Tampilkan postingan dengan label Ngresensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ngresensi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Mei 2009

Menghadirkan Islam Tanpa Amarah dan Darah


Judul Buku : Ragam Ekspresi Islam Nusantara
Pengantar : Abdurrahman Wahid
Penerbit : the WAHID Institute
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : 145 halaman


Jika kita memperhatikan dengan seksama, banyak berita di media massa, “membantu” pencitraan Islam yang bernada negatif. Islam ditampakkan sebagai sebuah agama yang keras, pro kekerasan, dan merasa paling benar. Citra ini benar adanya—golongan Islam tertentu melakukan tindakan dan penyikapan dengan model ini. Sayangnya citra ini cenderung hiperbolik, berorientasi rating, dan menggelapkan wajah Islam yang lain; wajah Islam yang ramah, damai, dan toleran kepada yang lain.

Media “membantu” kelompok Islam melainkan sang liyan dengan cara menyakitkan seperti memukul fisik sang liyan atau mengkafirkan sang liyan. Media memang tidak membantu memukul atau membuat seruan tertulis pernyataan dukungan sikap, tapi media “membantu” mereproduksi sikap golongan tersebut. Reproduksi ini bukan tidak mungkin memungkinkan duplikasi (kekerasan) seperti halnya duplikasi mutilasi yang kini marak. Reproduksi ini dapat juga memunculkan pembenaran sikap golongan Islam yang sebenarnya tidak bisa dibenarkan itu. Pada konteks ini, media bisa menjadi—mengutip Jalaluddin Rakhmat—provokator.

Dampak reproduksi ini dapat dilihat dalam tayangan dan berita media menjelang Amrozi dan kawan-kawan. Banyak simpati, bukan kutukan layaknya bagi pelaku kekerasan, justru berdatangan. Sikap ini bukan datang dari sikap sadar dan tahu tragedi bom Bali semata-mata. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, sikap ini (salah satunya) merupakan dampak dari penayangan berturut-turut tindakan Amrozi dan kesedihan orang-orang terdekatnya. Amrozi digambarkan sebagai orang yang melakukan pengeboman karena marah dengan agresi dan arogansi Amerika Serikat (sehingga layak didukung meski korban yang jatuh mayoritas bukan warga Amerika) dan keluarganya digambarkan sedih namun tetap berusaha tegar (sehingga pantas mendapatkan simpati). Sementara derita dan suara korban diperlihatkan dalam durasi yang sebentar. Mereka tenggelam di tengah hirau pikuk curahan hati Amrozi dan kerabatnya. Korban, sebagai yang teraniaya, hanya mendapatkan simpati sekedarnya.

Dampak ini tidak seharusnya terus menyebar ke bagian masyarakat. Siapa berani membayangkan wajah Indonesia di masa depan ketika mayoritasnya mengamini sikap keras Amrozi. Siapa berani beranda-andai jika kekerasan kelak menjadi sesuatu yang dibenarkan ketika menyelesaikan persoalan karena meniru Amrozi. Kita layak prihatin dengan andaian ini. Sikap prihatin ini bukan saja sikap moral tanda peduli atau tanpa komitmen untuk menghadirkan berita atau tayangan dari perspektif berbeda. Islam selayaknya dipandang bukan dengan perspektif marah dan darah. Islam dipandang sebagai agama yang menjanjikan yang damai dan toleran. Inilah yang hendak dihadirkan dalam buku bertajuk Ragam Ekspresi Islam Nusantara. Buku ini merupakan kumpulan berita dalam bentuk suplemen di majalah GATRA dan TEMPO—selanjutnya disebut suplemen WI—sepanjang dua tahun.

Ketika trend berita menunjukkan maraknya Islam garis keras, suplemen WI menunjukkan fakta lain; pertobatan para pengikut Islam garis keras. Fauzi Isman bertobat dan menyatakan keluar dari Jamaah Warsidi yang bercita-cita mendirikan negara Islam termasuk dengan cara kekerasan. Ia melakukannya setelah bertemu dengan eks-tapol PKI yang akan dihukum mati di penjara tempat dia ditahan. Tapol bernama Asep Suryaman itu terus memegangi Yasin sampai nyawanya disetorkan kepada regu tembak. Tapol PKI itu begitu relijius—tak seperti dibayangkan Fauzi selama ini. Fauzi juga merasakan sesal karena istri dan keluarganya yang paling menderita akibat aktivitasnya. Mereka dengan setia menjenguk Fauzi sementara Jamaah Warsidi lain tidak pernah tampak batang hitungnya lagi (h. 83).

