Jumat, 28 Desember 2007

Menggugat Kegamangan Negara Mengawal Pluralisme

Judul Buku: Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di Indonesia

Penulis: Ahmad Suaedy dkk

Penerbit: the WAHID Institute, 2007

Jumlah Halaman: 366 hlm

Perkara pluralisme ternyata begitu mahal di negeri ini. Modal awal berupa kemajemukan suku, bangsa, dan agama yang sudah ada seperti sia-sia. Mereka yang tidak memiliki toleransi terus mengoyaknya.

Mereka membuat bangsa ini saling bersyak-wasangka kepada golongan di luarnya. Umat Islam, misalnya. Mereka lebih sering ribut soal kapan berhari raya. Pilihan bermazhab juga acap memicu konflik. Atau soal tafsir agama yang menimbulkan bermacam aliran dengan stempel penyesatan di mana-mana. Tak (pernah) dipikirkan kalau jumlah mereka yang besar sangat potensial untuk membangun negara ini.

Tidak mengherankan jika keadaan ini pararel dengan sebuah adagium—bahwa terlalu banyak alasan bagi kita untuk membenci yang lain, yang berbeda dengan kita. Sebaliknya, terlalu sedikit alasan bagi kita untuk mencintai mereka. Inilah yang membuat kita koyak.

Beberapa kejadian menegaskan kesan ini. Dua hal yang paling menyolok; penyesatan aliran dan perusakan tempat ibadat. Penyesatan aliran meruyak setahun belakangan ini. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, YKNCA, Ponpes I’tikaf Ngaji Lelaku, dan Komunitas Eden dicap sesat. Pemimpinnya – Ardhi Husein, M. Yusman Roy, dan Lia Eden – diajukan ke muka hukum karena dianggap menodai agama. Propertinya dihancurkan secara massal.

Tak ada empati di situ. Yang ada semangat menghancurkan karena perbedaan adalah bencana. Demikian halnya perusakan sejumlah tempat ibadat. Karena dianggap “bukan golongan kami”, bangunan boleh dihancurkan. Tak peduli memiliki ijin membangun atau tidak. Padahal, perusak dan yang bangunannya dirusak merupakan te­tangga dekat.

Dua hal inilah yang dikemas apik dalam buku bertitel Politisasi Agama dan Konflik Komunal; Beberapa Isu Penting di Indonesia. Hasil penelitian di 7 (tujuh) kota ini, secara komprehensif merangkum berbagai peristiwa diskriminasi yang dialami kelompok minoritas.

Peristiwa tersebut adalah pelarangan pencatatan pernikahan Jemaat Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan oleh Rosyidin & Ali Mursyid, kasus pembubaran padepokan YKNCA oleh Andri A. & Salman al-Farizi, kasus penyesatan dan kriminalisasi M. Yusman Roy oleh Paring Waluyo Utomo & Levi Riyansyah, kisah formalisasi agama di Maros dan Pangkep oleh Subair Umam & Syamsul Pattinjo, kasus penyerangan kampus Ahmadiyah Parung Bogor oleh Mujtaba Hamdi, penutupan gereja di Kronelan dan Demakan oleh Nur Khalik Ridwan & Anas Aizuddin, dan penerapan syari’at Islam di Aceh oleh peneliti Fullbright Indonesia Troy A. Johnson.

Beberapa temuan dari penelitian ini: pertama, pluralisme di masyarakat ternyata memiliki landasan yang rapuh. Sedikit saja terkena gesekan, ia hancur berkeping-keping. Tak ada lagi yang mengikat. Yang tersisa cuma kebencian. Juga keinginan untuk saling mengenyahkan.

Kedua , ketika terjadi ribut-ribut soal perbedaan, negara berikut aparatnya menjadi andalan. Stempel sesat atau tidaknya sebuah aliran diserahkan pada MUI. Sementara ribut-ribut soal rumah ibadat dipasrahkan pada pejabat kelurahan dan seterusnya.

Celakanya, negara tidak jarang bertindak semena-mena. Seringkali terjadi standar ganda— kesalahan mayoritas tidak dianggap ada, sementara bagi minoritas berlaku sebaliknya. Atau keputusan aparat negara berdasar desakan massa, bukan regulasi yang ada. Di titik inilah, negara terlihat gamang mengawal pluralisme.

Sikap negara jelas merugikan pihak minoritas. Pada titik ini, buku setebal 366 halaman ini menemukan relevansinya. Buku ini mendedahkan serangkaian data dan fakta penelitian di lapangan yang membuktikan bahwa kegamangan negara itu nyata-nyata ada.

Karena itu, para peneliti dalam buku ini bukan saja berperan sebagai pemerhati yang menuliskan hasil amatannya. Tetapi, di beberapa daerah, mereka juga mengadvokasi objek penelitiannya untuk mengawal pluralisme. Sebuah usaha yang layak diapresiasi. [Nurun Nisa]











Kamis, 15 November 2007

Rukun atau Dibikin Rukun?

Rabu malam (22/08/07), terdengar pekikan “Allahu Akbar,” di depan Gedung Gracia, Cirebon. Pekikan ini berasal dari puluhan orang yang mengaku mewakili umat Islam. Mereka datang dari kelompok Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI), Forum Umat & Ulama Indonesia (FUUI), dan Gerakan Anti Pemurtadan & Aliran Sesat (GAPAS).

Kedatangan mereka untuk menyerbu gedung itu. Sebab, pengurusnya dianggap melecehkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 01/Ber/MDN-MAG/1969 tanggal 13 September 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

“Kalau gedung itu gereja, kami tidak keberatan. Fungsinya gedung itu untuk umum, tapi disalahgunakan, makanya kami protes dan minta agar peribadatan di sana dihentikan,” kata Andi Mulya, Ketua Laskar FUI Kota Cirebon.

Silang sengketa terus berlangsung hingga Kapolsekta Cirebon Utara Barat, AKP Sukhemi dan Dandenpom III/3 Siliwangi Letkol CPM Agus datang melerai. Mereka kemudian menjembatani pertemuan dengan salah satu pengelola gedung tersebut, Andreas Budi Hartono.

Tapi rupanya ini belum selesai. Pihak korban mengadukan nasibnya ke Fahmina Institute—sebuah lembaga untuk pengembangan wacana agama kritis di Cirebon—karena merasa didiskriminasikan.

“Yang seharusnya berperan dalam masalah ini ya FKUB, bukan Fahmina,” keluh Ali Mursyid.

FKUB Kota Cirebon, menurut aktivis Fahmina Institute ini, justru tak tampak batang hidungnya ketika kasus ini mengemuka.

****


Sesungguhnya keluhan Kang Ali, panggilan akrab Ali Mursyid, ini amat wajar. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibangun dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan mestinya turut berperan dalam kasus ini. Apalagi mereka beroleh tugas khusus untuk mengawal berbagai urusan menyangkut rumah peribadatan.

Semua ini termaktub dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 9/2006 dan No. 8/2006. “FKUB Kabupaten memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat,” jelas pasal 9 ayat 2 Perber itu.

Kekecewaan terhadap FKUB ini kian menumpuk ditambah dengan permasalahan yang sejak semula ada ketika FKUB akan dibentuk; mulai dari sengketa jumlah kursi sampai sosialisasi yang minim.

FKUB Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya. Ia belum terbentuk sampai sekarang. Pihak yang terlibat ribut-ribut merasa perwakilan di FKUB tidak representatif. “Perwakilan FKUB yang dimaksud berbasis pada jumlah umat. Umat yang kuantitasnya lebih banyak akan mendapatkan kursi yang lebih banyak,” jelas Nur Khalik Ridwan.

Rebutan posisi di kalangan intern terjadi di FKUB Kab. Sukabumi. Intern Protestan di sana berseteru karena rebutan jabatan. Salah satu pihak amat ngotot duduk di jabatan itu. “Ini karena jabatan FKUB mendapat alokasi dana khusus dari APBD,” terang Daden Sukendar, Sekretaris FKUB Kabupaten Sukabumi, Rabu (19/09/07).

Di tubuh FKUB Kab. Bekasi malah keanggotaannya di-fait accompli (diputus sendiri, Red.) oleh pihak tertentu. Ketika itu, terdapat surat dari MUI setempat yang berisi usulan siapa menjabat apa dalam kepengurusan FKUB. “Mendadak FKUB terbentuk dengan 17 anggota. Rinciannya, 12 orang dari Islam dan 5 orang masing-masing dari Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu,” jelas Anton Lukito, perwakilan FKUB dari Katolik.

Sosialisasi FKUB minim untuk tataran masyarakat bawah. Padahal, seperti kasus Gedung Gracia, perannya diharapkan maksimal. Faktanya, hanya elit saja yang lebih banyak tahu soal keberadaan FKUB ini.

FKUB Propinsi Kalimantan Selatan, misalnya, nampak elitis. Sosialisasinya terbatas. “Kalangan masyarakat dan lembaga swadaya tidak begitu jelas (mengerti, Red.) dengan kiprah lembaga ini,” ujar Ghazali Rahman dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin (27/09/07).

