pilkada kita. Karena tidak puas dengan hasil-hasil dan sudah kadung terlalu rugi, terus kalah, mulailah mengancam, mendorong, ngompor-ngomporin sehingga jadi keributan. Saya melihatnya di kasus Tuban, Kaur dan Sulsel”, ungkap Direktur Eksekutif CETRO Hadar Navis Gumay.

Partai politik yang menjadi kendaraan juga tak berkutik. Mereka tidak mendidik massa untuk cerdas politik. “Apa yang mereka lakukan? Cuma kampanye. Mereka mengatakan yang terbenar. Hanya itu. Belum sampai melakukan pendidikan politik yang murni,” gugat Hadar.

Insiden di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, bulan Mei 2005 dapat dijadikan pelajaran berharga atas hal ini. KPUD Manggarai menolak pendaftaran calon dari PDI-P karena batas waktu pendaftaran calon bupati sudah lewat. Karena tidak puas, pengurus partai berlambang banteng gemuk ini pun meminta izin berdemo damai. Tapi, petugas menemukan senjata tajam di tangan sejumlah massa. Bahkan, beberapa di antaranya dalam keadaan mabuk. Di depan Kantor KPUD di Ruteng, ibukota Manggarai, massa PDI-P itu pun bentrok dengan polisi. Akibatnya, empat anggota Polres Manggarai terluka, yakni Kabag Ops, AKP Agus Nggana, Kasat Samapta, Ipda Donce Fernandez, Bripda Yefta Tafoi dan Bripda Kamilus S. Niron.

Selain tiga pihak di atas, Depdagri (Departemen Dalam Negeri) juga bertanggungjawab atas pesta demokrasi tingkat lokal yang tidak berjalan sesuai harapan. Moh. Samsul Arifin, dalam salah satu tulisannya di koran Jawa Barat, menilai Depdagri terkesan sangat ngotot menyelenggarakan pilkada mulai Juni 2005. Seolah-olah mereka dikejar tenggat. “Semakin cepat pilkada dilaksanakan berarti jalannya roda pemerintahan daerah akan lancar dan efektif. Yang digembar-gemborkan Depdagri adalah dari sekitar 181 propinsi dan kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada, mayoritas sudah rampung persiapannya," tegas analis politik pada CBS (Centre for Bureaucracy Studies) Jakarta ini.

Pada posisi ini, Depdagri kurang sensitif dengan daerah-daerah yang memiliki kendala spesifik berdasarkan karakter dan kapasitas tertentu. “Daerah (pemerintah kabupaten dan KPUD) diiming-imingi semacam reward tertentu baik berupa dukungan dan fasilitas, agar sanggup menyelenggarakan pilkada tepat waktu,” ungkap Samsul. Ia menambahkan, situasi tersebut cenderung memunculkan masalah baru. KPUD potensial mengabaikan kondisi batin dan psiko-politik yang mengitari daerah tersebut. Ini amat beresiko terhadap kesuksesan pilkada, apalagi jika dihelat di daerah yang baru saja mengalami pemekaran.

Namun, hal ini dibantah oleh Depdagri. “Daerah pemekaran calon potensial konflik akan menjadi prioritas Depdagri. Mendagri telah meminta gubernur-gubernur menyelesaikan masalah ini," aku Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Progo Nurdjaman.

Potensi konflik ini bertambah parah jika dibumbui dengan intimidasi dalam bentuk isu ras sebagaimana kasus Tuban. Sebelum meletus konflik pasca pilkada, merebak isu rasial untuk mendiskreditkan cawabup Go Tjong Ping, pasangan cabup Noor Nahar Hussein, yang menjadi rival politik pasangan Haeny Relawati-Lilik Soehardjono. “Di kalangan grassroot berhembus isu jangan pilih Cina untuk memimpin Tuban. Atau jangan pilih Cina karena dia tidak dikhitan. Isu ini memang konyol kelihatannya, namun bagi kalangan grassroot, terutama di desa-desa cukup efektif untuk menimbulkan kebencian laten terhadap WNI keturunan Tionghoa,” ungkap Paring W. Utomo.

Isu agama juga mengundang bencana. Di Tasikmalaya dan Muna (Sulawesi Tenggara) muncul fatwa untuk menjegal lawan. "Di sana, ada pemuka agama yang membuat fatwa masuk neraka jika masyarakat memilih pasangan calon tertentu," tutur Lukman Budiman Tadjo, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

Simbol agama juga sering dipakai untuk menyuap. Ketika pilkada sudah dekat, banyak calon kepala daerah berbondong-bondong menyumbang ke mushala serta membagikan jilbab dan kitab Yasin. "Ini terjadi di Asahan, Kendal, dan Jember," ungkap Lukman.

Selain itu, simbol agama bisa menjadi alat penekan kepala daerah yang sedang menjabat, seperti yang terjadi di Banyuwangi. "Jika masa yang memakai simbol agama berhasil menggulingkan kepala daerah, ini akan dipakai di daerah lain," ujar Koordinator JPPR Adung A. Rochman.

Premanisme juga menjadi momok Pilkada sebagaimana terjadi di Bandar Lampung. "Di Kota Bandar Lampung, kepala desa diintimidasi oleh para preman agar mendukung kandidat tertentu", tutur Lukman.

Apalagi money politic. Taktik busuk ini seperti lazim dipakai. "Di Sumenep, Muna, Asahan, Sidoarjo, dan Sukabumi, calon-calon ketahuan membagikan uang kontan Rp 20-50 ribu kepada para pemilih," tambahnya.