Suplemen WI juga mewawancarai langsung Nasir Abbas yang sudah bertobat dari Jamaah Islamiyah. Ia bertobat setelah menyaksikan kelakuan anggota JI membunuhi warga sipil termasuk perempuan yang tidak bersalah dalam konflik Poso. Nasir menganggapnya sebagai dosa besar. Sebagai bentuk pertobatannya, Nasir berbicara dengan pelaku kekerasan seperti Hasanuddin (pelaku mutilasi Poso) agar segera hijrah dari jalur kekerasan karena tidak bersesuaian dengan ajaran Nabi SAW (h.85)

Gerakan Islam garis keras ini dianggap bermula dari ketimpangan ekonomi. Suplemen WI memotret pesantren, yang kerap dituding sebagai persemaian benih-benih Islam keras, yang dengan tekun menjalankan bisnis. Dengan titel “Mengikis Fundamentalis dengan Berbisnis”, suplemen WI mengisahkan kiprah pesantren Nurul Iman di Parung yang produktif menjalankan usaha pengolahan sampah, perkebunan sawah, dan pabrik roti. Dari usaha ini, pesantren yang diasuh oleh Habib Saggaf bin Mahdi mampu menghidupi delapan ribu santrinya dengan gratis. Paul Wolfowitz, direktur Bank Dunia ketika itu kagum dibuatnya, sehingga mengutus delegasi untuk menyambangi pesantren yang berdiri sejak 1998 itu (h. 45).

Yang penting dan sangat mendasar adalah memandang teks kitab suci sebagai dasar pembenar gerakan Islam garis keras. Suplemen WI meneropong berbagai literatur klasik dalam bentuk kitab kuning yang lazim diajarkan di pesantren. Dalam kitab Raudlah al-Thalibin karya Yahya bin Sharaf al-Dimasyqi disebutkan bahwa orang kafir (baca; berbeda keyakinan) tidak boleh diperangi. Kecuali, kata KH. Imam Ghazali Said, jika mereka melakukan hirabah (pemberontakan) pada pemerintah Islam (h. 75). Dengan demikian, bila orang kafir berlaku ramah dan damai maka tidak boleh ditindak memakai kekerasan meskipun mereka memiliki ritual dan keyakinan yang berbeda dengan orang Islam. Pemaknaan yang berbeda ini juga terjadi pada teks kitab suci yang menjadi pembenar kekerasan terhadap perempuan—bahwa perempuan boleh dipukul oleh suaminya jika melakukan nusyuz (pembangkangan). Kekerasan ini harus dilawan, bukan dilestarikan. Bu Nyai Ruqayyah (Bondowoso), Bu Nyai Djuju Zubaidah (Tasikmalaya), Bu Nyai Lilik Nihayah (Cirebon), Baiq Elly Mahmudah (Lombok), dan Shinta Nuriyah Wahid bahkan melakukan advokasi kepada perempuan korban kekerasan psikis maupun seksual (h. 91). Mereka bukan saja pejuang perempuan tetapi pemuka pesantren yang selama ini kerap dianggap sebagai lahan domestikasi dan diskriminasi paling subur.

Cuplikan-cuplikan ini menghadirkan wajah Islam lain yang menyejukkan. Sesuatu yang disebut oleh Toriq Haddad sebagai pereda rasa cemas atas munculnya kelompok (Islam) dengan rasa toleransi tipis. Kutipan wawancara di suplemen ini, kata pemimpin redaksi majalah TEMPO tersebut, dipilih yang tenang, rileks, dan melegakan seperti meneguk air es di panas terik. Asrori S. Karni, dalam kata pengantarnya, menyatakan bahwa suplemen ini adalah upaya menampilkan wajah moderat kreatif kaum santri arus utama yang selama ini cenderung menjadi “mayoritas diam” (silent majority). Peraih Muchtar Lubis award itu menilai bahwa kaum santri tipikal ini lebih sepi ing pamrih tapi rame ing gawe; mereka banyak berkreasi tapi tidak terlalu memikirkan publikasi. Publikasi ini, kata redaktur GATRA ini, seharusnya wajib mengingat kinerja sosial mereka penting menjadi pembelajaran publik luas.

Ungkapan para jurnalis senior ini memang benar adanya. Suplemen ini memandang Islam dalam kerangka kearifan lokal yang penuh harmoni, bukan konfrontasi teologi. Mereka berbeda tapi saling menghargai seperti didedahkan oleh Mpu Tantular dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika” sejak Majapahit berkuasa dulu kala. Inilah sesungguhnya wajah Islam Indonesia. Islam Indonesia ini memiliki karakter yang unik. Keunikan yang dimaksud adalah perpaduan antara watak kultural dari agama Islam dengan adat istiadat bangsa Indonesia yang dominan—mengutip Gus Dur dalam pengantar buku ini—dan kehilangan watak politisnya. Jika watak politis ini kemudian ditonjolkan sedemikian rupa sehingga menjadi ideologis maka Islam akan jumud dan rigid. Kejumudan mendatangkan fanatisme keberagamaan yang mendekat pada kekerasan.

Penasaran? Selamat membaca. Dijamin beda! (Nurun Nisa')

Jumat, 02 Mei 2008

Ragam Pandangan Aliran Sempalan

Judul Buku : Respon Pemerintah, Ormas, dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia

Editor : Haidlor Ali Ahmad

Penerbit : Badan Litbang & Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI

Tahun Terbit : 2007

Kota Terbit : Jakarta

Jumlah Halaman : 207 hlm


RAGAM SUDUT PANDANG ALIRAN SEMPALAN

Oleh: Nurun Nisa'


Di sebuah SMU di Banjarmasin, seorang siswi mesti menghadap kepala sekolahnya. Bukan karena tidak disiplin. Tetapi disebabkan oleh aliran Ahmadiyah yang dianutnya dan orang tuanya. Sementara siswa lain adalah pengikut aliran yang familiar; NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan al-Wathaniyah. Ia disuruh pindah aliran karena dinilai sesat, tapi ia tak mau.