Tak jauh beda dengan mereka adalah FKUB Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). “Di kalangan elit semua agama, FKUB di sini cukup tersosialisasi dengan baik. Tapi tidak bagi publik dan grass-root,” ungkap Jumarim dari Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (YPKM) Mataram (25/09/07).

****

Permasalahan yang menumpuk ini akhirnya berimbas pada praktek FKUB di lapangan. Misalnya, perihal mekanisme pengambilan keputusan dalam soal ditutup atau tidaknya rumah ibadat yang melenceng dari ketentuan asal.

“Sistemnya memakai voting. Jelas, kelompok mayoritas selalu menang,” terang Firman Eddy Kristiyono, pegiat Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB), tentang FKUB di Kotamadya Bekasi.

Padahal, Perber sudah menggariskan secara khusus mengenai hal ini. “Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat,” demikian bunyi Pasal 21 (1) Perber itu.

Ini dilanjutkan dengan kekacauan baru di mana prosedurnya berlangsung kilat. Hari ini surat masuk, besok sudah keluar izin untuk menutup sebuah rumah ibadat.

FKUB daerah sebelahnya, memiliki problem sama namun diselesaikan dengan cara berbeda. Ketika sebuah gereja di Lembang Sari, Tambun diperselisihkan, FKUB Kab. Bekasi tidak bisa berbuat apa-apa. Penyelesaiannya justru diserahkan kepada Pemda. Ini karena FKUB bersangkutan memiliki cara pandang yang berbeda dengan FKUB Kotamadya Bekasi.

“FKUB berpendapat bahwa landasannya adalah Perber pasal 28 ayat 1,” lanjut Anton Lukito.

Pasal tesebut menyatakan bahwa izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Perber ini dinyatakan sah dan tetap berlaku. Tetapi, sampai sekarang, kasusnya justru menggantung.

Menyikapi kasus ini saja, FKUB telihat tak seragam meski berpegang pada satu pedoman. Lalu bagaimana dengan soal yang lain?

Ini belum termasuk kompleksitas tiap daerah yang beragam tensi kehidupan keberagamaannya. Tetapi, oleh pemerintah dipaksakan ada FKUB dengan manajerial yang sama.

Keberagamaan dan FKUB NTB misalnya baik-baik saja. “Sejauh ini adem ayem,” jelas Jumarim. Sukabumi mengalami keadaan serupa. “Suasananya kondusif. Beberapa waktu yang lalu kami (sukses) mengadakan kemah keagamaan untuk kerukunan umat beragama. Pesertanya 100 orang dari berbagai kalangan agama,” tutur Daden bangga.

Daden sendiri ragu dengan kondisi daerah lain. “Di acara Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Departemen Dalam Negeri (Kesbanglinmas Depdagri) Jawa Barat, ternyata FKUB di tempat lain itu didominasi oleh kalangan Islam fundamentalis. Jadi rusuh,” imbuh Daden.

Yang ditakutkan Daden, keberadaan mereka akan berdampak pada disharmonisasi umat beragama di masa mendatang.

Ketakutan Daden ini sudah disinyalir oleh Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The WAHID Institute. “FKUB rawan diselewengkan dan disusupi kepentingan politik lainnya, seperti elit politik lokal maupun elit agama tertentu yang ada di daerah,” jelasnya (24/07/07). Jika terjadi, di mata pegiat jaringan advokasi kerukunan umat beragama ini, FKUB berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap umat beragama dari kelompok tertentu.

****


Dengan semua lika-liku di atas, FKUB sebenarnya dapat dipertanyakan perannya dalam konteks perukunan umat beragama.

“Tugas FKUB sebenarnya bisa dijalankan oleh masyarakat karena mereka sudah dewasa. Sudah bisa rukun sendiri,” tandas Daden.

Tugas pertama FKUB seperti termuat dalam Perber pasal 9 berupa melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menurut Daden, sudah dilakukan elemen masyarakat sejak dulu kala—jauh sebelum FKUB ada. Tugas yang lainnya seperti sosialiasi peraturan dan penyalur aspirasi masyarakat semestinya dilakukan oleh anggota badan perwakilan rakyat.

Tugas yang sudah dilakukan oleh masyarakat ini antara lain dijalankan oleh forum kerukunan swadaya masyarakat sendiri. Bukan forum resmi seperti FKUB. Namun, sifatnya partikelir alias non-pemerintah sehingga lebih cair sekaligus tidak birokratis.

Dalam hal ini, kita bisa menyaksikan kiprah Forum Sabtuan (FORSAB) Cirebon. “Forum lintas agama ini berdiri sejak 26 Desember 2006,” jelas KH. Husein Muhammad, salah satu pengurusnya yang juga pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon.

Mereka rutin membicarakan berbagai hal demi meretas kejumudan dialog antar-agama secara bergiliran di rumah anggotanya, markas Fahmina Institute atau sesekali di hotel. Acaranya sepekan sekali.

Juga Forum Gedangan di Salatiga. Forum yang berdiri sejak 22 Februari 1998 ini dimotori oleh KH. Mahfudz Ridwan dan beranggotakan warga dari berbagai agama dan etnis. Tidak hanya kegiatan antar agama yang dilakukan, tetapi juga kegiatan kemanusiaan. Antara lain pemberian bantuan kepada korban gempa Yogyakarta.

Ada lagi Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jaka Tarub) di Bandung. Lembaga yang dikomandoi Dindin Abdullah Ghazali ini secara mandiri (pernah) menerbitkan majalah Bianglala secara berkala. Isinya info dan advokasi seputar pluralisme. Pengurusnya pun kerap menggelar acara yang melibatkan dengan peserta lintas agama. Misalnya saja diskusi bersama soal puasa ditinjau dari perspektif berbagai agama.

Selain kedewasaan masyarakat tersebut, ada soal lain yang perlu diberi perhatian. Bahwa masyarakat kita ini sebenarnya baik-baik saja dan damai tanpa keberadaaan FKUB. Kisruh ada di tingkatan elit saja.

“Masyarakat di bawah itu baik-baik saja. Tak ada kisruh soal rumah ibadah,” tutur Anton Lukito menyitir hasil investigasi lembaganya, FKUB Bekasi, tentang keluhan agar gereja di daerahnya ditutup. Penghembus isu dalam kasus tersebut ternyata para golongan elit agama. Sementara masyarakat di daerahnya tak meributkan apa-apa.

Yang buruk, misi FKUB dalam beberapa kondisi malah kontra-produktif. Masyarakat menjadi kurang harmonis seiring gencarnya penutupan rumah ibadah. “Intensitas penutupan rumah ibadah meninggi pasca terbentuknya FKUB,” tutur Firman Eddy Kristiyono.

****


Toh demikian, FKUB sudah eksis. Tetapi bagaimana reaksi masyarakat sendiri?

FKUB tidak lain dan tidak bukan adalah campur tangan negara atas pemerintah atas proyek bersama bernama kerukunan antar umat beragama. Betapa tidak, lembaga kerukunan ini memiliki payung hukum tersendiri, mempunyai kewajiban yang sangat rigid, dan dibiayai alokasi dana khusus melalui APBD. Bahkan ada dewan penasehat yang terdiri dari unsur pemerintah daerah dan Departemen Agama di wilayah bersangkutan.

Sesungguhnya keinginan negara untuk memproteksi umat beragama adalah wajar sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Termasuk membikin lembaga semacam FKUB. Namun, tidak jarang hal ini dilakukan dalam kadar berlebihan.

"Kebutuhan akan stabilitas dan tanggung jawab sebagai pemerintah, membuat pemerintah sering ikut campur dalam urusan intern agama(-agama) ini," jelas Hairus Salim HS dalam tulisannya yang berjudul Kebijakan Agama Masa Orde Lama dan Orde Baru (2004).

Ironisnya, hemat aktivis Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yoygakarta ini, keikutsertaan pemerintah dalam pengaturan hubungan antar agama itu sendiri tak jarang justru memperkeruh hubungan antar-agama itu sendiri. Ini terbukti dalam kasus di Cirebon dan Bekasi.

Campur tangan ini bisa jadi dianggap sebagai perlindungan atas mayoritas di mana mereka dijaga kepentingannya dalam kasus perizinan rumah ibadah. Sebaliknya, bagi minoritas, prosedur demikian ibarat bencana, Beribadah mirip dengan bepergian ke luar negeri sebab banyaknya dokumen yang harus diurus.

Dokumen yang dimaksud adalah Izin Prinsip Pendirian Rumah Ibadat (IPPRI) dan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat (IMBRI) yang diterbitkan Bupati/Wali Kota. IPPRI dan IMBRI bisa keluar berdasar rekomendasi FKUB tingkat kelurahan/desa yang disahkan kepala desa, rekomendasi FKUB kecamatan yang telah disahkan camat, rekomendasi FKUB kabupaten/kota, rekomendasi Kepala Kantor Depag kabupaten/kota. Dan, daftar nama dan alamat kepala keluarga sesuai KTP setempat yang akan menjadi jemaat rumah sebanyak 90 orang.

