Rabu, 19 September 2007

Teladan dari Kyai-kyai Oposan


Judul Buku ; Ulama-ulama Oposan; Syaikh Haji Rasul, Ustadz Ahmad Hassan, KH. Zainal Mustofa, KH. Isa Anshary
Penulis ; Subhan SD
Penerbit ; Pustaka Hidayah Bandung
Tahun Terbit ; 2000
Tebal Buku ; 198 hlm.

Singaparna, Jum’at, 25 Februari 1944. Seorang kyai naik ke mimbar. Ia berkhutbah seperti biasa. Tapi kali ini materinya ada imbuhannya; ada pengarahan untuk waspada terhadap penguasa Jepang karena ia dan santri-santrinya sudah berani membangkang. Seikere, upacara membungkukkan badan kepada Dewa Matahari, mereka tolak karena dianggap sebagai kemusyrikan. Rombongan Camat Singaparna bahkan mereka tahan karena dinilai membahayakan jiwa sang kyai.

Semua santri juga diminta berjaga-jaga jikalau Jepang tiba-tiba datang. Tapi ia tidak memaksa. “Apabila tidak ikut, sebaiknya kembali saja ke kampung masing-masing,” ucapnya datar. Ternyata, semua santri manut pada pengasuh pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya ini.

Ya, kyai yang disebut-sebut itu adalah KH. Zainal Musthofa. Kyai wakil Rais Am NU Cabang Tasikmalaya di tahun 1927 itulah yang menjadi motor utama perlawanan rakyat Singaparna. Jepang kocar-kacir dibuatnya. Kyai Zainal sudah canggih waktu itu; ia membentuk kompi dari lima asrama pesantrennya. Pasukan intinya—tentu saja terlatih, teruji, dan terbukti—saja berjumlah 509 orang. Apa lacur, sebagian pribumi memilih pasang badan membela penjajah. Sehingga, kerabat Ajengan Zainal Muhsin ini kalah. Merekalah yang mengantar kyai kelahiran1899 ini dihukum tembak pada 25 Oktober 1944.

Kisah oposan kyai teman seperjuangan Ajengan Ruhiyat itu diungkapkan oleh Subhan SD dalam bukunya yang bertitel “Ulama-ulama Oposan; Syaikh Haji Rasul, Ustadz Ahmad Hasan, KH. Zainal Mustofa, KH. Isa Anshary”. Seperti judulnya, buku ini hendak mengupas kisah para kyai melakukan perlawanan terhadap pihak yang sewenang-wenang; entah penjajah atau pemerintah yang zalim. Mereka mengambil peran oposisi (mu’aradhah) atau kerap disebut oposan.

Oposan yang dimaksud dalam konteks ini adalah sebagai tokoh kunci dalam perjuangan menentang kolonialisme dan praktik kezaliman. Kyai—dalam memenuhi panggilan suci jihad Islam—tidak hanya mengaji dan beraktivitas di lingkungan keagamaan, tetapi menjadi penggerak perubahan sosial dan politik. Oleh karena itu, inti sikap oposan adalah amar makruf nahi munkar. Caranya, bisa dilakukan dengan tangan (kekuasaan), dengan lisan (kritik, protes, nasihat, dan sebagainya) atau hanya dengan menggunakan hati (berdoa).

Dalam hal ini Kyai Zainal memilih tidak berdamai dengan Jepang plus menanggung resiko-resikonya. Pengaruh dan pengikutnya dipakai untuk melawan penindasan sewenang-sewenang. Di sini, ia berusaha melakukan penjarakan dengan penguasa demi memelihara independensinya itu. Kyai Zainal memilih melakukannya dengan tangan karena dia punya kemampuan untuk itu berkat kedudukannya sebagai pengasuh pesantren berikut kenalan-kenalannya yang rata-rata ajengan.

Kyai Zainal, dan kyai-kyai lain yang diceritakan dalam buku setebal 198 ini, tampaknya menginternalisasi betul wejangan dari Al-Ghazali (w. 505 H / 1111 M). Hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ulama seharusnya mampu menciptakan jarak dengan penguasa (umara’). Ulama yang baik dan lurus tidak mendatangi para penguasa, pemerintah atau birokrat selama ada celah untuk menghindarinya. Mereka senantiasa memelihara diri dari dari kemungkinan dampak yang muncul akibat hubungan tersebut.

Al-Ghazali nampaknya memberikan semacam peringatan dini (early warning) tentang betapa sulitnya melepaskan diri dari kepungan kondisi psikis apabila jarak itu tidak sama sekali. Sebab, hal tersebut dapat berpengaruh pada sikap kaum ulama terhadap penguasa.

Inilah sesungguhnya yang dapat diambil dari buku ini; perlunya kemandirian sikap seorang kyai. Seperti diketahui, belakangan ini peran kyai sebagai penggerak ataupun makelar budaya (cultural broker) dalam sebuah perubahan sosial seperti sedang memudar. Sebabnya, mungkin zaman sudah berubah tapi sang kyai tak mau beradaptasi. Tetapi amat mungkin jika karakteristik kyai tak seperti dulu lagi. Mereka lebih suka men(di)dekati dengan kekuasaan ketimbang menjadi pelayan umat.

Memang, menjadi oposan kini bisa berarti macam-macam. Melawan kapitalis yang rakus juga sebuah perlawanan. Atau menentang birokrat yang rajin memperkaya diri sendiri. Namun, kedua hal ini seperti tak terbukti sekarang ini.

Kita tahu sendiri bahwa tak ada suara lantang kyai menentang cuci tangannya Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. Tak ada fatwa ulama menentang penggusuran di mana-mana. Tak ada pula rekomendasi khusus perdagangan perempuan, termasuk pengiriman TKW kecuali setelah didesak di sana-sini.

Yang ada hanya gemuruh dukungan para kyai untuk dukungan calon gubernur tertentu. Atau gegap gempita ceramah kyai di acara-acara pejabat yang tak ada nuansa dakwahnya sama sekali. Bahkan, sebagiannya kini bak selebritis. Susah dicari dan acapkali mementingkan materi.

Dalam konteks yang beginilah, buku keluaran tahun 2000 ini menemukan relevansinya. Pengamat pesantren, aktivis gerakan sosial, dan terutama, para santri (calon kyai) mesti membaca buku ini—untuk dijadikan teladan dan bahan pelajaran di masa depan. (Nurun Nisa’)