Kesesatan Ahmadiyah—seperti difatwakan oleh MUI—membuat pimpinan sekolah itu ketar-ketir. Akhirnya, sebuah makalah dibuat oleh pihak sekolah untuk menjelaskan kesesatan Ahmadiyah lalu diperbanyak dan disebarkan kepada guru, murid, dan orang tua/wali murid. Tak terima, pengurus Ahmadiyah setempat membuat makalah tandingan. Timbullah masalah sehingga kepala Departemen Agama Kalimantan Selatan mesti turun tangan.

Kasus ini merupakan potret kehidupan keberagamaan di negeri ini. Pemicunya banyak hal. Antara lain, karena pemahaman atau pengetahuan terhadap aliran Ahmadiyah yang terdistorsi—entah disengaja atau tidak. Pada tahap akut, distorsi ini dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Agar tidak berulang, perlu kiranya penjelasan soal aliran ini dan berbagai aliran sempalan lainnya yang berbeda dari main-stream secara komprehensif dan cover both side (baca: netral).

Di sinilah, signifikansi dari kehadiran buku yang bertajuk "Respon Pemerintah, Ormas, dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia" yang diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI. Buku ini merupakan laporan hasil serangkaian penelitian lapangan yang dilakukan sepanjang 2006 yang ditujukan untuk menelaah respon pemerintah, ormas, dan masyarakat terhadap fenomena aliran sempalan yang muncul dan merebak di mana-mana yang seringkali memunculkan persoalan baru dalam masyarakat.

Penelitian dilakukan di enam daerah dengan lima aliran sempalan sebagai sasaran penelitiannya. Yakni Jamaah Tabligh dan Ahmadiyah di Banjarmasin oleh Zaenal Abidin, Imam Syaukani, dan Antung Norhasanah. LDII dan Jamaah Tabligh di Samarinda oleh Abdul Aziz, Ahsanul Khalikin, dan Sri Sulastri. Tiga organisasi ini juga diteliti oleh Ridwan Lubis, Mursyid Ali, dan Akmal Salim Ruhana di Palembang dan Bashori A. Hakim, Eko Aliroso & Fakhruddin M. di Tanjung Pinang. LDII dan Saksi-saksi Yehowa di Manado diteliti oleh Nuhrison M. Nuh, Asmawati, dan Sri Haryati. Muh. Nahar Nahrawi, Wakhid Sugiyarto, dan Reza Perwira meneliti Ahmadiyah dan Hindu Tamil di Medan. Daerah ini dipilih karena tingkat perubahan sosialnya tinggi. Pada kondisi ini, masuknya berbagai aliran sempalan akan cepat mendapat respon dari berbagai kalangan karena—disadari atau tidak—mempengaruhi struktur sosial-politis di tempat tersebut.

Lima aliran ini dianggap sempalan karena memiliki karakteristik unik yang membedakannya dengan (agama) induk yang dipahami oleh main-stream. Perbedaan ini amat kuat sehingga nampak jauh dari aslinya—disebutlah sebagai cabang atau sempalan.

Jamaah Tabligh, misalnya, memiliki ajaran khuruj. Ajaran ini menugaskan para penganutnya untuk berdakwah dalam kurun waktu tertentu ke tempat tertentu dengan meninggalkan segala tanggungannya, termasuk istri dan keluarganya guna menyebarkan ajaran Islam. Cara dakwah seperti itu, bagi mayoritas Islam, adalah keliru sebab Nabi tak pernah melakukannya. Ahmadiyah dinilai lain karena telah menahbiskan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Nabi. Sementara, kebanyakan orang Islam memiliki keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan yang pungkasan.

LDII pernah dicap ingkar sunnah atau mengingkari hadits sebagai landasan keagamannya. Padahal, NU dan Muhammadiyah memegang teguh al-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman agama. Saksi-saksi Yehowa tidak mengakui Trinitas yang menjadi asas ketuhanan Kristen pada umumnya. Sementara itu Hindu Tamil tak merayakan Nyepi, Galungan, dan Kuningan seperti halnya pemeluk Hindu Bali.


****

Perbedaan penafsiran keagamaan di atas menimbulkan respon beragam. Ormas, masyarakat, dan pemerintah memiliki sikap beragam; mulai dari apreasiasi positif, menentang bahkan acuh tak acuh terhadap fenomena aliran sempalan ini. Perbedaan ini karena memang dilatari ketidaksamaan pola pikir dan setting sosial budaya masing-masing. Belum lagi soal pembedaan kategorisasi penilaian: aspek aqidah dan aspek muamalah. Aspek aqidah biasanya tegas dan cenderung nomatif. Aspek ini mendapat sorotan tajam, dan bahkan perlakuan ekstrim seperti penyerangan, oleh masyarakat yang tidak setuju terhadap keberadaan mereka.