Apa yang akan terjadi? "Akan ada birokratisasi agama dan tempat ibadat," tandas Rumadi dalam artikelnya yang bertajuk Birokratisasi Tempat Ibadah (2005).

Peneliti The WAHID Institute ini mendasarkan pendapatnya pada FKUB yang sangat struktural dan bentuk kepengurusannya yang amat hierarkis.

Di sinilah, negara dengan diam-diam sebenarnya sedang menunjukkan kekuasaannya. "Kebijakan khususnya menyangkut hubungan antar-agama(-agama) dan negara, antar-agama-agama, dan antar-internal suatu agama itu telah menjadi bahasa dan kekuasaan," terang Anas Saidi dalam tulisannya yang bertitel Agama sebagai Variabel Sosial; Sebuah Pengantar (2005).

Peneliti LIPI ini juga menyebut kebijakan yang demikian sebagai "teknologi politik" pengaturan dan pengontrolan terhadap masyarakat.

Dengan realitas begini, apakah masyarakat mau menerima kembali kontrol negara melalui FKUB seperti zaman Orde Baru dulu? Atau FKUB hendak disiasati agar sesuai dengan tuntutan Orde Reformasi sekarang ini?

****


FKUB bisa saja dipermak atawa disiasati dalam aras tertentu agar tidak terlalu terkooptasi oleh kepentingan negara. Sehingga, keberadaannya bermanfaat untuk publik. Misalnya saja dalam soal keanggotaan, pembiayaan, dan minimalisasi eksploitasi pemerintah.

“Teman-teman pegiat pluralisme mestinya ikut masuk lembaga ini supaya FKUB tidak menjadi forum kaum fundamentalis,” usul Daden.

Yang lain menganggap bahwa alokasi dana untuk FKUB sedikit demi sedikit dikurangi setelah misinya untuk mendewasakan masyarakat dalam soal kerukunan terpenuhi.

“Nantinya dana ini bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan untuk rakyat,” tutur Ridlwan Nasir, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya kepada The WAHID Institute (03/10/07).

Ia mendasarkan opininya pada lembaganya telah berpengalaman bekerja sama dengan FKUB Propinsi Jawa Timur menggelar pendidikan kerukunan untuk masyarakat dari berbagai karesidenan di sana.

Atau pendapat dari salah satu penyusun draft Perber, Ridwan Lubis. “FKUB ini tidak boleh dieksploitasi oleh pemerintah. Garansinya, mereka yang akan diangkat menjadi pengurus FKUB direkomendasikan oleh majelis agama masing-masing,” tandas mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depag ini kepada The WAHID Institute (05/10/07

****

Akhirnya, FKUB tidak mungkin dibubarkan. Konstitusi mengharuskan demikian. Tetapi, menerima FKUB yang resmi dan menampik forum sejenis yang tak resmi juga bukan sebuah keharusan.

Masyarakat cuma wajib rukun dengan sesamanya, baik kepada mereka yang berlainan agama maupun yang seagama. Tak perlu dibikin rukun, bukan? Wallahu A’lam.

Gus Dur: Idola (Baru) Remaja

Judul Buku : Gus Dur…Asyik Gitu Loh

Penulis : Maia Rosyida

Penerbit : The WAHID Institute

Tahun Terbit : 2007

Jumlah Halaman : 98 hlm

Oleh: Nurun Nisa'


Keliru besar kalau Anda menyangka bahwa Gus Dur cuma pujaan khusus kalangan dewasa dan orang-orang politik saja. Mau bukti? Buku bertitel Gus Dur…Asyik Gitu Loh akan membalikkan anggapan Anda selama ini.

Gus Dur Asyik

Buku karya Maia Rasyida, siswi Sekolah Menengah Universal (SMU) Qaryah Thayyibah, ini membingkai kekaguman remaja terhadap sosok Gus Dur dengan bahasa khas anak gaul sekarang. Namun isinya tetap bernas.

Ini dapat dicermati dari lembar-lembar tulisannya. Di awal, misalnya, kita bisa melihatnya dengan baik dalam soal penggambaran fisik Gus Dur.

“Gus Dur itu ganteng? Setuju banget. Tepatnya, good looking abis. Rasanya nggak perlu lagi sibuk hunting cowok muda yang segar dan punya perut six pack. Gus Dur (memang) jika dilihat dari struktur wajah mungkin masih boleh dibilang kalah jauh sama Brad Pitt atau aktor siapalah itu yang bisa bikin cewek-cewek yang ngelihat langsung teriak histeris. Diliat dari postur badan juga boleh dikatakan Gus Dur masih jauh dari sempurna….Tapi kenapa kita bisa lebih betah mandangin wajah Gus Dur daripada para icon cover boy yang banyak nampang di majalah remaja itu?” (hlm. 11)

Dara kelahiran 1987 ini punya jawabnya. Gus Dur enak dipandang sebab beliau memiliki segudang kharismatik dan inner beauty luar biasa. Tak lain ia adalah seorang intelektual yang menata hidupnya dengan akhlak dan selalu disirami dengan ilmu. Waktu SD saja Gus Dur sudah akrab dengan karya-karya Karl Marx, catatan-catatan pemikir Marxisme, dan berbagai macam buku filsafat.

Kita dapat pula membaca komentar Maia terhadap pembelaan Gus Dur atas goyangan Inul yang kontroversial itu.

“Sikap Gus Dur membela Inul dari kecaman orang-orang yang mengaku Islam adalah cerminan sikap Rasulullah. Rasulullah gak perlu pake kekerasan ketika mendidik umatnya yang masih belum tau. Karna Gus Dur tau betul Inul itu belum begitu tau agama, maka dia mengayominya dengan cara yang kalem. Menunjukkan begitulah Islam. Mengajak berpikir, tak boleh keras, dan sangat menghormati perbedaan pemikiran,” (hlm. 39).

Sikap bijak Maia ini, bagi penulis, melebihi kadar usianya. Bahkan melampaui penentang Inul, yang sebagiannya, terang benderang tidak menunjukkan kematangan usia mereka dalam merespon isu yang sama. Mereka tak mampu menyampaikan perbedaan pendapat dengan santun. Cuma berani unjuk kekuatan saja layaknya preman (berjubah).

Lain lagi soal korupsi. Maia prihatin betul dengan korupsi dan pengadilan yang tak kunjung unjuk gigi. Maia salut dengan gaya Gus Dur yang potong kompas demi mengamputasi budaya korupsi secara radikal.

“Korupsi udah nggak mau tau tempat lagi. Ini mungkin satu hal yang yang menyebabkan negeri ini menjadi hopeless untuk bisa bersih...pengadilan juga udah banyak yang punya dwifungsi. So..biar pengadilan jadi layak disebut adil dan terpercaya, kira-kira gimana yah caranya? Nggak ada harapan banget nih. Kuncinya emang pemimpin mesti tegas dan bersih. Berani dan tanggung jawab dunia wal akherat. Kaya’ Gus Dur ajalah. Santai gitu. Tinggal pecat sana pecat sini. Asyik tuh. Nggak bertele-tele dan habis. Meski beresiko tinggi, ya emang begitu kan resikonya jadi orang jadi orang nomor satu? Begitu kan resikonya seorang pembela kebenaran?” (h. 52).

Mendengar ini, para politikus, aparat penegak hukum, dan tentu saja para koruptor itu sendiri selayaknya merenung. Atau malah malu. Sebab, remaja yang masih bau kencur saja tahu dan bisa memilih yang terbaik; bahwa kebenaran dan kebersihan mestilah dijadikan pegangan hidup seperti dipraktikkan Gus Dur. Bukan berlindung di balik kebohongan atau justru menggadaikan diri dengan kekuasaan. Padahal, mereka tahu perkara ini lebih dalam dan lebih banyak ketimbang seorang remaja seumuran Maia. Tapi mereka tak mau melakukannya.

Buku setebal 98 hlm ini layak baca untuk semua kalangan. Diksinya renyah—namun tak sampai jatuh pada kegenitan remaja yang kadangkala membikin tulisan menjadi barisan kosakata prokem yang tak ada isi sama sekali.

Meski begitu, ia tetaplah buku bergizi tinggi. Ini dapat dilihat dari rujukan pendapat Maia; mulai dari puisi-puisi Gus Mus, cerita-cerita Abu Nawas, Sirah Nabawiyah sampai kaidah-kaidah fiqhiyyah yang lumayan rumit.

Buku ini gue banget buat para teman remaja. Para orang tua tidak perlu khawatir membaca buku ini. Dijamin tidak akan merasa digurui. Justru mereka dijadikan teman bicara yang setara. Wallahu A’lam.



Rabu, 14 November 2007

Puisi untuk Umat 'Tersesat'

Tuhan, Engkau tahu, di negeri kami sedang berlangsung gonjang-ganjing hebat

Tentang mereka yang dianggap tersesat

Mereka ditindak, dikejar, dan disuruh taubat

Mereka mau dibabat

Jiwa dan harta mereka terancam

Hak asasi mereka sebagai manusia dan warga negara dilecehkan

Tuhan, aku akan bertanya kepada-Mu

Bukankah Engkau telah berfirman; sungguh telah kami mulyakan anak cucu Adam Apakah mereka yang dianggap tersesat itu termasuk anak cucu Adam yang Engkau mulyakan?