Legitimasi Tak Berarti

Pilkada bermasalah ternyata juga disebabkan oleh legitimasi publik. Dalam periode Juni 2005-Mei 2006, mayoritas kepala daerah terpilih mendapat dukungan yang sangat rendah dari masyarakat daerahnya. "Berdasarkan pemantauan kami di 226 pilkada, 153 kepala daerah atau 67,70 persen terpilih dengan mendapatkan suara di bawah 51 persen," papar Adung A. Rochman saat seminar evaluasi satu tahun pilkada di Jakarta, Rabu (28/6/2006). Hal tersebut mengakibatkan legitimasi kepala daerah terpilih kurang kuat.

Keadaan ini secara tidak langsung disebabkan oleh regulasi pilkada itu sendiri. Jika UU Pemilu mengharuskan pasangan capres dan cawapres merebut suara 50% plus satu agar dapat menjadi pemenang, tidak demikian dengan pilkada. Pemenang cukup memiliki suara 25 % plus satu seperti termaktub dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 95 ayat (2) PP No. 6 Tahun 2005. Juga tidak diharuskannya pilkada putaran kedua, seperti halnya pemilihan presiden.

Kenapa? Alasannya sangat pragmatis; demi efisiensi pendanaan. Ini sebagaimana diungkapkan Hadar N. Gumay, saat dia mengajukan RUU Pemerintahan Daerah. “Kami pernah mengusulkan kepada DPR, dengan agak mengalah, sebanyak 40%. Sekurang-kurangnya 40%. Tapi kalau kurang dari itu, harus ke putaran dua. Tetapi di UU No. 32 ini ‘kan hanya 25% plus satu? Itu kecil sekali.” Hadar melanjutkan, “Waktu itu mereka (DPR, red.) bilang; 'Wah, nanti, biayanya terlalu tinggi kalau sampai putaran kedua”.

Tawaran Alternatif

Lalu bagaimana mengatasi pilkada bermasalah ini? Ada bebarapa tawaran alternatif yang patut disimak. Pertama, soal teknis. Mau tidak mau, UU No.32 mesti direvisi terutama menyangkut pemisahan rezim pemerintahan dan rezim pemilu. Yang berlaku selama ini, urusan pilkada adalah urusan berdua; KPUD dan Pemda. Depdagri bahkan membentuk badan bernama desk pilkada untuk urusan ini. Bukannya efektif, keduanya seringkali malah tumpang tindih.

Kedua, menyangkut problem non teknis. Ini terkait dengan kepuasan rakyat atas kandidat terpilih, dapat diperkenalkan sistem baru. Bentuknya, menurut Hadar, adalah direct democracy yang sebenarnya, di mana rakyat memiliki hak inisiatif untuk mengajukan keberatan kepala daerah terpilih. Dengan kata lain, bila sang kepala daerah tak cakap memimpin, ia dapat diturunkan (di-recall) tanpa menunggu masa jabatannya khatam lima tahun. Tentu, setelah diadakan referendum atau semacam jajak pendapat terlebih dahulu dengan memakai prosedur tertentu.

Kini, usulan di atas menunggu diperjuangkan. Bila tidak, perbaikan yang dijanjikan pilkada langsung jangan harap menjadi kenyataan. Wallahu A’lam. (Nurun Nisa’ dkk)

Seulawah, Syari’ah, dan Serambi Mekkah

“Saya meminta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”


“Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fi sabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam peperangan itu maka berarti mati syahid”.


Demikianlah, dialog mesra antara mantan Presiden Soekarno dan Tgk. Muhammad Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin kharismatis Aceh enam dasawarsa yang lalu. Sang Datuk bersama Tgk. H. Djakfar Lamjabat, Tgk. H. Muhammad Krueng Kalee, dan Tgk. H. Ahmad Hasballah Indra Puri kemudian mengeluarkan fatwa khusus. “Bagi kaum muslimin yang berperang mempertahankan cita-cita proklamasi, kalau meninggal dunia dalam perang itu akan mendapat pahala syahid” demikian seruan tertanggal 7 Oktober 1945 itu. Sontak, rakyat Aceh mengumpulkan sumbangan dan dibelilah pesawat jenis Dakota DC-3 yang disebut ‘Dakota R1-001 Seulawah’. Sengaja diimbuhi ‘Seulawah’, artinya gunung emas, karena memang dibeli dengan bantuan setara 20 kg emas.


Tapi hubungan yang sangat baik ini kemudian bubar di bulan September 1953. Daud Beureuh memilih memisahkan diri karena sang Presiden ingkar janji dan bergabung dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo. Soekarno tak mau menegakkan Syari’at Islam (SI) di Bumi Rencong seperti dijanjikannya dulu. Setelah itu, terus menerus Aceh bergolak. Klimaksnya adalah deklarasi Geurakan Acheh Merdeka (GAM) di tahun 1976 yang berusaha ‘ditertibkan’ melalui kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM). Aceh menjadi berdarah-darah.


Namun, damai akhirnya bersemayam di sana. Melalui penandatanganan MoU Helsinki (15/08/05) antara GAM dan RI dicapai kata sepakat; tidak ada lagi konfrontasi. Tidak ada lagi ‘konflik’ antar keduanya. Tapi ternyata timbul konflik baru. Konfliknya kini terjadi antar masyarakat lokal Aceh sendiri. Seperti termaktub dalam laporan World Bank Desember 2006, konflik tersebut berubah dari vertikal menjadi horizontal. Masyarakat lebih banyak ribut soal tanah, sumber daya alam, dan bantuan tsunami. Juga soal kekerasan milisi. Ini antara lain ditandai dengan angka kriminalitas, dilansir Media Indonesia (09/08/06), di beberapa daerah yang meningkat.


Dengan keadaan yang demikian, Aceh terlihat tak stabil untuk sebuah perubahan. Termasuk proses politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada). Tapi situasi di bulan Desember rupanya lain. Aceh aman dan damai dalam pilkada pertamanya. Semua pihak bersyukur termasuk si pemenang; Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (IRNA).