Ahmadiyah di Banjarmasin misalnya. Markasnya hampir-hampir diserang seperti halnya Ahmadiyah di Bogor karena dicap sebagai aliran sempalan yang sesat. Demikian pula Saksi-saksi Yehowa di Medan. Aliran yang berpusat di New York ini ditentang "habis-habisan" oleh Gereja Masehi Injili Manado (GMIM) karena penolakannya atas doktrin Trinitas. Sayangnya, peneliti yang bersangkutan tidak menjelaskan term "habis-habisan" tersebut secara komprehensif. Di Samarinda, beberapa tokoh agama merekomendasikan agar LDII ditindak tegas sebelum konflik meletus. Hal ini didasari adanya beberapa kejanggalan tak terjelaskan—semisal penggunaan sandi 3-1-3 dan 3-5-4 di kalangan warga LDII yang hanya dapat dipahami pihak intern LDII—yang didapat dari hasil penelitian mereka sendiri terhadap ajaran LDII.

Aspek muamalah biasanya menyangkut teknik dakwah, cara bergaul, dan cara hidup. Titik tolaknya adalah keterbukaan atau inklusivitas dalam bermasyarakat. Sanksinya, dikucilkan secara sosial. Persoalan Jamaah Tabligh, LDII, dan Hindu Tamil berkutat pada masalah ini. Jamaah Tabligh di semua sasaran penelitian mendapat respon negatif karena sikapnya yang jorok padahal aktivitas mereka berpusat di masjid. Di Tanjung Pinang, pengurus NU mengeluhkan gaya dakwah aliran yang diidentikan dengan Nurhasan al-Ubaidah ini yang merasa (paling) benar sendiri. Pengurus Muhammadiyah di sana juga mengeluhkan sikap anggota LDII yang cenderung memaksakan kehendak. Selain itu, hampir di semua daerah penelitian, LDII dianggap kurang bergaul sehingga kurang disenangi masyarakat sekitar.

Tetapi bukan berarti tidak ada kesan positif dari tiga aliran sempalan ini. Jamaah Tabligh, sebagai contoh, dianggap menyebarkan kebiasaan baik—bahkan dinilai meningkatkan gairah keagamaan yang cenderung meredup akhir-akhir ini semisal sholat berjamaah. Karena itu, keberadaan aliran yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi ini didukung. Bahkan, pengurus Muhammadiyah di Palembang menjadi anggota aliran yang diimpor dari India ini karena didasari motif tersebut. Hindu Tamil di Medan beradaptasi dengan baik, meski pernah timbul masalah disebabkan perbedaan hari besar keagamaan, terhadap saudaranya; pemeluk Hindu Bali. Kondisi ini juga didorong oleh tingkat perekonomian dan pendidikan yang cukup tinggi di sana.

Di luar itu, beberapa dari warga masyarakat memilih sikap acuh tak acuh karena kehadiran semua aliran hampir-hampir tidak memiliki pengaruh—jika tidak ingin dikatakan tidak ada sama sekali—terhadap kehidupan mereka.

Yang menarik adalah respon dari MUI yang posisinya ganda—sebagai ormas dan (kadang-kadang) sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Sikap MUI di daerah penelitian menunjukkan kecenderungan yang berbeda, meski sandaran hukum mereka menyikapi aliran-aliran sempalan tetap saja fatwa dari Komisi Fatwa MUI Pusat. Ini terlihat dalam tindakan atau pendekatan yang diambil terutama menyangkut keberadaan LDII dan Ahmadiyah yang secara resmi dicap sesat oleh MUI. Citra yang lebih menonjol adalah MUI daerah justru menjadi penyerap aspirasi masyarakat.

Dalam penelitian di Samarinda, MUI menerima kritik dari masyarakat. Akan tetapi karena LDII bersedia beradaptasi dengan tradisi setempat, maka MUI hanya memberi teguran saja. Tidak ada larangan khusus. Sikap yang hampir senada diambil oleh MUI di Banjarmasin. MUI Palembang mengeluhkan fanatisme LDII yang dapat menimbulkan rasa curiga dan salah faham antar warga dan antar kelompok sesama Muslim. Tetapi sebatas itu saja. MUI Manado menekankan bahwa secara kelembagaan, LDII memang ditolak. Tetapi bukan berarti harus dikebiri perkembangannya. Asalkan, mereka tidak ekspansif. Kalau ini dijalankan, tidak akan ada masalah.

Di Banjarmasin, MUI mengakui fatwa sesat buat Ahmadiyah. Tetapi, sang ketua, menenkankan bahwa yang demikian bukan pembenar terjadinya kekerasan. Karena itulah, ia memilih pendekatan persuasif—bukan represif—terhadap aliran ini. Tidak ada keterangan tentang respon Ahmadiyah di Medan. Hanya saja, peneliti mengungkapkan bahwa Medan merupakan daerah multi-etnis dan multi-agama. Kondisi masyarakat dengan tipikal ini, membuat masyarakatnya telah lama belajar berbeda dalam memeluk agama. Meskipun, potensi konflik antar kelompok cukup besar, namun sampai penelitian tersebut selesai ditulis, belum pernah terjadi konflik. Mungkin, dugaan penulis, Ahmadiyah mengalami perlakuan serupa; tidak ada soal di sana meski sudah dianggap sesat.