Tuhan, aku tanyakan hal ini kepada-Mu

Karena ada di antara makhluk-Mu yang bertindak seolah-olah mereka telah memperoleh mandat dari-Mu untuk membersihkan bumi dari orang-orang yang mereka anggap tersesat

Tuhan, Engkau adalah penguasa di atas segala penguasa

Engkau adalah raja di atas segala raja

Engkau adalah pencipta langit dan bumi

Engkau berkuasa atas segala sesuatu

Kalau bumi ini hanya boleh dihuni oleh mereka yang tidak sesat

Mengapa Engkau diam saja karena Engkau biarkan orang-orang yang lain itu tersesat

Kenapa Engaku biarkan ada orang-orang yang mengaku-ngaku menerima wahyu-Mu

Kenapa tidak Engkau perintahkan kepada malaikat maut menghabisi mereka

Kenapa tidak Engkau hentikan jantung mereka yang berdetak hingga mati serentak

Kenapa tidak Engkau mandulkan saja istri-istri mereka sehingga kaum tersesat tidak beranak pinak

Atau Engkau impotenkan laki-laki mereka sehingga tidak ada lagi keturunan mereka

Akhirnya aku bertanya kepada-Mu

Manakah yang lebih sesat

Mereka yang merasa mendapat wahyu-Mu ataukah mereka yang bertindak seolah-olah mendapat mandat dari

PS. Ini ungkapan hati dari seorang Djohan Effendi sebagai solidaritasnya atas derita teman-teman yang disesatkan sekelompok orang sebab pilihan keyakinannya yang di luar jalur main-stream. Puisi ini merupakan transkrip rekaman dari seorang kawan yang hadir di acara Halal Bi Halal Lintas Iman di UPM, 09 Nov 07. Hasilnya, sesuai dengan kadar pendengarannya, he2. Karena itulah, kekurangan (tulisan atau pelafadzan) yang ada mohon dimaklumi. Kalau mau, silakan konfirm langsung ke Pak Djohan sendiri..Oc?

Sabtu, 06 Oktober 2007

Doa dan Pidato Berbahasa Arab

Pada sebuah acara ifthar gathering (buka bersama) di sebuah masjid di tanah Paman Sam, saya dan istri saya terpisah tempat duduk akibat membludaknya jamaah yang hadir. Saya berada di dalam masjid sedangkan istri saya di luar masjid bersama ibu-ibu lain dari Indonesia.

Seorang pengurus masjid yang berasal dari Arab Saudi memberikan sambutan. Maklum karena kebanyakan yang hadir dari negara-negara Arab sana ya...sambutan awalnya dengan bahasa Arab. Kebetulan saya duduk berdekatan dengan jendela masjid sehingga saya masih bisa melihat istri saya dan teman-temannya yang berkumpul sendiri.

Ketika sambutan pengurus masjid itu disampaikan, saya melihat mereka kok menengadahkan tangan dengan gerakan mimik mulut bersuara amin. Rupaya pidato pengurus amsjid tadi didengar oleh mereka seperti doa, maklum kebanyakan ibu-ibu dari Indonesia yang hadir itu kebetulan tak paham bahasa Arab.

"Sorry.....ya," kata saya kepada istri dan rombongannya pada saat ifthar tiba, "yang tadi itu sebenarnya bukan doa tapi pidato."

Begitu menyadari apa yang mereka lakukan, kontan mereka tertawa juga.

"Wah, kita dibohongi orang Arab," sahut salah seorang ibu.

Sumber; 100 Anekdot Ubudiyah, Sukendra Martha, Yogyakarta: LKiS, 2005

Jumat, 28 September 2007

Something about Nothing

Apa yang kita anggap penting dan patut diperjuangkan hari ini sangat mungkin tidak bermakna apapun di masa mendatang. Artinya, hari ini ia berharga, tapi besok seterusnya tak bernilai. Dengan beginilah, kita mulai berpikir panjang. Tak main-main. Tidak latah. Tidak lapar mata.

Waktu akan mendewasakan kita. Pengalaman akan membikin kita semakin matang. Demikianlah, kita akhirnya dapat menjadi yang bertanggung jawab, yang tidak emosional, dan tentu yang sanggup menanggung resiko terhadap apapun yang sudah kita pilih.

Dengan begini, hidup jadi bermakna. Tak ada kata rugi. Dan tidak boleh ada air mata.

Tapi, bukan berarti hidup mesti disikapi dengan amat sangat serius. Kita nikmati saja dengan rileks dan biarkan ia mengalir tanpa rekayasa.

Slow down, baby. Take it easy. Just let it flow.

Setelah semua kedukaan itu datang...
Matraman, 28 September 2007
15.36 WIB

Senin, 24 September 2007

Pilkada Bermasalah, Siapa Salah?

Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Alun-alun Tuban, Rabu (2/5/2006), menjadi momen penting warga Tuban. Saat itu adalah kali pertama bupati terpilih periode 2006-2011, Haeny Relawati, muncul pasca kerusuhan. Sayang, ketika diserbu wartawan, ia tak sudi menjawab pertanyaan seputar kemenangannya pada Pilkada 27 April 2006 yang memakan banyak korban.

Ketika dikejar, Haeny bergegas masuk ke Jaguar warna merah hati dengan Nomor Polisi S 1 HA. Sebelumnya, pelat nomor itu biasa terpasang di mobil dinas Bupati Tuban, Nissan Terrano, yang habis dibakar massa di parkiran Pendopo "Krido Manunggal", Sabtu (29/4/2006).

Selain mobil dinas, mereka yang tidak puas atas kemenangan calon Partai Golkar ini juga merusak sejumlah mobil mewah yang berada di rumah dinasnya. Antara lain, Range Rover bernopol B 8038 FZ, Toyota Alphard G bernopol L 2560 HP, dan VW Caravelle bernopol H 7439. Sebelumnya, mereka juga meluruk kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tuban dan membakar bangunan utama pendopo kabupaten tersebut.

Bakal rumah Haeny di atas lahan empat hektare di Jalan Letda Sucipto pun tak luput dari amuk massa. Begitu juga Hotel Mustika di Jalan Teuku Umar dan gudang PT Sembilan Sembilan milik suaminya, Ali Hasan. Keduanya ludes di tangan massa. Harta Ali lainnya, dua SPBU dan kediaman Haeny di Jalan KH Agus Salim turut jadi sasaran walau tak sampai dibakar.

Biang Kisruh Pilkada

Tak hanya di Tuban, pilkada di beberapa daerah juga meninggalkan masalah. Bentuknya tidak tunggal. Ada yang rusuh. Ada juga yang menempuh jalur hukum. Meski berbeda, pilkada bermasalah memiliki hulu yang sama.

Mulanya, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang dinilai tidak netral. Komisi ini dianggap sering bermain mata dengan para calon. Terutama Bupati yang sedang menjabat sebagaimana terjadi di Sukoharjo, Jawa Tengah. KPUD Sukohardjo bahkan dituntut untuk dibubarkan karena ada indikasi curang guna memenangkan pasangan calon bupati (cabup) Bambang Riyanto-calon wakil bupati (cawabup) Muhammad Thoha. Di antaranya, penggelembungan jumlah pemilih di sejumlah tempat pemungutan suara. Juga mencetak tambahan 10.000 lembar surat suara sehari menjelang pencoblosan.

Begitupun di Tana Toraja seperti dilansir Forum Komunikasi Mahasiwa Toraja (FKMT) Se-Indonesia. “KPUD Toraja tidak pernah mengeluarkan: 1. Daftar Pemilih Sementara (A1), 2. Daftar Pemilih Tambahan (A2) KPUD Tana Toraja justru mengeluarkan daftar pemilih tetap (A3) berulang sampai tiga (3) kali. Hal ini melanggar PP No 6 Tahun 2005 Pasal 16, 19, 20 dan PP No 17 perubahan PP No 6 tahun 2005 tentang Tahap Pelaksanaan Pilkada,” demikian bunyi selebaran yang diterbitkan oleh FKMT dalam Kronologi Kisruh Pilkada Tana Toraja, Kamis (14/7/2005).

Panitia Pengawas (Panwas) pilkada juga bermasalah. Mestinya menjadi wasit pertandingan pilkada, mereka malah ogah memperingatkan atawa memberi kartu merah saat salah satu pemain pilkada ‘melanggar’ pemain yang lain. Kisruh pilkada di Tuban contohnya. Panwas dianggap menutup mata. “Panwas tidak menggubris pelanggaran Pilkada seperti politik uang, dan pemalsuan nominal pemilih, dan masih banyak lagi pola-pola pelanggaran yang secara telanjang disaksikan oleh orang yang paling awam proses pilkada sekalipun,” ungkap peneliti Yayasan Tantular Malang, Paring Waluyo Utomo yang mengamati perkembangan Pilkada Tuban.