****


Demikianlah, GAM harus bubar karena ide-idenya yang separatis. "Kami bangsa Acheh Sumatra, telah melaksanakan hak-hak kami untuk menentukan nasib sendiri, dan melaksanakan tugas kami untuk melindungi hak suci kami atas tanah pusaka peninggalan nenek moyang, dengan ini menyatakan diri kami dan negeri kami bebas dan merdeka dari penguasaan dan penjajahan regime asing Jawa di Jakarta, " tulis Tengku Hasan Muhammad Di Tiro, pendiri GAM, mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada tanggal 04 Desember 1976.

Sekedar pengingat, petinggi GAM memang pernah berujar akan membubarkan organisasi ini. “GAM akan membubarkan diri dan berjuang lewat jalur politik,” jelas Zaini Abdullah, Menteri Luar Negeri GAM (28/04/06). Namun beberapa bulan kemudian, Perdana Menteri GAM justru berkata sebaliknya. Malik Mahmud menanggapi dengan sinis surat Pieter Feith yang berisi permintaan pembubaran GAM. Itu out of proportion dan premature,” sergahnya (28/10/06). Permintaan ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), menurut Tjipta Lesmana (Mengapa GAM Tidak Mau Membubarkan Diri, Suara Pembaruan, 19/12/06) itu ditampik karena beberapa alasan.

Pertama
, masalah trust building. Cerita represif dari aparat dan ketidakadilan pemerintah RI di Aceh telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan mereka. Kedua, emotional reality. GAM, menurut Malik, telah mengorbankan aspirasi mereka untuk merdeka. Rasanya tidak adil untuk membubarkan GAM sementara kemerdekaan mereka sudah dikorbankan. Ketiga, masalah pembentukan partai lokal.

Pembubaran GAM tidak secara literal dicantumkan dalam MoU Helsinki. Sementara pendirian partai lokal sudah ditegaskan dalam nota kesepahaman tersebut. Kalau partai lokal (yang eksplisit) belum diwujudkan, mengapa GAM (yang implisit) harus ditiadakan?


Ungkapan-ungkapan petinggi GAM di atas cukup mengkhawatirkan. Ini belum termasuk posisi Irwandi Yusuf yang strategis dalam institusi GAM. Ia adalah ahli propaganda, juru runding HAM sekaligus orang penting GAM di Komisi Peralihan Aceh (KPA).


Di sisi lain, hasrat pemerintah Aceh melegalisasi Syariat Islam (SI) tak kalah mengkhawatirkan. Beberapa institusi yang akan mengurus keberlangsungan SI. Yakni, Mahkamah Syari’ah (MS), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Wilayatul Hisbah (WH), Dinas Syari’ah, dan Dewan Syari’ah telah dilegalkan. Tiga institusi pertama semakin kuat posisinya karena termaktub dalam UU No. 11 Th. 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). MS masuk dalam pasal 128, MPU dalam pasal 138, dan WH disahkan di pasal 244.

Di tingkatan praktis, positivisasi SI tak kurang taji. Ia sudah memakan banyak korban, utamanya perempuan. Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa selama tahun 2005, tercatat 46 kasus. Tujuh puluh persennya (32 kasus), perempuan menjadi terdakwa dan terhukum. Ini berarti bahwa secara de facto, sasaran utama dalam praktik penerapan syariat Islam di NAD. Belum lagi soal perebutan ‘lahan’, mengutip laporan Crisis Group medio 2006, antara polisi syari’at dan polisi (nasional).

Dengan dua kecenderungan ini, kemana pendulum politik Aceh akan bergerak?

****

Self-governance atau otonomi Aceh nampaknya akan menuju jalan tengah. Latar belakang gubernur terpilih tentu amat menentukan. Di sini, prospek SI tidak terlalu moncer. Aktivis GAM, seperti Irwandi, memang dikenal sebagai kumpulan orang-orang yang terbiasa berbicara menyangkut pemisahan diri sebagai negara. SIRA mendorong pilihan itu dengan memberi ruang otonomi. Tetapi dalam soal ideologi, rupanya lain. “Keduanya termasuk sekuler,” jelas Indra J. Piliang dalam artikelnya ‘Otonomi Paham Separatis’ di Majalah Tempo (18-24/12/06).

Sekuler di sini nampaknya dimaksudkan dengan tidak adanya keberpihakan kepada penegakan SI secara jelas. SIRA, dalam situs resminya, tidak pernah menyinggung soal SI. Pun GAM. Pernyataan Acheh-Sumatra Merdeka atau yang lebih familiar sebagai Deklarasi GAM tidak pernah menyebut SI secara vulgar. Hanya ada satu kalimat saja tentang Islam, bukan Syari’ah Islam. “…..Semuanya sebagai Wali Negara dan Panglima Tertinggi yang silih berganti dari negara Islam Acheh Sumatra,” demikian bunyi paragraf kelima deklarasi GAM tersebut. Tetapi yang dimaksud bukanlah Aceh dengan formalisasi SI seperti saat ini. “Mungkin itu konteksnya untuk membedakan diri dengan Indonesia yang penduduknya majemuk secara agama” terang Kemal Fasya (06/02/06).

Ini senada dengan jawaban Tgk. Amni Ahmad Marzuki dan Drs. Amdi Hamdani kepada Marzuki Wahid dan Nurrohman (Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syari’at Islam; Kasus Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2003). “GAM tidak tertarik dengan issue seputar formalisasi SI,” tegas mantan juru runding GAM itu (15/07/02). Menurutnya, dengan nada diplomatis, SI sudah menyatu dengan budaya masyarakat Aceh dan yang ada sekarang adalah “Paket Politik Jakarta”.

Selain itu, formalisasi SI tidak lain adalah aspirasi partai politik nasional yang menang pada pemilu 1999 dan 2004. Ini semu belaka. “Karena pemilu itu diadakan di tengah situasi darurat militer,” tambah peneliti Center for Strategic and International Strategy (CSIS) ini.