****

Buku ini berbeda dengan buku penelitian sejenis. Bila penelitian biasanya cukup diakhiri kesimpulan, ia menambahkan rekomendasi di penutup laporan penelitiannya. Di sini, beberapa rekomendasi diajukan khusus kepada para aparat berwenang sehingga terkesan "struktural". Misalnya saja, adanya rekomendasi berbentuk tuntutan dan ekspektasi yang besar atas keterlibatan aparat Departemen Agama atau Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam konflik akibat perbedaan tafsir keagamaan. Ini cukup wajar. Sebab tujuan buku ini memang untuk dijadikan rujukan dasar atau masukan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya membangun kerukunan kehidupan keagamaan di negeri ini—khususnya ketika aliran sempalan mulai meruyak di mana-mana. Sebagaimana kita ketahui, kerukunan menjadi barang mahal ketika aliran sempalan itu hadir karena dipicu berbagai macam sebab.

Namun, rekomendasi yang diajukan para peneliti ini bukan berarti tak menyimpan persoalan. Tuntutan inklusivitas LDII di Samarinda misalnya tampak berlebihan. Dalam segi kemasyarakatan, inklusivitas ini sangat mungkin diwujudkan. Penulis sepakat penuh atas inklusivitas secara sosial—ia dapat menjadi jurus ampuh mendamaikan berbagai perbedaan teologis di masyarakat.

Akan tetapi, ini menjadi lain ceritanya jika inklusivitas yang dimaksud dilaksanakan dalam taraf peribadatan. Mengganti imam masjid dari yang bukan golongan LDII, bagi penulis, serasa memangkas perbedaan (teologis) yang mestinya kita hormati. Secara real, kita dapat menyaksikan betapa ormas terbesar di negeri ini (baca: NU dan Muhammadiyah), agak mengalami kesulitan jika mesti melakukan "inklusivitas masjid" ini. Sebagai organisasi yang dicap sesat, bila rekomendasi ini benar-benar dilaksanakan, nampaknya para penganut LDII akan memperoleh kesulitan yang berganda.

Selain itu, jaminan kebebasan keberagamaan di buku ini kurang mendapat penekanan. Editor sempat menyebut hal itu dalam pengantarnya tetapi detailnya tidak dijabarkan. Pasal 28 E UUD 1945 Amandemen IV, Konvensi Hak Sipil Politik PBB, dan peraturan terkait lainnya sepertinya perlu ditambahkan. Ini penting. Karena, di sinilah sesungguhnya perbedaan tafsir keagamaan yang ujungnya adalah berbagai aliran sempalan di atas akan menemu konteksnya. Mereka, yang berbeda dari main-stream, berhak mengekspresikan keyakinannya dan masyarakat memiliki sandaran hukum untuk menghormatinya. Ketika dua sikap telah ada, kerukunan akan muncul dengan sendirinya.


Di atas itu semua, buku ini berguna sekali kehadirannya. Paling tidak, buku ini mampu merangkum berbagai respon yang ada dalam masyarakat. Melalui buku ini, kita tahu bahwa perbedaan pandangan keagamaan di daerah penelitian tidak sampai kepada penganiayaan fisik seperti halnya tragedi penyerbuan kampus Ahmadiyah di Parung beberapa waktu lalu. Ketidaksetujuan terhadap keberadaan aliran sempalan, sebagian besar, diekspresikan hanya secara verbal. Namun, bukan berarti bahwa persoalan ini tidak akan berkembang menjadi lebih besar sehingga harus segera diselesaikan. Tentu saja, dialog dan keterbukaan dari kedua belak pihak menjadi prasyarat utama. Semua pihak wajib terlibat, termasuk pemerintah. Wallahu A'lam bish Shawab.

Kamis, 15 November 2007

Gus Dur: Idola (Baru) Remaja

Judul Buku : Gus Dur…Asyik Gitu Loh

Penulis : Maia Rosyida

Penerbit : The WAHID Institute

Tahun Terbit : 2007

Jumlah Halaman : 98 hlm

Oleh: Nurun Nisa'


Keliru besar kalau Anda menyangka bahwa Gus Dur cuma pujaan khusus kalangan dewasa dan orang-orang politik saja. Mau bukti? Buku bertitel Gus Dur…Asyik Gitu Loh akan membalikkan anggapan Anda selama ini.

Gus Dur Asyik

Buku karya Maia Rasyida, siswi Sekolah Menengah Universal (SMU) Qaryah Thayyibah, ini membingkai kekaguman remaja terhadap sosok Gus Dur dengan bahasa khas anak gaul sekarang. Namun isinya tetap bernas.

Ini dapat dicermati dari lembar-lembar tulisannya. Di awal, misalnya, kita bisa melihatnya dengan baik dalam soal penggambaran fisik Gus Dur.

“Gus Dur itu ganteng? Setuju banget. Tepatnya, good looking abis. Rasanya nggak perlu lagi sibuk hunting cowok muda yang segar dan punya perut six pack. Gus Dur (memang) jika dilihat dari struktur wajah mungkin masih boleh dibilang kalah jauh sama Brad Pitt atau aktor siapalah itu yang bisa bikin cewek-cewek yang ngelihat langsung teriak histeris. Diliat dari postur badan juga boleh dikatakan Gus Dur masih jauh dari sempurna….Tapi kenapa kita bisa lebih betah mandangin wajah Gus Dur daripada para icon cover boy yang banyak nampang di majalah remaja itu?” (hlm. 11)

Dara kelahiran 1987 ini punya jawabnya. Gus Dur enak dipandang sebab beliau memiliki segudang kharismatik dan inner beauty luar biasa. Tak lain ia adalah seorang intelektual yang menata hidupnya dengan akhlak dan selalu disirami dengan ilmu. Waktu SD saja Gus Dur sudah akrab dengan karya-karya Karl Marx, catatan-catatan pemikir Marxisme, dan berbagai macam buku filsafat.