Para kandidat juga urun masalah. Mereka sering tidak siap kalah. Alih-alih menerima hasil pilkada dengan legowo, ketidakdewasaan mereka justru membuat pilkada berdarah-darah. Di Kaur misalnya. Calon bupati kalah ditengarai menggerakkan massa untuk menolak pasangan bupati baru, Saukani Saleh-Warman Suardi. Massa yang marah melakukan perusakan. Polisi pun bertindak. Yusirwan Wanie dan Sahlan Sirad, cabup dan cawabup yang kalah, ditetapkan sebagai tersangka dalam pilkada daerah yang merupakan pemekaran wilayah Bengkulu itu.

Harus diakui, para kandidat Pilkada banyak yang kurang matang dalam menghadapi event lima tahunan itu. “Kekurangmatangan (para kandidat, red.) banyak terjadi di pilkada-pilkada kita. Karena tidak puas dengan hasil-hasil dan sudah kadung terlalu rugi, terus kalah, mulailah mengancam, mendorong, ngompor-ngomporin sehingga jadi keributan. Saya melihatnya di kasus Tuban, Kaur dan Sulsel”, ungkap Direktur Eksekutif CETRO Hadar Navis Gumay.

Partai politik yang menjadi kendaraan juga tak berkutik. Mereka tidak mendidik massa untuk cerdas politik. “Apa yang mereka lakukan? Cuma kampanye. Mereka mengatakan yang terbenar. Hanya itu. Belum sampai melakukan pendidikan politik yang murni,” gugat Hadar.

Insiden di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, bulan Mei 2005 dapat dijadikan pelajaran berharga atas hal ini. KPUD Manggarai menolak pendaftaran calon dari PDI-P karena batas waktu pendaftaran calon bupati sudah lewat. Karena tidak puas, pengurus partai berlambang banteng gemuk ini pun meminta izin berdemo damai. Tapi, petugas menemukan senjata tajam di tangan sejumlah massa. Bahkan, beberapa di antaranya dalam keadaan mabuk. Di depan Kantor KPUD di Ruteng, ibukota Manggarai, massa PDI-P itu pun bentrok dengan polisi. Akibatnya, empat anggota Polres Manggarai terluka, yakni Kabag Ops, AKP Agus Nggana, Kasat Samapta, Ipda Donce Fernandez, Bripda Yefta Tafoi dan Bripda Kamilus S. Niron.

Selain tiga pihak di atas, Depdagri (Departemen Dalam Negeri) juga bertanggungjawab atas pesta demokrasi tingkat lokal yang tidak berjalan sesuai harapan. Moh. Samsul Arifin, dalam salah satu tulisannya di koran Jawa Barat, menilai Depdagri terkesan sangat ngotot menyelenggarakan pilkada mulai Juni 2005. Seolah-olah mereka dikejar tenggat. “Semakin cepat pilkada dilaksanakan berarti jalannya roda pemerintahan daerah akan lancar dan efektif. Yang digembar-gemborkan Depdagri adalah dari sekitar 181 propinsi dan kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada, mayoritas sudah rampung persiapannya," tegas analis politik pada CBS (Centre for Bureaucracy Studies) Jakarta ini.

Pada posisi ini, Depdagri kurang sensitif dengan daerah-daerah yang memiliki kendala spesifik berdasarkan karakter dan kapasitas tertentu. “Daerah (pemerintah kabupaten dan KPUD) diiming-imingi semacam reward tertentu baik berupa dukungan dan fasilitas, agar sanggup menyelenggarakan pilkada tepat waktu,” ungkap Samsul. Ia menambahkan, situasi tersebut cenderung memunculkan masalah baru. KPUD potensial mengabaikan kondisi batin dan psiko-politik yang mengitari daerah tersebut. Ini amat beresiko terhadap kesuksesan pilkada, apalagi jika dihelat di daerah yang baru saja mengalami pemekaran.

Namun, hal ini dibantah oleh Depdagri. “Daerah pemekaran calon potensial konflik akan menjadi prioritas Depdagri. Mendagri telah meminta gubernur-gubernur menyelesaikan masalah ini," aku Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Progo Nurdjaman.

Potensi konflik ini bertambah parah jika dibumbui dengan intimidasi dalam bentuk isu ras sebagaimana kasus Tuban. Sebelum meletus konflik pasca pilkada, merebak isu rasial untuk mendiskreditkan cawabup Go Tjong Ping, pasangan cabup Noor Nahar Hussein, yang menjadi rival politik pasangan Haeny Relawati-Lilik Soehardjono. “Di kalangan grassroot berhembus isu jangan pilih Cina untuk memimpin Tuban. Atau jangan pilih Cina karena dia tidak dikhitan. Isu ini memang konyol kelihatannya, namun bagi kalangan grassroot, terutama di desa-desa cukup efektif untuk menimbulkan kebencian laten terhadap WNI keturunan Tionghoa,” ungkap Paring W. Utomo.

Isu agama juga mengundang bencana. Di Tasikmalaya dan Muna (Sulawesi Tenggara) muncul fatwa untuk menjegal lawan. "Di sana, ada pemuka agama yang membuat fatwa masuk neraka jika masyarakat memilih pasangan calon tertentu," tutur Lukman Budiman Tadjo, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

Simbol agama juga sering dipakai untuk menyuap. Ketika pilkada sudah dekat, banyak calon kepala daerah berbondong-bondong menyumbang ke mushala serta membagikan jilbab dan kitab Yasin. "Ini terjadi di Asahan, Kendal, dan Jember," ungkap Lukman.

Selain itu, simbol agama bisa menjadi alat penekan kepala daerah yang sedang menjabat, seperti yang terjadi di Banyuwangi. "Jika masa yang memakai simbol agama berhasil menggulingkan kepala daerah, ini akan dipakai di daerah lain," ujar Koordinator JPPR Adung A. Rochman.

Premanisme juga menjadi momok Pilkada sebagaimana terjadi di Bandar Lampung. "Di Kota Bandar Lampung, kepala desa diintimidasi oleh para preman agar mendukung kandidat tertentu", tutur Lukman.

Apalagi money politic. Taktik busuk ini seperti lazim dipakai. "Di Sumenep, Muna, Asahan, Sidoarjo, dan Sukabumi, calon-calon ketahuan membagikan uang kontan Rp 20-50 ribu kepada para pemilih," tambahnya.

Legitimasi Tak Berarti

Pilkada bermasalah ternyata juga disebabkan oleh legitimasi publik. Dalam periode Juni 2005-Mei 2006, mayoritas kepala daerah terpilih mendapat dukungan yang sangat rendah dari masyarakat daerahnya. "Berdasarkan pemantauan kami di 226 pilkada, 153 kepala daerah atau 67,70 persen terpilih dengan mendapatkan suara di bawah 51 persen," papar Adung A. Rochman saat seminar evaluasi satu tahun pilkada di Jakarta, Rabu (28/6/2006). Hal tersebut mengakibatkan legitimasi kepala daerah terpilih kurang kuat.

Keadaan ini secara tidak langsung disebabkan oleh regulasi pilkada itu sendiri. Jika UU Pemilu mengharuskan pasangan capres dan cawapres merebut suara 50% plus satu agar dapat menjadi pemenang, tidak demikian dengan pilkada. Pemenang cukup memiliki suara 25 % plus satu seperti termaktub dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 95 ayat (2) PP No. 6 Tahun 2005. Juga tidak diharuskannya pilkada putaran kedua, seperti halnya pemilihan presiden.

Kenapa? Alasannya sangat pragmatis; demi efisiensi pendanaan. Ini sebagaimana diungkapkan Hadar N. Gumay, saat dia mengajukan RUU Pemerintahan Daerah. “Kami pernah mengusulkan kepada DPR, dengan agak mengalah, sebanyak 40%. Sekurang-kurangnya 40%. Tapi kalau kurang dari itu, harus ke putaran dua. Tetapi di UU No. 32 ini ‘kan hanya 25% plus satu? Itu kecil sekali.” Hadar melanjutkan, “Waktu itu mereka (DPR, red.) bilang; 'Wah, nanti, biayanya terlalu tinggi kalau sampai putaran kedua”.

Tawaran Alternatif

Lalu bagaimana mengatasi pilkada bermasalah ini? Ada bebarapa tawaran alternatif yang patut disimak. Pertama, soal teknis. Mau tidak mau, UU No.32 mesti direvisi terutama menyangkut pemisahan rezim pemerintahan dan rezim pemilu. Yang berlaku selama ini, urusan pilkada adalah urusan berdua; KPUD dan Pemda. Depdagri bahkan membentuk badan bernama desk pilkada untuk urusan ini. Bukannya efektif, keduanya seringkali malah tumpang tindih.

