Selasa, 21 Agustus 2007

Bila Masyarakat (Berani) Membangkang

Oleh: Nurun Nisa*
NisaHingga kini, masalah lumpur Lapindo Brantas, Sidoarjo, belum tuntas. Lumpur makin banyak, tapi solusi yang muncul amat sedikit. Si empunya perusahaan tidak sepenuhnya bertanggung jawab. Pemerintah juga seolah tak mau ambil pusing. Inilah yang membikin korban lumpur Lapindo geregetan. Termasuk warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas).

Sebut saja Pak Rahmat. Ia membeli rumah di Perumtas menggunakan uang tabungannya selama mengajar hingga pensiun. Namun, tak lama ia menikmati hasil jerih payahnya. Sebab, lumpur panas me-ngurug tempat tinggalnya. Entah di mana ia akan berteduh di hari tuanya. Tak ada ganti rugi (apalagi ganti untung) untuk membeli rumah baru. Namun, ia tak mau diam merana. Bersama warga Perumtas lainnya, ia mengutus delegasi untuk mengadu kepada bupatinya, Win Hendarso.

Usulan mereka sederhana. Tidak perlu setor pajak ke pusat kalau pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Jika ini benar-benar dilaksanakan, pemerintah pusat akan kehilangan dana Rp. 178 milyar. Jumlah yang tidak sedikit. Ini, menurut penulis, merupakan cara efektif dan paling realistis untuk menggertak pemerintah kita agar peduli pada rakyatnya.

Tapi, apa jawaban yang didapat? Win Hendarso merespon dingin. Ia berapologi, itu bukan wewenangnya. Yang parah, dan amat menyakitkan, adalah tanggapan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). “Tidak apa-apa. Yang tidak menyetor pajak tidak bakal mendapat DAU (Dana Isian Umum) dan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran),” kata JK. Aksi tersebut bahkan dianggap irelevan.

Tanggapan Kalla benar-benar tak bisa dikunyah akal sehat. Bagaimana mungkin pejabat yang bertugas melayani rakyat melontarkan kata-kata sedemikian kasar. Yang dipikirkan hanya soal anggaran semata. Usulan warga Sidoarjo dianggap pelanggaran. Karena itu harus diberi hukuman.

Kalla seolah tak peduli bahwa yang dilakukan warga Perumtas bukan hanya soal tidak mau setor pajak. Tapi ada soal lain yang lebih rumit. Yakni puncak frustasi masyarakat karena tak diurusi oleh pemerintah. Mereka menganggap pemerintah telah gagal. Si pengelola ladang minyak tak bertanggung jawab. Rakyat pun bertindak menentukan nasib mereka sendiri.

Mungkin aksi mereka tak terpikirkan. Tapi, kenyataan pahit, menyuburkan segumpal kesadaran mereka. Pemerintah bukanlah satu-satunya tumpuan harapan. Kalau memang tidak becus, tak apalah membangkang. Aksi ini bisa disebut, meminjam istilah Antonio L. Casado da Rocha, sebagai pembangkangan sipil (civil disobedience). Pemberontakan yang dilakukan oleh warga sipil untuk menggugat negara. Atau juga mengeliminir peran negara karena tak bisa diandalkan lagi.

Mereka percaya bisa membereskan masalahnya tanpa harus mengandalkan kekuasaan negara. Dan tentu, nir-kepentingan. Yang dipikirkan hanya bagaimana masalah yang dihadapi cepat berakhir. Itu saja! Tak ada kaitannya dengan kisruh politik, reshuffle kabinet, recall dari partai atau legitimasi di mata publik. Pokoknya, masalah selesai. Masa bodoh dengan itu semua.