Kita dapat pula membaca komentar Maia terhadap pembelaan Gus Dur atas goyangan Inul yang kontroversial itu.

“Sikap Gus Dur membela Inul dari kecaman orang-orang yang mengaku Islam adalah cerminan sikap Rasulullah. Rasulullah gak perlu pake kekerasan ketika mendidik umatnya yang masih belum tau. Karna Gus Dur tau betul Inul itu belum begitu tau agama, maka dia mengayominya dengan cara yang kalem. Menunjukkan begitulah Islam. Mengajak berpikir, tak boleh keras, dan sangat menghormati perbedaan pemikiran,” (hlm. 39).

Sikap bijak Maia ini, bagi penulis, melebihi kadar usianya. Bahkan melampaui penentang Inul, yang sebagiannya, terang benderang tidak menunjukkan kematangan usia mereka dalam merespon isu yang sama. Mereka tak mampu menyampaikan perbedaan pendapat dengan santun. Cuma berani unjuk kekuatan saja layaknya preman (berjubah).

Lain lagi soal korupsi. Maia prihatin betul dengan korupsi dan pengadilan yang tak kunjung unjuk gigi. Maia salut dengan gaya Gus Dur yang potong kompas demi mengamputasi budaya korupsi secara radikal.

“Korupsi udah nggak mau tau tempat lagi. Ini mungkin satu hal yang yang menyebabkan negeri ini menjadi hopeless untuk bisa bersih...pengadilan juga udah banyak yang punya dwifungsi. So..biar pengadilan jadi layak disebut adil dan terpercaya, kira-kira gimana yah caranya? Nggak ada harapan banget nih. Kuncinya emang pemimpin mesti tegas dan bersih. Berani dan tanggung jawab dunia wal akherat. Kaya’ Gus Dur ajalah. Santai gitu. Tinggal pecat sana pecat sini. Asyik tuh. Nggak bertele-tele dan habis. Meski beresiko tinggi, ya emang begitu kan resikonya jadi orang jadi orang nomor satu? Begitu kan resikonya seorang pembela kebenaran?” (h. 52).

Mendengar ini, para politikus, aparat penegak hukum, dan tentu saja para koruptor itu sendiri selayaknya merenung. Atau malah malu. Sebab, remaja yang masih bau kencur saja tahu dan bisa memilih yang terbaik; bahwa kebenaran dan kebersihan mestilah dijadikan pegangan hidup seperti dipraktikkan Gus Dur. Bukan berlindung di balik kebohongan atau justru menggadaikan diri dengan kekuasaan. Padahal, mereka tahu perkara ini lebih dalam dan lebih banyak ketimbang seorang remaja seumuran Maia. Tapi mereka tak mau melakukannya.

Buku setebal 98 hlm ini layak baca untuk semua kalangan. Diksinya renyah—namun tak sampai jatuh pada kegenitan remaja yang kadangkala membikin tulisan menjadi barisan kosakata prokem yang tak ada isi sama sekali.

Meski begitu, ia tetaplah buku bergizi tinggi. Ini dapat dilihat dari rujukan pendapat Maia; mulai dari puisi-puisi Gus Mus, cerita-cerita Abu Nawas, Sirah Nabawiyah sampai kaidah-kaidah fiqhiyyah yang lumayan rumit.

Buku ini gue banget buat para teman remaja. Para orang tua tidak perlu khawatir membaca buku ini. Dijamin tidak akan merasa digurui. Justru mereka dijadikan teman bicara yang setara. Wallahu A’lam.



Rabu, 19 September 2007

Teladan dari Kyai-kyai Oposan


Judul Buku ; Ulama-ulama Oposan; Syaikh Haji Rasul, Ustadz Ahmad Hassan, KH. Zainal Mustofa, KH. Isa Anshary
Penulis ; Subhan SD
Penerbit ; Pustaka Hidayah Bandung
Tahun Terbit ; 2000
Tebal Buku ; 198 hlm.

Singaparna, Jum’at, 25 Februari 1944. Seorang kyai naik ke mimbar. Ia berkhutbah seperti biasa. Tapi kali ini materinya ada imbuhannya; ada pengarahan untuk waspada terhadap penguasa Jepang karena ia dan santri-santrinya sudah berani membangkang. Seikere, upacara membungkukkan badan kepada Dewa Matahari, mereka tolak karena dianggap sebagai kemusyrikan. Rombongan Camat Singaparna bahkan mereka tahan karena dinilai membahayakan jiwa sang kyai.

Semua santri juga diminta berjaga-jaga jikalau Jepang tiba-tiba datang. Tapi ia tidak memaksa. “Apabila tidak ikut, sebaiknya kembali saja ke kampung masing-masing,” ucapnya datar. Ternyata, semua santri manut pada pengasuh pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya ini.