Kedua, menyangkut problem non teknis. Ini terkait dengan kepuasan rakyat atas kandidat terpilih, dapat diperkenalkan sistem baru. Bentuknya, menurut Hadar, adalah direct democracy yang sebenarnya, di mana rakyat memiliki hak inisiatif untuk mengajukan keberatan kepala daerah terpilih. Dengan kata lain, bila sang kepala daerah tak cakap memimpin, ia dapat diturunkan (di-recall) tanpa menunggu masa jabatannya khatam lima tahun. Tentu, setelah diadakan referendum atau semacam jajak pendapat terlebih dahulu dengan memakai prosedur tertentu.

Kini, usulan di atas menunggu diperjuangkan. Bila tidak, perbaikan yang dijanjikan pilkada langsung jangan harap menjadi kenyataan. Wallahu A’lam. (Nurun Nisa’ dkk)

Seulawah, Syari’ah, dan Serambi Mekkah

“Saya meminta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”


“Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fi sabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam peperangan itu maka berarti mati syahid”.


Demikianlah, dialog mesra antara mantan Presiden Soekarno dan Tgk. Muhammad Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin kharismatis Aceh enam dasawarsa yang lalu. Sang Datuk bersama Tgk. H. Djakfar Lamjabat, Tgk. H. Muhammad Krueng Kalee, dan Tgk. H. Ahmad Hasballah Indra Puri kemudian mengeluarkan fatwa khusus. “Bagi kaum muslimin yang berperang mempertahankan cita-cita proklamasi, kalau meninggal dunia dalam perang itu akan mendapat pahala syahid” demikian seruan tertanggal 7 Oktober 1945 itu. Sontak, rakyat Aceh mengumpulkan sumbangan dan dibelilah pesawat jenis Dakota DC-3 yang disebut ‘Dakota R1-001 Seulawah’. Sengaja diimbuhi ‘Seulawah’, artinya gunung emas, karena memang dibeli dengan bantuan setara 20 kg emas.


Tapi hubungan yang sangat baik ini kemudian bubar di bulan September 1953. Daud Beureuh memilih memisahkan diri karena sang Presiden ingkar janji dan bergabung dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo. Soekarno tak mau menegakkan Syari’at Islam (SI) di Bumi Rencong seperti dijanjikannya dulu. Setelah itu, terus menerus Aceh bergolak. Klimaksnya adalah deklarasi Geurakan Acheh Merdeka (GAM) di tahun 1976 yang berusaha ‘ditertibkan’ melalui kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM). Aceh menjadi berdarah-darah.


Namun, damai akhirnya bersemayam di sana. Melalui penandatanganan MoU Helsinki (15/08/05) antara GAM dan RI dicapai kata sepakat; tidak ada lagi konfrontasi. Tidak ada lagi ‘konflik’ antar keduanya. Tapi ternyata timbul konflik baru. Konfliknya kini terjadi antar masyarakat lokal Aceh sendiri. Seperti termaktub dalam laporan World Bank Desember 2006, konflik tersebut berubah dari vertikal menjadi horizontal. Masyarakat lebih banyak ribut soal tanah, sumber daya alam, dan bantuan tsunami. Juga soal kekerasan milisi. Ini antara lain ditandai dengan angka kriminalitas, dilansir Media Indonesia (09/08/06), di beberapa daerah yang meningkat.


Dengan keadaan yang demikian, Aceh terlihat tak stabil untuk sebuah perubahan. Termasuk proses politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada). Tapi situasi di bulan Desember rupanya lain. Aceh aman dan damai dalam pilkada pertamanya. Semua pihak bersyukur termasuk si pemenang; Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (IRNA).


****


Demikianlah, GAM harus bubar karena ide-idenya yang separatis. "Kami bangsa Acheh Sumatra, telah melaksanakan hak-hak kami untuk menentukan nasib sendiri, dan melaksanakan tugas kami untuk melindungi hak suci kami atas tanah pusaka peninggalan nenek moyang, dengan ini menyatakan diri kami dan negeri kami bebas dan merdeka dari penguasaan dan penjajahan regime asing Jawa di Jakarta, " tulis Tengku Hasan Muhammad Di Tiro, pendiri GAM, mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada tanggal 04 Desember 1976.

Sekedar pengingat, petinggi GAM memang pernah berujar akan membubarkan organisasi ini. “GAM akan membubarkan diri dan berjuang lewat jalur politik,” jelas Zaini Abdullah, Menteri Luar Negeri GAM (28/04/06). Namun beberapa bulan kemudian, Perdana Menteri GAM justru berkata sebaliknya. Malik Mahmud menanggapi dengan sinis surat Pieter Feith yang berisi permintaan pembubaran GAM. Itu out of proportion dan premature,” sergahnya (28/10/06). Permintaan ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), menurut Tjipta Lesmana (Mengapa GAM Tidak Mau Membubarkan Diri, Suara Pembaruan, 19/12/06) itu ditampik karena beberapa alasan.

Pertama
, masalah trust building. Cerita represif dari aparat dan ketidakadilan pemerintah RI di Aceh telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan mereka. Kedua, emotional reality. GAM, menurut Malik, telah mengorbankan aspirasi mereka untuk merdeka. Rasanya tidak adil untuk membubarkan GAM sementara kemerdekaan mereka sudah dikorbankan. Ketiga, masalah pembentukan partai lokal.

Pembubaran GAM tidak secara literal dicantumkan dalam MoU Helsinki. Sementara pendirian partai lokal sudah ditegaskan dalam nota kesepahaman tersebut. Kalau partai lokal (yang eksplisit) belum diwujudkan, mengapa GAM (yang implisit) harus ditiadakan?


Ungkapan-ungkapan petinggi GAM di atas cukup mengkhawatirkan. Ini belum termasuk posisi Irwandi Yusuf yang strategis dalam institusi GAM. Ia adalah ahli propaganda, juru runding HAM sekaligus orang penting GAM di Komisi Peralihan Aceh (KPA).


Di sisi lain, hasrat pemerintah Aceh melegalisasi Syariat Islam (SI) tak kalah mengkhawatirkan. Beberapa institusi yang akan mengurus keberlangsungan SI. Yakni, Mahkamah Syari’ah (MS), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Wilayatul Hisbah (WH), Dinas Syari’ah, dan Dewan Syari’ah telah dilegalkan. Tiga institusi pertama semakin kuat posisinya karena termaktub dalam UU No. 11 Th. 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). MS masuk dalam pasal 128, MPU dalam pasal 138, dan WH disahkan di pasal 244.

Di tingkatan praktis, positivisasi SI tak kurang taji. Ia sudah memakan banyak korban, utamanya perempuan. Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa selama tahun 2005, tercatat 46 kasus. Tujuh puluh persennya (32 kasus), perempuan menjadi terdakwa dan terhukum. Ini berarti bahwa secara de facto, sasaran utama dalam praktik penerapan syariat Islam di NAD. Belum lagi soal perebutan ‘lahan’, mengutip laporan Crisis Group medio 2006, antara polisi syari’at dan polisi (nasional).

Dengan dua kecenderungan ini, kemana pendulum politik Aceh akan bergerak?

****

Self-governance atau otonomi Aceh nampaknya akan menuju jalan tengah. Latar belakang gubernur terpilih tentu amat menentukan. Di sini, prospek SI tidak terlalu moncer. Aktivis GAM, seperti Irwandi, memang dikenal sebagai kumpulan orang-orang yang terbiasa berbicara menyangkut pemisahan diri sebagai negara. SIRA mendorong pilihan itu dengan memberi ruang otonomi. Tetapi dalam soal ideologi, rupanya lain. “Keduanya termasuk sekuler,” jelas Indra J. Piliang dalam artikelnya ‘Otonomi Paham Separatis’ di Majalah Tempo (18-24/12/06).

Sekuler di sini nampaknya dimaksudkan dengan tidak adanya keberpihakan kepada penegakan SI secara jelas. SIRA, dalam situs resminya, tidak pernah menyinggung soal SI. Pun GAM. Pernyataan Acheh-Sumatra Merdeka atau yang lebih familiar sebagai Deklarasi GAM tidak pernah menyebut SI secara vulgar. Hanya ada satu kalimat saja tentang Islam, bukan Syari’ah Islam. “…..Semuanya sebagai Wali Negara dan Panglima Tertinggi yang silih berganti dari negara Islam Acheh Sumatra,” demikian bunyi paragraf kelima deklarasi GAM tersebut. Tetapi yang dimaksud bukanlah Aceh dengan formalisasi SI seperti saat ini. “Mungkin itu konteksnya untuk membedakan diri dengan Indonesia yang penduduknya majemuk secara agama” terang Kemal Fasya (06/02/06).

Ini senada dengan jawaban Tgk. Amni Ahmad Marzuki dan Drs. Amdi Hamdani kepada Marzuki Wahid dan Nurrohman (Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syari’at Islam; Kasus Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2003). “GAM tidak tertarik dengan issue seputar formalisasi SI,” tegas mantan juru runding GAM itu (15/07/02). Menurutnya, dengan nada diplomatis, SI sudah menyatu dengan budaya masyarakat Aceh dan yang ada sekarang adalah “Paket Politik Jakarta”.