Orientasi kepada daerah otonom yang akan memerdekakan diri agaknya masih dini untuk diamati. Sejak kesepakatan damai Helsinki 15 Agustus 2005, GAM memainkan politik sipil, meninggalkan cita-cita “M”, merdeka. “Seluruh ketakutan Jakarta terhadap kami, telah kami tanggalkan” demikian tokoh Munawarlizza Zain. M, merdeka, baginya, tak ada lagi dalam agenda. “Senjata telah kami potong dan tentara telah kami bubarkan,” tambahnya kepada Radio Nederland Wereldomroep (28/12/06). Jadi, tak ada masalah lagi soal itu.

Pendapat senada datang dari pengamat politik Aceh, Kemal Fasya. IRNA akan memfokuskan pemerintahan Aceh pada soal-soal krusial. “Di antaranya, perbaikan ekonomi, pembentukan clean government yang bebas dan transparan,” terang ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA) ini. Pemerintahan yang peduli lingkungan dan HAM juga akan menjadi agenda politik IRNA. “Ini demi menjaga kepercayaan internasional,” tandasnya kepada WI via telepon (18/01/07). Maklum, keberadaan GAM selama ini antara lain berkat dukungan dunia internasional.

Kesan ini makin kuat dengan adanya ‘kunjungan’ Irwandi ke Jakarta. Ia bersama ketua tim suksesnya, mantan Panglima Wilayah GAM, Sofyan Dawood, bertemu salah satu bos Golkar yang juga taipan media asal Aceh, Surya Paloh. “Kami ingin dengar pendapat Bang Surya,” Irwandi berkelit. Seperti dirilis radio tersebut pula, gaya faksi GAM Irwandi dianggap pragmatis. Senada dengan hal tersebut adalah pendapat Sidney Jones, peneliti dari International Crisis Group (ICG). “Saya yakin Irwandi akan pargmatis,” tandasnya.

****

Kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan penduduk yang rendah harus menjadi agenda utama pemerintahan IRNA. Apalagi, seperti dilansir Kompas, Aceh adalah provinsi termiskin keempat sebelum tsunami. Angka kemiskinannya mencapai 28,5%. Jumlah ini diperkirakan meningkat hingga 7 % pasca tsunami sehingga menempatkan Aceh sebagai daerah termiskin kedua di Indonesia, setelah Papua. Ini antara lain karena maraknya korupsi. Kiranya tak berlebihan jika Azhari berharap soal tersebut. “Saya berharap Irwandi-Nazar membersihkan birokrasi di Pemda Aceh sebagai sarang korupsi,” tutur pegiat Komunitas Tikar Pandan ini.

Tak kalah penting adalah merawat perdamaian yang telah disemai dengan susah payah—bahkan dengan air mata dan darah. “Bagi pemimpin yang terpilih pada Pilkada nanti harus bisa menjalankan dan menjaga kedamaian di Aceh seperti yang sudah dirasakan sebelumnya, tanpa adanya lagi kekerasan dan konflik yang berkepanjangan pasca penanda-tanganan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), sehingga masyarakat dapat hidup aman dan damai di Aceh,” demikian salah satu rekomendasi workshop yang diselenggarakan WI di Aula Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry itu (07/12/06).

Di atas semua itu, yang paling substansial, justru keterlibatan seluruh komponen Aceh dalam membangun Aceh pasca pilkada dan konflik. Rakyat Aceh mesti dilibatkan oleh pemerintah dalam segala proses menuju masa depan Aceh yang lebih baik. Termasuk dalam soal pembuatan policy, kebijakan. Kebersamaan dan kesatuan keduanya mutlak dijunjung meski dilanda prahara apapan. Sama dengan ‘pesawat’ Seulawah yang tetap kokoh hingga kini meski diterjang tsunami. Wallahu A’lam (Nurun Nisa')

Bersama-sama Menolak Perda

Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Pertanda malam mulai kelam. Tapi, Jalan Otista, Tangerang, masih ramai. Beberapa perempuan terlihat menunggu angkutan di sisi pinggirnya. Termasuk Lilis, pramusaji di sebuah restoran di Cengkareng. Ia tenang saja meski dingin angin makin menusuk. Maklum, begitulah rutinitasnya; pulang larut malam selepas kerjanya rampung.


Tak dinyana, malam itu dirinya menginap di penjara. Sebab, petugas tramtib (ketentraman dan ketertiban, Red.) telah menangkapnya. Tak tanggung-tanggung, ia dituduh sebagai pelacur gara-gara kebiasannya itu. Dasarnya perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005.


Lilis tak terima. Begitu bebas, ia mengajukan gugatan terhadap Walikota Tangerang atas pelaksanaan perda tersebut dengan didampingi pengacaranya. Tetapi ditolak oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Angga yang senasib dengan Lilis juga melakukan hal serupa dengan diwakili ibunya, Tuti Rahmawati. Tuti beserta Hesti Prabowo dan Lilis Mahmudah dengan Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR) mengajukan kasasi ke MA. Nasibnya sama; ditolak.


Penolakan ini tak membikin patah semangat para perempuan Tangerang. Perda boleh jalan terus, tapi perlawanan tak mau surut. “Mereka tetap tidak takut pulang malam,” kata Asfinawati ketika dihubungi The WAHID Institute, Jumat (22/06/07). Mereka, kata Ketua LBH Jakarta yang juga terlibat dalam TAKDIR ini, melakukannya karena keberanian mereka yang kuat. “Kalau bukan PSK, kenapa takut?,” begitu kira-kira argumen mereka.