Ya, kyai yang disebut-sebut itu adalah KH. Zainal Musthofa. Kyai wakil Rais Am NU Cabang Tasikmalaya di tahun 1927 itulah yang menjadi motor utama perlawanan rakyat Singaparna. Jepang kocar-kacir dibuatnya. Kyai Zainal sudah canggih waktu itu; ia membentuk kompi dari lima asrama pesantrennya. Pasukan intinya—tentu saja terlatih, teruji, dan terbukti—saja berjumlah 509 orang. Apa lacur, sebagian pribumi memilih pasang badan membela penjajah. Sehingga, kerabat Ajengan Zainal Muhsin ini kalah. Merekalah yang mengantar kyai kelahiran1899 ini dihukum tembak pada 25 Oktober 1944.

Kisah oposan kyai teman seperjuangan Ajengan Ruhiyat itu diungkapkan oleh Subhan SD dalam bukunya yang bertitel “Ulama-ulama Oposan; Syaikh Haji Rasul, Ustadz Ahmad Hasan, KH. Zainal Mustofa, KH. Isa Anshary”. Seperti judulnya, buku ini hendak mengupas kisah para kyai melakukan perlawanan terhadap pihak yang sewenang-wenang; entah penjajah atau pemerintah yang zalim. Mereka mengambil peran oposisi (mu’aradhah) atau kerap disebut oposan.

Oposan yang dimaksud dalam konteks ini adalah sebagai tokoh kunci dalam perjuangan menentang kolonialisme dan praktik kezaliman. Kyai—dalam memenuhi panggilan suci jihad Islam—tidak hanya mengaji dan beraktivitas di lingkungan keagamaan, tetapi menjadi penggerak perubahan sosial dan politik. Oleh karena itu, inti sikap oposan adalah amar makruf nahi munkar. Caranya, bisa dilakukan dengan tangan (kekuasaan), dengan lisan (kritik, protes, nasihat, dan sebagainya) atau hanya dengan menggunakan hati (berdoa).

Dalam hal ini Kyai Zainal memilih tidak berdamai dengan Jepang plus menanggung resiko-resikonya. Pengaruh dan pengikutnya dipakai untuk melawan penindasan sewenang-sewenang. Di sini, ia berusaha melakukan penjarakan dengan penguasa demi memelihara independensinya itu. Kyai Zainal memilih melakukannya dengan tangan karena dia punya kemampuan untuk itu berkat kedudukannya sebagai pengasuh pesantren berikut kenalan-kenalannya yang rata-rata ajengan.

Kyai Zainal, dan kyai-kyai lain yang diceritakan dalam buku setebal 198 ini, tampaknya menginternalisasi betul wejangan dari Al-Ghazali (w. 505 H / 1111 M). Hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ulama seharusnya mampu menciptakan jarak dengan penguasa (umara’). Ulama yang baik dan lurus tidak mendatangi para penguasa, pemerintah atau birokrat selama ada celah untuk menghindarinya. Mereka senantiasa memelihara diri dari dari kemungkinan dampak yang muncul akibat hubungan tersebut.

Al-Ghazali nampaknya memberikan semacam peringatan dini (early warning) tentang betapa sulitnya melepaskan diri dari kepungan kondisi psikis apabila jarak itu tidak sama sekali. Sebab, hal tersebut dapat berpengaruh pada sikap kaum ulama terhadap penguasa.

Inilah sesungguhnya yang dapat diambil dari buku ini; perlunya kemandirian sikap seorang kyai. Seperti diketahui, belakangan ini peran kyai sebagai penggerak ataupun makelar budaya (cultural broker) dalam sebuah perubahan sosial seperti sedang memudar. Sebabnya, mungkin zaman sudah berubah tapi sang kyai tak mau beradaptasi. Tetapi amat mungkin jika karakteristik kyai tak seperti dulu lagi. Mereka lebih suka men(di)dekati dengan kekuasaan ketimbang menjadi pelayan umat.

Memang, menjadi oposan kini bisa berarti macam-macam. Melawan kapitalis yang rakus juga sebuah perlawanan. Atau menentang birokrat yang rajin memperkaya diri sendiri. Namun, kedua hal ini seperti tak terbukti sekarang ini.

Kita tahu sendiri bahwa tak ada suara lantang kyai menentang cuci tangannya Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. Tak ada fatwa ulama menentang penggusuran di mana-mana. Tak ada pula rekomendasi khusus perdagangan perempuan, termasuk pengiriman TKW kecuali setelah didesak di sana-sini.

Yang ada hanya gemuruh dukungan para kyai untuk dukungan calon gubernur tertentu. Atau gegap gempita ceramah kyai di acara-acara pejabat yang tak ada nuansa dakwahnya sama sekali. Bahkan, sebagiannya kini bak selebritis. Susah dicari dan acapkali mementingkan materi.