Selain itu, formalisasi SI tidak lain adalah aspirasi partai politik nasional yang menang pada pemilu 1999 dan 2004. Ini semu belaka. “Karena pemilu itu diadakan di tengah situasi darurat militer,” tambah peneliti Center for Strategic and International Strategy (CSIS) ini.

Orientasi kepada daerah otonom yang akan memerdekakan diri agaknya masih dini untuk diamati. Sejak kesepakatan damai Helsinki 15 Agustus 2005, GAM memainkan politik sipil, meninggalkan cita-cita “M”, merdeka. “Seluruh ketakutan Jakarta terhadap kami, telah kami tanggalkan” demikian tokoh Munawarlizza Zain. M, merdeka, baginya, tak ada lagi dalam agenda. “Senjata telah kami potong dan tentara telah kami bubarkan,” tambahnya kepada Radio Nederland Wereldomroep (28/12/06). Jadi, tak ada masalah lagi soal itu.

Pendapat senada datang dari pengamat politik Aceh, Kemal Fasya. IRNA akan memfokuskan pemerintahan Aceh pada soal-soal krusial. “Di antaranya, perbaikan ekonomi, pembentukan clean government yang bebas dan transparan,” terang ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA) ini. Pemerintahan yang peduli lingkungan dan HAM juga akan menjadi agenda politik IRNA. “Ini demi menjaga kepercayaan internasional,” tandasnya kepada WI via telepon (18/01/07). Maklum, keberadaan GAM selama ini antara lain berkat dukungan dunia internasional.

Kesan ini makin kuat dengan adanya ‘kunjungan’ Irwandi ke Jakarta. Ia bersama ketua tim suksesnya, mantan Panglima Wilayah GAM, Sofyan Dawood, bertemu salah satu bos Golkar yang juga taipan media asal Aceh, Surya Paloh. “Kami ingin dengar pendapat Bang Surya,” Irwandi berkelit. Seperti dirilis radio tersebut pula, gaya faksi GAM Irwandi dianggap pragmatis. Senada dengan hal tersebut adalah pendapat Sidney Jones, peneliti dari International Crisis Group (ICG). “Saya yakin Irwandi akan pargmatis,” tandasnya.

****

Kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan penduduk yang rendah harus menjadi agenda utama pemerintahan IRNA. Apalagi, seperti dilansir Kompas, Aceh adalah provinsi termiskin keempat sebelum tsunami. Angka kemiskinannya mencapai 28,5%. Jumlah ini diperkirakan meningkat hingga 7 % pasca tsunami sehingga menempatkan Aceh sebagai daerah termiskin kedua di Indonesia, setelah Papua. Ini antara lain karena maraknya korupsi. Kiranya tak berlebihan jika Azhari berharap soal tersebut. “Saya berharap Irwandi-Nazar membersihkan birokrasi di Pemda Aceh sebagai sarang korupsi,” tutur pegiat Komunitas Tikar Pandan ini.

Tak kalah penting adalah merawat perdamaian yang telah disemai dengan susah payah—bahkan dengan air mata dan darah. “Bagi pemimpin yang terpilih pada Pilkada nanti harus bisa menjalankan dan menjaga kedamaian di Aceh seperti yang sudah dirasakan sebelumnya, tanpa adanya lagi kekerasan dan konflik yang berkepanjangan pasca penanda-tanganan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), sehingga masyarakat dapat hidup aman dan damai di Aceh,” demikian salah satu rekomendasi workshop yang diselenggarakan WI di Aula Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry itu (07/12/06).

Di atas semua itu, yang paling substansial, justru keterlibatan seluruh komponen Aceh dalam membangun Aceh pasca pilkada dan konflik. Rakyat Aceh mesti dilibatkan oleh pemerintah dalam segala proses menuju masa depan Aceh yang lebih baik. Termasuk dalam soal pembuatan policy, kebijakan. Kebersamaan dan kesatuan keduanya mutlak dijunjung meski dilanda prahara apapan. Sama dengan ‘pesawat’ Seulawah yang tetap kokoh hingga kini meski diterjang tsunami. Wallahu A’lam (Nurun Nisa')

Bersama-sama Menolak Perda

Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Pertanda malam mulai kelam. Tapi, Jalan Otista, Tangerang, masih ramai. Beberapa perempuan terlihat menunggu angkutan di sisi pinggirnya. Termasuk Lilis, pramusaji di sebuah restoran di Cengkareng. Ia tenang saja meski dingin angin makin menusuk. Maklum, begitulah rutinitasnya; pulang larut malam selepas kerjanya rampung.


Tak dinyana, malam itu dirinya menginap di penjara. Sebab, petugas tramtib (ketentraman dan ketertiban, Red.) telah menangkapnya. Tak tanggung-tanggung, ia dituduh sebagai pelacur gara-gara kebiasannya itu. Dasarnya perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005.


Lilis tak terima. Begitu bebas, ia mengajukan gugatan terhadap Walikota Tangerang atas pelaksanaan perda tersebut dengan didampingi pengacaranya. Tetapi ditolak oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Angga yang senasib dengan Lilis juga melakukan hal serupa dengan diwakili ibunya, Tuti Rahmawati. Tuti beserta Hesti Prabowo dan Lilis Mahmudah dengan Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR) mengajukan kasasi ke MA. Nasibnya sama; ditolak.


Penolakan ini tak membikin patah semangat para perempuan Tangerang. Perda boleh jalan terus, tapi perlawanan tak mau surut. “Mereka tetap tidak takut pulang malam,” kata Asfinawati ketika dihubungi The WAHID Institute, Jumat (22/06/07). Mereka, kata Ketua LBH Jakarta yang juga terlibat dalam TAKDIR ini, melakukannya karena keberanian mereka yang kuat. “Kalau bukan PSK, kenapa takut?,” begitu kira-kira argumen mereka.


****


Tak hanya Perda Tangerang yang ditolak kaum perempuan. Perda No. 5 Tahun 2003 yang mewajibkan pemakaian jilbab itu ditampik oleh perempuan Bulukumba, Sulawesi Selatan. “Ibu-ibu PNS hanya memakai jilbab ketika di kantor. Setelah pulang dilepas,” kata Subair, pegiat Lembaga Advokasi dan Pendidikan untuk Anak Rakyat (LAPAR), Makasar kepada WAHID Institute (20/06/07). Padahal, di sana ada kawasan bernama desa Muslim di mana warganya wajib menutup aurat setiap waktu.


Di Padang sama saja. Instruksi Walikota No.451.442/Binsos-III/2005 yang berisi kewajiban berjibab dan anjurannya bagi yang non-Muslim itu justru menimbulkan antipati. Para siswi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) negeri memang mengenakan jilbabnya. Tetapi ada rambut yang dicat di balik penutup kepala itu. “Itu (mengecat rambut, Red.) dilarang keras di sekolah negeri dan diberi sanksi jika dilakukan,” ujar Sudarto, seorang guru yang juga peneliti Pusat Studi Antar-komunitas (PUSAKA,) Padang.


Penolakan ini sesungguhnya amat wajar. Sebab, peraturan tersebut telah mendiskriminasikan perempuan. Padahal, sudah ada peraturan dan kovenan internasional yang merekomendasikan penghapusan diskriminasi tersebut.


“Produk kebijakan tersebut jelas mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (UU Sipol),” terang Musdah Mulia dalam tulisannya yang bertajuk Perda Syari’at dan Peminggiran Perempuan di ICRP On-line (01/08/06).


CEDAW memberikan amanat kepada negara yang meratifikasinya antara lain agar melakukan langkah-tindak yang tepat untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita—termasuk perda diskriminatif yang menimpa perempuan di Tangerang, Bulukumba, dan Padang. “Setiap orang (laki-laki dan perempuan) berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi,” demikian bunyi UU HAM pasal 2. Sementara itu, UU Sipol menggarisbawahi bahwa hak sipil dan politik—termasuk hak sipil dan politik perempuan—tidak boleh dilanggar. Pemberlakuan perda diskriminatif terhadap perempuan jelas-jelas sebuah pelanggaran atas komitmen yang sudah disepakati bersama ini.


Selain itu, peraturan diskriminatif mendatangkan kekerasan bagi perempuan sehingga layak ditolak. Kekerasan psikologis, misalnya, diterima oleh Angga akibat perda usungan Wahidin Halim itu. “Anak saya sempat stress karena khawatir ditangkap sebab pulang malam dari hotel tempatnya bekerja,” tutur Tuti Rahmawati, ibu Angga, Selasa (07/03/06). Gara-gara itu Angga pindah kerja ke Bogor. Bahkan indekos juga di sana.


Kekerasan ekonomi juga muncul akibat peraturan ini. Lilis Lindawati kini hanya di rumah. Sementara, suaminya yang seorang guru dipersulit dalam pekerjaannya—termasuk dalam penerimaan gaji. Padahal, itu sudah haknya. “Itu karena mereka dianggap mempermalukan pejabat pemerintahan Tangerang (karena melakukan gugatan terhadap Walikota Tangerang, Red.),” terang Tuti lagi kepada The WAHID Institute (19/07/07) tentang teman senasib anaknya itu.


