Jumat, 28 Desember 2007

Menggugat Kegamangan Negara Mengawal Pluralisme

Judul Buku: Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di Indonesia

Penulis: Ahmad Suaedy dkk

Penerbit: the WAHID Institute, 2007

Jumlah Halaman: 366 hlm

Perkara pluralisme ternyata begitu mahal di negeri ini. Modal awal berupa kemajemukan suku, bangsa, dan agama yang sudah ada seperti sia-sia. Mereka yang tidak memiliki toleransi terus mengoyaknya.

Mereka membuat bangsa ini saling bersyak-wasangka kepada golongan di luarnya. Umat Islam, misalnya. Mereka lebih sering ribut soal kapan berhari raya. Pilihan bermazhab juga acap memicu konflik. Atau soal tafsir agama yang menimbulkan bermacam aliran dengan stempel penyesatan di mana-mana. Tak (pernah) dipikirkan kalau jumlah mereka yang besar sangat potensial untuk membangun negara ini.

Tidak mengherankan jika keadaan ini pararel dengan sebuah adagium—bahwa terlalu banyak alasan bagi kita untuk membenci yang lain, yang berbeda dengan kita. Sebaliknya, terlalu sedikit alasan bagi kita untuk mencintai mereka. Inilah yang membuat kita koyak.

Beberapa kejadian menegaskan kesan ini. Dua hal yang paling menyolok; penyesatan aliran dan perusakan tempat ibadat. Penyesatan aliran meruyak setahun belakangan ini. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, YKNCA, Ponpes I’tikaf Ngaji Lelaku, dan Komunitas Eden dicap sesat. Pemimpinnya – Ardhi Husein, M. Yusman Roy, dan Lia Eden – diajukan ke muka hukum karena dianggap menodai agama. Propertinya dihancurkan secara massal.

Tak ada empati di situ. Yang ada semangat menghancurkan karena perbedaan adalah bencana. Demikian halnya perusakan sejumlah tempat ibadat. Karena dianggap “bukan golongan kami”, bangunan boleh dihancurkan. Tak peduli memiliki ijin membangun atau tidak. Padahal, perusak dan yang bangunannya dirusak merupakan te­tangga dekat.

Dua hal inilah yang dikemas apik dalam buku bertitel Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di Indonesia. Hasil penelitian di 7 (tujuh) kota ini, secara komprehensif merangkum berbagai peristiwa diskriminasi yang dialami kelompok minoritas.

Peristiwa tersebut adalah pelarangan pencatatan pernikahan Jemaat Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan oleh Rosyidin & Ali Mursyid, kasus pembubaran padepokan YKNCA oleh Andri A. & Salman al-Farizi, kasus penyesatan dan kriminalisasi M. Yusman Roy oleh Paring Waluyo Utomo & Levi Riyansyah, kisah formalisasi agama di Maros dan Pangkep oleh Subair Umam & Syamsul Pattinjo, kasus penyerangan kampus Ahmadiyah Parung Bogor oleh Mujtaba Hamdi, penutupan gereja di Kronelan dan Demakan oleh Nur Khalik Ridwan & Anas Aizuddin, dan penerapan syari’at Islam di Aceh oleh peneliti Fullbright Indonesia Troy A. Johnson.

Beberapa temuan dari penelitian ini: pertama, pluralisme di masyarakat ternyata memiliki landasan yang rapuh. Sedikit saja terkena gesekan, ia hancur berkeping-keping. Tak ada lagi yang mengikat. Yang tersisa cuma kebencian. Juga keinginan untuk saling mengenyahkan.

Kedua , ketika terjadi ribut-ribut soal perbedaan, negara berikut aparatnya menjadi andalan. Stempel sesat atau tidaknya sebuah aliran diserahkan pada MUI. Sementara ribut-ribut soal rumah ibadat dipasrahkan pada pejabat kelurahan dan seterusnya.

Celakanya, negara tidak jarang bertindak semena-mena. Seringkali terjadi standar ganda— kesalahan mayoritas tidak dianggap ada, sementara bagi minoritas berlaku sebaliknya. Atau keputusan aparat negara berdasar desakan massa, bukan regulasi yang ada. Di titik inilah, negara terlihat gamang mengawal pluralisme.

Sikap negara jelas merugikan pihak minoritas. Pada titik ini, buku setebal 366 halaman ini menemukan relevansinya. Buku ini mendedahkan serangkaian data dan fakta penelitian di lapangan yang membuktikan bahwa kegamangan negara itu nyata-nyata ada.

Karena itu, para peneliti dalam buku ini bukan saja berperan sebagai pemerhati yang menuliskan hasil amatannya. Tetapi, di beberapa daerah, mereka juga mengadvokasi objek penelitiannya untuk mengawal pluralisme. Sebuah usaha yang layak diapresiasi. [Nurun Nisa]