****


Tak hanya Perda Tangerang yang ditolak kaum perempuan. Perda No. 5 Tahun 2003 yang mewajibkan pemakaian jilbab itu ditampik oleh perempuan Bulukumba, Sulawesi Selatan. “Ibu-ibu PNS hanya memakai jilbab ketika di kantor. Setelah pulang dilepas,” kata Subair, pegiat Lembaga Advokasi dan Pendidikan untuk Anak Rakyat (LAPAR), Makasar kepada WAHID Institute (20/06/07). Padahal, di sana ada kawasan bernama desa Muslim di mana warganya wajib menutup aurat setiap waktu.


Di Padang sama saja. Instruksi Walikota No.451.442/Binsos-III/2005 yang berisi kewajiban berjibab dan anjurannya bagi yang non-Muslim itu justru menimbulkan antipati. Para siswi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) negeri memang mengenakan jilbabnya. Tetapi ada rambut yang dicat di balik penutup kepala itu. “Itu (mengecat rambut, Red.) dilarang keras di sekolah negeri dan diberi sanksi jika dilakukan,” ujar Sudarto, seorang guru yang juga peneliti Pusat Studi Antar-komunitas (PUSAKA,) Padang.


Penolakan ini sesungguhnya amat wajar. Sebab, peraturan tersebut telah mendiskriminasikan perempuan. Padahal, sudah ada peraturan dan kovenan internasional yang merekomendasikan penghapusan diskriminasi tersebut.


“Produk kebijakan tersebut jelas mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (UU Sipol),” terang Musdah Mulia dalam tulisannya yang bertajuk Perda Syari’at dan Peminggiran Perempuan di ICRP On-line (01/08/06).


CEDAW memberikan amanat kepada negara yang meratifikasinya antara lain agar melakukan langkah-tindak yang tepat untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita—termasuk perda diskriminatif yang menimpa perempuan di Tangerang, Bulukumba, dan Padang. “Setiap orang (laki-laki dan perempuan) berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi,” demikian bunyi UU HAM pasal 2. Sementara itu, UU Sipol menggarisbawahi bahwa hak sipil dan politik—termasuk hak sipil dan politik perempuan—tidak boleh dilanggar. Pemberlakuan perda diskriminatif terhadap perempuan jelas-jelas sebuah pelanggaran atas komitmen yang sudah disepakati bersama ini.


Selain itu, peraturan diskriminatif mendatangkan kekerasan bagi perempuan sehingga layak ditolak. Kekerasan psikologis, misalnya, diterima oleh Angga akibat perda usungan Wahidin Halim itu. “Anak saya sempat stress karena khawatir ditangkap sebab pulang malam dari hotel tempatnya bekerja,” tutur Tuti Rahmawati, ibu Angga, Selasa (07/03/06). Gara-gara itu Angga pindah kerja ke Bogor. Bahkan indekos juga di sana.


Kekerasan ekonomi juga muncul akibat peraturan ini. Lilis Lindawati kini hanya di rumah. Sementara, suaminya yang seorang guru dipersulit dalam pekerjaannya—termasuk dalam penerimaan gaji. Padahal, itu sudah haknya. “Itu karena mereka dianggap mempermalukan pejabat pemerintahan Tangerang (karena melakukan gugatan terhadap Walikota Tangerang, Red.),” terang Tuti lagi kepada The WAHID Institute (19/07/07) tentang teman senasib anaknya itu.


Perda jilbab juga mengabaikan hak perempuan untuk memperoleh pelayanan publik sehingga pantas ditolak oleh perempuan. "Tidak melayani kecuali yang berjilbab," demikian bunyi pengumuman di balai desa di Bulukumba. Padahal, pasal 13 perda yang digadang-gadang Pattoboi Pabokori itu menyebutkan, “Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan berdomisili dan atau bekerja dalam wilayah Kabupaten Bulukumba.”


****


Lalu bagaimana jalan keluarnya? Lilis Lindawati, seperti disinggug di atas, memilih melakukan gugatan kepada Walikota Tangerang melalui PN Tangerang. Sementara itu, Tuti Rahmwati dan kawan-kawan melakukan judicial review (permohonan uji materil, Red.) atas perda anti pelacuran Tangerang ke MA bersama tim TAKDIR.


Alasannya, antara lain karena perda tersebut melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 7 Tap MPR No.27 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. “Perda itu juga berpotensi mengkriminalkan korban perdagangan orang dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain,” tulis tim TAKDIR dalam draft gugatannya setebal 38 halaman itu.


Namun, MA ternyata memiliki anggapan yang lain. Hakim Agung Achmad Sukardja, Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar memutuskan bahwa permohonan itu ditolak. “Melihat dari aspek prosedural, proses pembentukan Perda Kota Tangerang telah melalui proses yang cukup lama, semua unsur dilibatkan, dan tidak bertentangan dengan peraturan UU,” ujar Djoko Sarwoko, juru bicara MA, mengutip delik putusan, Jum’at (13/04/07). Perda itu juga dinilai oleh MA telah melalui proses politik sehingga sudah menjadi wewenang eksekutif dan legislatif daerah dan sah untuk diberlakukan di Tangerang.


Akan tetapi tim TAKDIR tidak tinggal diam. “Kami sedang melakukan lobby dengan eksekutif dan departemen-departemen terkait,” jelas Asfinawati kepada The WAHID Institute, Jum’at (22/06/07). Yang dimaksud sebagai pihak eksekutif dan departemen terkait adalah Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Hukum dan HAM.


Sementara itu, Subair tidak memilih jalur legal formal seperti dilakukan oleh Asfinawati dan kawan-kawan dalam melawan perda jilbab. “Proses ini erat kaitannya dengan parlemen sementara masyarakat di sini belum terbiasa melakukan proses-proses itu,” bebernya. Selain itu, protes lewat jalur ini membutuhkan energi yang besar. “Lobi melalui Kaukus 56 (kaukus 56 anggota DPR menolak perda SI, Red.) saja gagal. Bahkan perda SI malah diganti namanya dengan perda anti maksiat saja,” tambahnya setengah kesal. Belum lagi, menurut Subair, soal definisi terhadap istilah ‘pelanggaran terhadap UU di atasnya’ dan ‘wewenang otonomi daerah’ yang membingungkan itu.