Perda jilbab juga mengabaikan hak perempuan untuk memperoleh pelayanan publik sehingga pantas ditolak oleh perempuan. "Tidak melayani kecuali yang berjilbab," demikian bunyi pengumuman di balai desa di Bulukumba. Padahal, pasal 13 perda yang digadang-gadang Pattoboi Pabokori itu menyebutkan, “Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan berdomisili dan atau bekerja dalam wilayah Kabupaten Bulukumba.”


****


Lalu bagaimana jalan keluarnya? Lilis Lindawati, seperti disinggug di atas, memilih melakukan gugatan kepada Walikota Tangerang melalui PN Tangerang. Sementara itu, Tuti Rahmwati dan kawan-kawan melakukan judicial review (permohonan uji materil, Red.) atas perda anti pelacuran Tangerang ke MA bersama tim TAKDIR.


Alasannya, antara lain karena perda tersebut melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 7 Tap MPR No.27 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. “Perda itu juga berpotensi mengkriminalkan korban perdagangan orang dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain,” tulis tim TAKDIR dalam draft gugatannya setebal 38 halaman itu.


Namun, MA ternyata memiliki anggapan yang lain. Hakim Agung Achmad Sukardja, Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar memutuskan bahwa permohonan itu ditolak. “Melihat dari aspek prosedural, proses pembentukan Perda Kota Tangerang telah melalui proses yang cukup lama, semua unsur dilibatkan, dan tidak bertentangan dengan peraturan UU,” ujar Djoko Sarwoko, juru bicara MA, mengutip delik putusan, Jum’at (13/04/07). Perda itu juga dinilai oleh MA telah melalui proses politik sehingga sudah menjadi wewenang eksekutif dan legislatif daerah dan sah untuk diberlakukan di Tangerang.


Akan tetapi tim TAKDIR tidak tinggal diam. “Kami sedang melakukan lobby dengan eksekutif dan departemen-departemen terkait,” jelas Asfinawati kepada The WAHID Institute, Jum’at (22/06/07). Yang dimaksud sebagai pihak eksekutif dan departemen terkait adalah Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Hukum dan HAM.


Sementara itu, Subair tidak memilih jalur legal formal seperti dilakukan oleh Asfinawati dan kawan-kawan dalam melawan perda jilbab. “Proses ini erat kaitannya dengan parlemen sementara masyarakat di sini belum terbiasa melakukan proses-proses itu,” bebernya. Selain itu, protes lewat jalur ini membutuhkan energi yang besar. “Lobi melalui Kaukus 56 (kaukus 56 anggota DPR menolak perda SI, Red.) saja gagal. Bahkan perda SI malah diganti namanya dengan perda anti maksiat saja,” tambahnya setengah kesal. Belum lagi, menurut Subair, soal definisi terhadap istilah ‘pelanggaran terhadap UU di atasnya’ dan ‘wewenang otonomi daerah’ yang membingungkan itu.


“Jalur itu juga berat karena keyakinan agama yang berurat dalam masyarakat Bugis,” tandasnya. Orang Bugis sejak dulu kala terkenal dengan budaya menutup auratnya, termasuk dengan berjilbab yang hingga kini tidak dapat digugat. “Karena itu, kami hanya bisa menghimbau untuk tidak mematuhi peraturan tersebut dalam aras praktisnya,” paparnya lagi. Dalam aras teoritisnya, ia dan lembaganya, LAPAR, menyelenggarakan diskusi terbatas untuk membangun sikap kritis terhadap perda tersebut.


Sudarto sejalur dengan Subair. Dalam kultur keagamaan konservatif Padang, advokasi PUSAKA—lembaga di mana ia aktif mengkritisi perda diskriminatif—agak berat dilaksanakan dengan menempuh jalur hukum. “Kami berusaha mengkritik kebijakan tersebut melalui seminar atau forum ilmiah lainnya,” tandasnya kepada The WAHID Institute, Jumat (20/06/07).


****


Yang otoritatif untuk menangani perda diskriminatif ini agar menjadi memihak pada perempuan sebenarnya pemuka agama—mengingat karakter religiusitas orang Indonesia yang menonjol. Sayangnya, pemuka agama ini berikut pemahaman keagamaannya justru tidak menunjukkan peran yang demikian di Tangerang, Bulukumba, dan di Padang.

Di Tangerang, majelis taklim menjadi corong pemerintah dalam memberlakukan perda anti pelacuran itu. Termasuk para pimpinannya yang notabene ulama. "Para pemimpin agama memainkan simbol-simbol Islam dalam hal itu," terang Asfinawati. Simbolisasi ini berwujud pada pencitraan perempuan; yang suka pulang malam adalah perempuan tidak baik (baca; tuna susila) sehingga harus ditertibkan demi kebaikan bersama. Sementara di Bulukumba, jilbab sudah merupakan keputusan keagamaan yang tidak bisa diganggu gugat. “Itu sesuatu yang sudah final,” jelas Subair lagi. Tradisi keagamaan Padang begitu kuat dengan semboyan-nya yang khas: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. “Mengkritisi itu kita dianggap orang Yahudi-lah atau Kristen,” ujar Sudarto dalam sebuah acara refleksi yang digelar WI di Padang, Senin (27/06/05).

Pihak lainnya adalah negara. Akan tetapi, kiprah negara sepertinya tidak jauh berbeda. Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memang sudah mengupayakan pengawasan dan evaluasi perda-perda yang dianggap bertentangan, baik dengan sistem perundang-undangan yang lebih tinggi maupun bertentangan dengan masyarakat setempat. "Langkah nyata Depdagri tersebut terbukti dengan pengawalan perda diskriminatif di tiga daerah," terang Janiruddin, Kabag Pengkajian dan Evaluasi Produk Hukum Biro Hukum Depdagri dalam sebuah diskusi, Kamis (14/06/07).


Pengawalan yang dimaksud berbentuk pembinaan antara lain kepada Walikota Tegal, Bupati Purworejo, dan Bupati Banjarmasin. Tetapi, perda yang dimaksud terkait dengan larangan minuman beralkohol. Tak ada nuansa perda (diskriminatif) perempuan di sana meskipun pembinaan ini telah melibatkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP).

Meutia Hatta, sang menteri, sesungguhnya juga sudah menunjukkan sikap. Ia berkeluh soal perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Masa sekarang makin banyak perda yang tidak pro-perempuan dan justru membatasi gerak perempuan,” ujarnya dalam peringatan Hari Kartini di Jakarta, Senin (23/04/07). Hal itu dinilai kontradiktif dengan prinsip kesetaraan gender di segala sektor termasuk soal Pengarus-utamaan Gender (PUG) dalam kementeriannya sesuai Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000. Ia beserta timnya-pun berusaha membendungnya. "Kami sudah mengirimkan surat ke gubernur dan wali kota kalau ingin membuat perda harus memperhatikan kesetaraan gender," tambahnya dalam satu kesempatan, Selasa (23/05/06).

Tetapi KNPPP bukanlah kementerian yang berbentuk departemen yang memiliki kewenangan luas. “Kementerian Negara mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara,” demikian bunyi pasal 89 Peraturan Presiden No.9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Ketentuan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Sementara itu, kementerian yang berbentuk departemen memiliki langkah yang lebih panjang karena diberi wewenang untuk menyelenggarakan apa yang sudah dirumuskan. Semaju-majunya KNPP, langkahnya tetap terbatas karena kewenangannya tak banyak. Sehingga, kiprah mereka tidak terlalu bisa diharapkan.

****

Karena itulah, penolakan perda lebih tepat dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Tidak dengan mengandalkan siapa-siapa. Bentuknya adalah melibatkan perempuan dari berbagai kalangan. Tak peduli, apakah berasal dari legislatif, aktivis, bahkan perempuan di ranah domestik. “Kita merekomendasikan bahwa perempuan harus membuat koalisi. Koalisi rainbow power (kekuatan pelangi, Red.) atau semacam itu,” usul Erni Agustini, peneliti di Women Research Institute (WRI), (Lihat Wawancara; Perlu Koalisi Rainbow Power).

Usulan ini sesungguhnya masuk akal. Pertama, karena tingkat legislasi perempuan rendah. Seperti dirilis Kompas (28/08/01), hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Dengan jumlah sekecil ini, perempuan daerah tak sanggup membendung lahirnya peraturan yang diskriminatif tersebut karena posisi tawarnya yang tidak cukup signifikan.


Kedua, perempuan di ranah domestik ternyata memiliki peranan penting sepert halnya kaum legislatif. “Ibu PKK juga mempunyai peran yang signifikan,” tambah alumnus Pusat Studi dan Kajian Wanita (PSKW) UI. Ketiga, aktivis perempuan dan organisasinya yang tidak diragukan lagi kontribusinya dalam perjuangan melawan diskriminasi perempuan, terutama di daerah. “Keberadaan organisasi perempuan di tingkat daerah itu sangat penting keberadaannya dalam konteks otonomi daerah”, ujarnya lagi.


Perempuan bisa menolak perda bersama-sama. Mari! Wallahu A’lam (Nurun Nisa').

.