Di sinilah, keacuhan terhadap sesuatu yang politis itu kerap berbenturan dengan logika kekuasaan. Termasuk logika pak wakil presiden. Tindakan menolak menyetor pajak, jika sungguh-sungguh dilakukan, adalah membahayakan. Pemerintah bisa berkurang wibawanya. Apalagi efek domino yang mungkin timbul—aksi ini menular ke kabupaten-kabupaten sebelahnya. Bisa-bisa, pemerintah yang dipilih langsung itu menjadi tidak legitimate. Karenanya, aksi ini harus ditindak, dengan alibi apapun, termasuk ‘menyandera’ DIPA yang seharusnya menjadi hak tiap kabupaten.

Memang agak susah bila pemimpin di negeri kita ini adalah politikus (busuk) yang mengaku-aku negarawan. Mengklaim diri sebagai cerminan kehendak rakyat, tapi yang dipikirkan cuma kursi dan jabatan. Nuraninya mungkin sudah karam di lautan kekuasaan. Entah sampai kapan. Sepertinya ia harus hidup di Sidoarjo dulu seperti Pak Rahmat. Tidur di pengungsian. Melahap nasi basi setiap hari. Dan, tak memperoleh ganti rugi. Siapa mau? Wallahu A’lam.

Matraman, 21 Maret 2007

Repotnya Menjadi Minoritas

Judul Buku
:
The Prophet Muhammad SAW; A Role Model for Muslim Minorities
Penulis
:
Muhammad Yasin Mazhar Siddiqi
Penerbit
:
The Islamic Foundation
Tempat Terbit
:
London
Tahun Terbit
:
2006
Jumlah Halaman
:
230 hlm + xiii


Oleh: Nurun Nisa’

Menjadi minoritas memang tidak enak. Mereka sering menjadi korban penindasan mayoritas. Ketika sebuah kebijakan dilahirkan demi kepentingan mayoritas, saat itulah penindasan menjadi sesuatu yang niscaya bagi mereka yang minoritas.

Minoritas

Ini benar-benar terpraktek di Indonesia. Di berbagai daerah muncul perda diskriminatif bernuansa agama. Di Bulukumba, dirilis perda jilbab karena penduduk (perempuan)-nya kebanyakan beragama Islam. Yang tidak berjilbab tidak mendapatkan pelayanan di kelurahan. Sebaliknya, di Manokwari terbit rancangan perda (raperda) Kota Injil karena sebagian besar warganya memeluk agama Kristen. Nantinya umat Islam tidak boleh mengenakan simbol Islam termasuk jilbab sebab raperda tersebut memang menggariskan demikian.

Melihat realitas tersebut terbersit pertanyaan; apakah relasi antara mayoritas-minoritas memiliki pakem yang tak boleh berubah—selalu hegemonik dan dominatif seperti itu? Jika kita mau melihat fakta sejarah, rasanya tidak.

Berabad-abad lalu, Nabi Muhammad menjadi minoritas Muslim di Mekkah. Para bangsawan dan agamawan Mekkah merasa tersaingi dengan Islam yang dibawa mereka. Bangsawan-bangsawan tak mau kehilangan privilege-nya karena Islam mengajarkan persamaan antar manusia. Bukan melanggengkan kasta seperti tradisi mereka. Di pihak yang lain, kehadiran Nabi SAW menggusur pengaruh agamawan yang bercokol lama—Yahudi, Kristen, dan Pagan. Nabi SAW kemudian ditindas dan dipojokkan. Ini berlangsung lama. Di situlah, tirani mayoritas dan minoritas memperoleh keabsahan.

Nabi SAW memutuskan agar umatnya meminta suaka ke Abbesinia. Mitra dagang Mekkah ini masyhur akan rajanya yang adil, Negus. Negus menerima Ruqayyah dan Utsman bin Affan, perwakilan umat Islam dengan tangan terbuka. Ia membiarkan penganut Islam menjalankan ibadahnya meski ia penganut Kristen yang taat. Cerita kesewenang-wenangan kelompok mayoritas tidak ada lagi. Di sini dapat disaksikan bahwa hubungan antara minoritas dan mayoritas tidak selamanya tegang atawa terkungkung dalam kerangka oposisi binarian; mayoritas mesti menjadi penguasa dan minoritas tak bisa menolak takdirnya menjadi pihak yang dikuasai.