“Jalur itu juga berat karena keyakinan agama yang berurat dalam masyarakat Bugis,” tandasnya. Orang Bugis sejak dulu kala terkenal dengan budaya menutup auratnya, termasuk dengan berjilbab yang hingga kini tidak dapat digugat. “Karena itu, kami hanya bisa menghimbau untuk tidak mematuhi peraturan tersebut dalam aras praktisnya,” paparnya lagi. Dalam aras teoritisnya, ia dan lembaganya, LAPAR, menyelenggarakan diskusi terbatas untuk membangun sikap kritis terhadap perda tersebut.


Sudarto sejalur dengan Subair. Dalam kultur keagamaan konservatif Padang, advokasi PUSAKA—lembaga di mana ia aktif mengkritisi perda diskriminatif—agak berat dilaksanakan dengan menempuh jalur hukum. “Kami berusaha mengkritik kebijakan tersebut melalui seminar atau forum ilmiah lainnya,” tandasnya kepada The WAHID Institute, Jumat (20/06/07).


****


Yang otoritatif untuk menangani perda diskriminatif ini agar menjadi memihak pada perempuan sebenarnya pemuka agama—mengingat karakter religiusitas orang Indonesia yang menonjol. Sayangnya, pemuka agama ini berikut pemahaman keagamaannya justru tidak menunjukkan peran yang demikian di Tangerang, Bulukumba, dan di Padang.

Di Tangerang, majelis taklim menjadi corong pemerintah dalam memberlakukan perda anti pelacuran itu. Termasuk para pimpinannya yang notabene ulama. "Para pemimpin agama memainkan simbol-simbol Islam dalam hal itu," terang Asfinawati. Simbolisasi ini berwujud pada pencitraan perempuan; yang suka pulang malam adalah perempuan tidak baik (baca; tuna susila) sehingga harus ditertibkan demi kebaikan bersama. Sementara di Bulukumba, jilbab sudah merupakan keputusan keagamaan yang tidak bisa diganggu gugat. “Itu sesuatu yang sudah final,” jelas Subair lagi. Tradisi keagamaan Padang begitu kuat dengan semboyan-nya yang khas: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. “Mengkritisi itu kita dianggap orang Yahudi-lah atau Kristen,” ujar Sudarto dalam sebuah acara refleksi yang digelar WI di Padang, Senin (27/06/05).

Pihak lainnya adalah negara. Akan tetapi, kiprah negara sepertinya tidak jauh berbeda. Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memang sudah mengupayakan pengawasan dan evaluasi perda-perda yang dianggap bertentangan, baik dengan sistem perundang-undangan yang lebih tinggi maupun bertentangan dengan masyarakat setempat. "Langkah nyata Depdagri tersebut terbukti dengan pengawalan perda diskriminatif di tiga daerah," terang Janiruddin, Kabag Pengkajian dan Evaluasi Produk Hukum Biro Hukum Depdagri dalam sebuah diskusi, Kamis (14/06/07).


Pengawalan yang dimaksud berbentuk pembinaan antara lain kepada Walikota Tegal, Bupati Purworejo, dan Bupati Banjarmasin. Tetapi, perda yang dimaksud terkait dengan larangan minuman beralkohol. Tak ada nuansa perda (diskriminatif) perempuan di sana meskipun pembinaan ini telah melibatkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP).

Meutia Hatta, sang menteri, sesungguhnya juga sudah menunjukkan sikap. Ia berkeluh soal perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Masa sekarang makin banyak perda yang tidak pro-perempuan dan justru membatasi gerak perempuan,” ujarnya dalam peringatan Hari Kartini di Jakarta, Senin (23/04/07). Hal itu dinilai kontradiktif dengan prinsip kesetaraan gender di segala sektor termasuk soal Pengarus-utamaan Gender (PUG) dalam kementeriannya sesuai Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000. Ia beserta timnya-pun berusaha membendungnya. "Kami sudah mengirimkan surat ke gubernur dan wali kota kalau ingin membuat perda harus memperhatikan kesetaraan gender," tambahnya dalam satu kesempatan, Selasa (23/05/06).

Tetapi KNPPP bukanlah kementerian yang berbentuk departemen yang memiliki kewenangan luas. “Kementerian Negara mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara,” demikian bunyi pasal 89 Peraturan Presiden No.9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Ketentuan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Sementara itu, kementerian yang berbentuk departemen memiliki langkah yang lebih panjang karena diberi wewenang untuk menyelenggarakan apa yang sudah dirumuskan. Semaju-majunya KNPP, langkahnya tetap terbatas karena kewenangannya tak banyak. Sehingga, kiprah mereka tidak terlalu bisa diharapkan.

****

Karena itulah, penolakan perda lebih tepat dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Tidak dengan mengandalkan siapa-siapa. Bentuknya adalah melibatkan perempuan dari berbagai kalangan. Tak peduli, apakah berasal dari legislatif, aktivis, bahkan perempuan di ranah domestik. “Kita merekomendasikan bahwa perempuan harus membuat koalisi. Koalisi rainbow power (kekuatan pelangi, Red.) atau semacam itu,” usul Erni Agustini, peneliti di Women Research Institute (WRI), (Lihat Wawancara; Perlu Koalisi Rainbow Power).

Usulan ini sesungguhnya masuk akal. Pertama, karena tingkat legislasi perempuan rendah. Seperti dirilis Kompas (28/08/01), hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Dengan jumlah sekecil ini, perempuan daerah tak sanggup membendung lahirnya peraturan yang diskriminatif tersebut karena posisi tawarnya yang tidak cukup signifikan.


Kedua, perempuan di ranah domestik ternyata memiliki peranan penting sepert halnya kaum legislatif. “Ibu PKK juga mempunyai peran yang signifikan,” tambah alumnus Pusat Studi dan Kajian Wanita (PSKW) UI. Ketiga, aktivis perempuan dan organisasinya yang tidak diragukan lagi kontribusinya dalam perjuangan melawan diskriminasi perempuan, terutama di daerah. “Keberadaan organisasi perempuan di tingkat daerah itu sangat penting keberadaannya dalam konteks otonomi daerah”, ujarnya lagi.


Perempuan bisa menolak perda bersama-sama. Mari! Wallahu A’lam (Nurun Nisa').

.

Perda SI; Aspirasi atawa Komoditi?

Oleh: Nurun Nisa

Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta menunjukkan bahwa 61,4% penduduk Muslim yang bermukim di 16 propinsi di seluruh Indonesia menyetujui syari'at Islam (SI). Riset yang dilakukan pada November 2001 ini kemudian menambahkan soal keterbelahan sikap para responden. Mereka, yang notabene santri, ternyata tidak sepaham dalam soal implementasi SI. 'Syari'at yes, potong tangan nanti dulu', kiranya merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan realitas ini; ada perbedaan tajam antara pemahaman dan pelaksanaan SI (Tempo, 2001).

Realitas ini amat menarik jika dikaitkan dengan regulasi otonomi daerah seperti termaktub dalam UU No.22 Tahun 1999. Peraturan yang menjamin daerah berhak mengatur dirinya sendiri ini telah membuka banyak peluang. Di antaranya adalah soal pilihan orientasi dalam pembuatan peraturan daerah. Termasuk juga kecenderungan (formalisasi) syari'at Islam.

Gejala di atas dapat dilihat dari meruyaknya aturan daerah bernuansa syari'ah Islam. Sebut saja perda syaria'ah Islam (perda SI). Penggagasnya rata-rata Bupati dengan dukungan badan SI. Di Garut, badan tersebut bernama LP3SI (Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan SI). Sulsel dengan KPPSI (Komite Persiapan Penegakan SI), Banten (KPPSIB; Komite Persiapan Penegakan SI Banten), Cianjur (LPPI, Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Islam), Tasikmalaya (FBPI, Forum Bersama Pemuda Islam), Sukabumi (BPPSI, Badan Pengkajian dan Pengembangan SI). Tak kalah, Kebumen mempunyai FTJ (Front Thariqatul Jihad), Yogyakarta memiliki GPSI (Gerakan Penegak SI)-nya (Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, 2004).

Dan memang, bupati dan badan SI-lah yang selama ini menjadi aktor di balik Perda syariah di berbagai daerah. Peraturan di Bulukumba tentang pandai baca tulis Al-Qur'an bagi siswa dan calon pengantin No. 06 Tahun 2003 misalnya dirumuskan oleh Bupati Patoboi Pabokori dan Ketua KPPSI, Aziz Kahar Muzakkar. Atau Perda No. 18/2001 soal pelarangan minuman keras di Pamekasan oleh Bupati Dwiatmo Hadiyanto. Juga Bupati Wasidi Swastomo dengan konsep Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah) di Cianjur—dan lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan LPPI (Lihat tabel). Kesemua daerah memperlihatkan ciri-ciri yang hampir seragam.

Betapapun, tidak mampu disangkal adanya kenyataan bahwa masyarakat didera kepanikan yang luar biasa ketika Orde Baru tumbang. Rezim yang begitu hegemonik ini meninggalkan rakyat dalam beliung keterpurukan. Dan, publik akhirnya limbung. Mereka seolah kehilangan pegangan karena seluruh hidupnya selama ini telah diatur dan ditundukkan oleh berbagi policy yang dibuat pada masa rezim Soeharto.

Akhirnya, ketika rezim itu runtuh, sebagian dari mereka mulai mencari authentisitas diri. Ambisi ini dimulai dengan 'pencarian' asal-mula daerah yang berujung pada romantisme Negara Islam Indonesia (NII) seperti di Garut (RAHIMA, 2004) atau kerajaan Islam tempo doeloe pada kasus Bulukumba (LAPAR, 2004). Kemudian dilanjutkan dengan problem otentisitas budaya—bahwa kita dikungkung oleh budaya Barat. Hukum dan ekonomi, sebagai contoh, yang membuat Indonesia terjerembab dalam krisis multidimensi adalah hasil adopsi peradaban Barat. Untuk itu, kita perlu kembali ke asal; kita perlu kembali ke 'khittah' awal yang original, yang asli. Dengan kata lain, hukum Islam, ekonomi Islam, dan seterusnya merupakan solusi paling ampuh.

Yang lain, merasa resah karena banyak terjadi degradasi moral yang sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Banyaknya perempuan yang berpakaian mini dan tidak berjilbab ditambah pornografi dan pornoaksi yang kian marak, misalnya, membuat jengah sebagian kalangan. Aturan berjilbab dan kewajiban memakai busana muslim(ah) yang ketat tak ayal menunjukkan opini ini. Dan, terlihatlah sebuah upaya 'mendisiplinkan' perempuan—perempuan kadung dianggap sebagai parameter baik buruknya moralitas masyarakat—demi memperbaiki keadaan.

Berbagai alasan kuat ini lantas berjalin berkelindan dengan ambisi-ambisi kelompok kepentingan. Di Cianjur, Bupati menjadikan perda SI sebagai program utama, main program. Tentu ini terkait dengan interest politik; apalagi jika disambungkan dengan event pilkadal (pemilihan kepala daerah langsung) yang kian mendekat. Bupati Bulukumba dan Sukabumi nampaknya melakukan upaya yang terakhir ini. Dengan demikian, bukan tidak mungkin, terjadi politisasi agama—syari'ah dibungkus sedemikian rupa sehingga berbentuk komoditas politik yang bernilai jual tinggi.