Pola baru ini terus berlanjut ketika Nabi SAW kemudian pindah (lagi) ke Madinah. Nabi SAW menjadi mayoritas tapi tak menindas. Umat lain yang minoritas, seperti Yahudi, memperoleh perlakuan yang setara. Bukti paling nyata adalah lahirnya Piagam Madinah. Semua kelompok dapat berpartisipasi tanpa pandang posisi.

Dalam posisi ini, Nabi SAW memilih membangun pusat pendidikan dan perekonomian. Masjid difungsikan dengan baik sebagai pusat pendidikan. Perdagangan dioptimalkan untuk mengembangkan kualitas umat. Keduanya mutlak. Karena umat yang kuat adalah umat yang cerdas serta makmur. Cerdas maksudnya berperadaban dan sanggup berinteraksi dengan segala perubahan zaman. Sementara makmur tak berarti kaya. Yang penting tidak miskin dan fakir. Aspek ekonomi dan aspek pendidikan tetap menjadi fokus Nabi SAW ketika diri dan umatnya bahkan ketika menjadi mayoritas. Dengan modal ini, terbukti umat Islam mampu melawan gempuran dari luar dan goncangan dari dalam untuk kurun waktu yang tidak pendek.

Di sinilah bisa ditangkap pesan bahwa umat baik minoritas atau mayoritas mestinya mengabdikan usahanya untuk mengurus hal-hal yang substansial seperti kebutuhan ekonomi dan pendidikan—hal-hal yang benar-benar dibutuhkan untuk capacity building umat. Sebab itulah, mengurus formalisasi ajaran dan doktrin agama (baca; merancang perda agama dan seterusnya) menjadi sesuatu yang layak dinomor-duakan. Tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas, juga kuantitas, sebuah umat. Demikian Nabi SAW sudah membuktikan. Begitu umat sejahtera dan cerdas, dengan segera ia menjadi umat yang beriman seperti dicitakan-citakan oleh perda-perda agama itu. Karena memang kemakmuran dan kecerdasan itu berbasis nilai-nilai agama.

Kisah panjang Nabi SAW menjadi minoritas Muslim di Makkah dan Abbesenia ini di-dedahkan dengan baik oleh Yasin Mazhar Siddiq dalam bukunya yang bertajuk “The Prophet Muhammad SAW; A Role Model for Muslim Minorities”.

Buku karya profesor Islamic Studies di Aligarh Muslim University ini memang buku sejarah. Tetapi dijamin tak menjemukan. Dalam buku ini, pembaca akan menjumpai detail Nabi SAW sebagai Muslim minoritas di Makkah dan Abbesinia dengan segala perniknya. Hunafa’, aliran (agama) penerus tradisi monotheisme Ibrahim, misalnya diceritakan dengan rinci. Lalu soal suksesi penguasa Ka’bah dari satu bani (suku atau klan, Pen.) ke bani yang lain dengan kronologis yang panjang. Juga pembeberan bukti persahabatan Muslim Mekkah dengan rakyat Abbesinia—termasuk syair-syair dari pujangga Arab tentang itu. Kisah Bilal dan Ummu Ayman dalam kapasitasnya sebagai orang dekat Nabi SAW, yang pribumi Abbesinia, juga dibeberkan dengan bagus.

Itulah bedanya dengan buku sejarah lainnya—Yasin memang ingin membikin salah satu periode dakwah Nabi SAW ini dengan sudut pandang baru. Ia dalam hal ini mengeluh soal pola penulisan sejarah yang tak berkembang sejak dimulai oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam berabad-abad lalu. Mereka membahas Mekkah hanya pada soal turunnya wahyu untuk kali pertama, pemeluk Islam pertama, dan hal-hal lain di sekitar itu. Yasin, hemat penulis, sudah berhasil melakukan tugas ini. Toh begitu Yasin tetap merendah; pekerjaannya diakui bukan sesuatu yang sempurna atau sebuah error-free work.

Akhirnya, selamat membaca. Wallahu A’lam.[]