Di samping kepentingan politis, dalam penerapan perda SI, ditengarai terdapat pula kepentingan bisnis. Meski menumpang, kepentingan kaum pemodal ini menangguk untung besar. Di Tasikmalaya, industri bordir maju pasca lahirnya regulasi SI terutama berkaitan dengan suplai jilbab sehubungan isu jilbabisasi. Pun di Cianjur, seperti dilansir AD. Kusumaningtyas (aktivis RAHIMA), di mana terdapat penyelenggaraan busana muslim keluaran Shafira sehabis pertemuan ibu-ibu PKK. Juga Bandung, hanya peragaan rancangan baju muslimah saja yang diizinkan. Soal perda miras yang inkonsisten ternyata menimbulkan problem baru; kesenjangan antara pedagang besar dengan pedagang kecil. Pembolehan penjualan miras hanya di tempat pariwisata (Bira) menguntungkan pihak tertentu (LAPAR, op.cit.). Pengusaha besar tidak dirugikan karena dagangannya tetap dapat dijual asalkan memperoleh mengantongi izin resmi.

Sementara itu, sebagian kalangan mengklaim bahwa perda SI murni niatan untuk menjalankan perintah Tuhan. Karena berstatus Muslim, maka, mereka mesti melaksanakan SI. Perda miras (Pamekasan), perda zakat profesi (Lombok Timur), qanun khalwat (Aceh), dan kewajiban memakai jilbab (Cianjur) serta larangan keluar malam bagi perempuan (Padang) dianggap mewakili semangat ini.

Namun, fenomena yang terjadi belakangan memperlihatkan spirit 'yang lain'. Kebutuhan melaksanakan SI bukan lagi soal kepentingan komunal. Tepatnya, aspirasi kaum muslimin lokal. Dalam perjalanan, perda SI ternyata lahir tanpa komunikasi dengan kalangan akar rumput. Pola yang dianut bukan bottom-up, melainkan bergaya elitis; top-down. Draft perda sudah jadi; masyarakat tinggal menyetujui. Mereka tidak diberi ruang sama sekali untuk sekedar beradu argumentasi, apalagi mengkritisi. Bupati dan unsur-unsur pendukungnya menguasai wilayah ini.

Di sinilah, menurut Uli Parulian, Direktur LBH Jakarta, terdapat representasi semu. Representasi penuh (dalam proses pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan peraturan perundang-undangan) seperti dikehendaki oleh undang-undang tata cara pembuatan peraturan, tidak dilaksanakan. Perda SI malah diaku mewakili masyarakat—karena unsur-unsur struktural ormas tertentu memang diundang—padahal, yang paling berhak disebut representasi adalah masyarakat secara kultural. Di sinilah, terjadi sebuah reduksi dari demokrasi partisipatif yang sesungguhnya ideal menjadi—mengutip Robert A. Dahl—sekedar demokrasi prosedural (Robert A. Dahl, 2001). Perda SI sudah illegitimate secara sosial.

Jika ditarik dalam soal tata tertib perundang-undangan, lanjut Uli, perda SI sudah menyalahi hierarki. Kaidah lex superiore derogat lex inferiore (peraturan perundangan-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi) sudah dilangkahi. Dengan demikian, perda SI, cacat untuk kedua kali; cacat dari sisi hukum. Namun, masyarakat tetap bungkam.

Keadaan ini (baca: masyarakat yang bungkam) patut dipertanyakan. Apalagi jika dilengkapi data-data berikut; Alifah (nama samaran) digunduli kepalanya oleh Forum Bersama Pemuda Islam (FBPI) sebab tertangkap basah pulang malam tanpa didampingi muhrim. Padahal, ia melakukannya karena darurat; ia tidak mendapatkan kendaraan sampai malam menjelang. Forum pendukung SI Tasikmalaya ini tidak (mau) tahu bahwa sang gadis sudah berinisiatif berangkat sejak pagi buta (Taufik Adnan Amal, op.cit). Idham, mantan aktivis mahasiswa yang juga lulusan PTAIN ternama, mengalami nasib serupa. Ia 'dikerjai' aparat kabupaten Bulukumba ketika akan bertemu dengan Bupati. Al-Qur'an harus dibaca terlebih dahulu sebagai tiket masuk dalam protokol birokrasi di salah satu daerah Sulsel ini. Bahkan, di Lombok Timur, soal pungutan zakat profesi telah menyengsarakan para 'Oemar Bakri'. Gaji yang sudah kecil dipotong sebanyak 2,5% tanpa diperkuat dengan transparansi (Syir'ah, 2006). Walhasil, perda

Tekanan politik yang keras dan kontinyu, setidaknya, menjadi alasan utama mengapa perda SI tetap (di)berlangsung(kan). Suara protes hanya lamat-lamat terdengar ditelan gemuruh penyeragaman kepatuhan. Nampaknya, silent majority saja yang tetap eksis—meski tidak memiliki imbas signifikan. Begitu efektif dan manjurnya kebijakan ini, antara lain karena didukung oleh mekanisme pemaksaan model baru. Pemaksaan pemahaman keagamaan, menyitir Ahmad Suaedy, telah menggeser pemaksaan militer ala Orde Baru. Benar, kombinasi antara pemuka agama dan penguasa telah mengefektifkan kerja-kerja hegemoni ini. Memasuk-paksakan program-program SI sebagai program unggulan, tandas direktur The Wahid Institute ini, menjadi penanda akurat yang dominan.

Kalau sudah seperti ini, perda SI nampaknya tidak bisa ditabalkan sebagai aspirasi melainkan komoditi. Masihkah kita berekspektasi? Wallahu A’lam.

Ciputat, 07 April 2006