Dalam konteks yang beginilah, buku keluaran tahun 2000 ini menemukan relevansinya. Pengamat pesantren, aktivis gerakan sosial, dan terutama, para santri (calon kyai) mesti membaca buku ini—untuk dijadikan teladan dan bahan pelajaran di masa depan. (Nurun Nisa’)

Jumat, 24 Agustus 2007

Empat Langkah Memusuhi Sang Liyan

Buku Iqbal Ahnaf

Judul : Image of The Other as Enemy; Radical Discourse in Indonesia
Penulis : Muhammad Iqbal Ahnaf
Jumlah Hal. : 76 hal
Penerbit : AMAN - Silkworm Books, Bangkok
Tahun Terbit : 2006

Oleh Nurun Nisa’

“He is a good man. I respect him. But, unfortunately, he is a Christian. We should be careful”.

Demikian tuturan seorang petinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan S Awwas, ketika ditanyai soal tokoh terkemuka dialog antar-iman asal Yogyakarta yang beragama Nasrani, Th. Sumartana.

Ungkapan tersebut serasa bernada curiga. Kesan yang timbul, boleh saja ia baik hati, tapi kalau beda agama, nanti dulu. Kita harus berhati-hati terhadap orang yang beda agama. Walaupun sama-sama manusia, posisinya cenderung dianggap sebagai sang liyan, the others atawa al-akhar. Dengan status tersebut, sang liyan layak di-lain-kan. Kalau perlu dianggap sebagai musuh, enemy.

Tak ada asap kalau tak ada api. Begitupun tentang persepsi ‘musuh’ ini. Ini diungkapkan oleh Muhammad Iqbal Ahnaf dalam bukunya yang bertajuk The Image of The Other as Enemy; Radical Discourse in Indonesia.

Berdasarkan penelitiannya terhadap Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia di Yogyakarta, Iqbal menyimpulkan bahwa citra musuh ini sesuatu yang diproduksi dan direproduksi.

Citra ‘musuh’ ini diproduksi melalui dua aspek; teologis dan historis. Dari aspek teologis, citra ‘musuh’ disandarkan pada ayat-ayat al-Qur’an. Ada kata ‘aduwwun mubin, musuh yang nyata. Dianggap musuh karena mereka akan selalu mengajak masuk ke agamanya. Ikhtiar ini tak akan berhenti, kecuali kiamat datang. Siapa tidak takut dengan wanti-wanti model begini? Jadi, pantaslah kalau kita merasa harus ber-syakwasangka terhadap liyan. Meski ini adalah pemahaman literal.

Yang kedua melalui aspek historis. Konflik yang bertubi-tubi antara umat Islam dan non-muslim yang tak berkesudahan sampai kini. Sebut saja konflik di Ambon dan Poso. Atau konflik Israel-Palestina untuk kontek luar negeri. Tidak bisa tidak, jika disimpulkan, Islam dan agama lain memang tidak dapat di-damaikan alias saling bermusuhan.

Kemudian, citra musuh ini direproduksi melalui empat pola. Pertama, ideologisasi. Yakni, dengan menegaskan keunggulan sistem Islam sekaligus menekankan kegagalan sistem sekuler. Caranya dengan memakai simbol dan gambar yang memberi pesan ideologis itu.

Kedua, demonisasi. Yaitu mencitrakan sang liyan sebagai ancaman, culas, barbar, dan tidak beradab. Ketiga, insistensi (baca; bersikeras) atas apa yang disebut dengan benturan antara sistem Islam dan non-Islam yang didasarkan pada keyakinan superioritas sistem yang pertama atas yang kedua. Pola ini membawa pada penolakan untuk berbagi, berkompromi atau bernegosiasi dengan sang liyan.

Keempat, imajinasi atas kemenangan Islam yang akan segera datang menggantikan kapitalisme yang tengah kolaps. (Sistem) Islam diandaikan sebagai kekuatan adidaya.

Proses produksi dan reproduksi atas citra sang liyan sebagai musuh, secara kasat mata, memang tidak menyebabkan problem serius atau konfrontasi dalam soal relasi dengan sang liyan. Ini terbukti dengan kekerasan yang tidak pernah dilakukan oleh HTI dan MMI di Yogyakarta sejauh amatan Iqbal.

Akan tetapi, pencitraan sang liyan sebagai musuh, bagaimanapun, termasuk ‘kekerasan simbolik’ seperti digambarkan oleh Pierre Bordeau. Kekerasan simbolik ini merupakan pemaksaan sistem simbolisme dan makna (seperti agama) atas kelompok atau komunitas lain, sehingga (seakan-akan) hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sah. Atau yang digambarkan De Lauretis sebagai ‘kekerasan retorik’.

Kedua jenis kekerasan ini merupakan diskursus yang tidak objektif dan monolitik. Juga menciptakan generalisasi stigma dan membuat pernyataan provokatif melawan sang liyan yang potensial menyulut konflik dan kekerasan fisik.

Buku ini unik karena menggunakan analisis media sebagai metodologi penelitiannya. Segala macam terbitan dan pidato para pemimpin MMI dan HTI diteliti sedemikian rupa sehingga melahirkan pelbagai kesimpulan menarik. Iqbal diganjar oleh Asian Muslim Action Network (AMAN) sebagai salah satu peneliti terpilih dalam seri penelitian bertemakan Islam in South-east Asia; Views from Within atas ikhtiarnya ini. Selamat membaca.[]

Selasa, 21 Agustus 2007

Repotnya Menjadi Minoritas

Judul Buku
:
The Prophet Muhammad SAW; A Role Model for Muslim Minorities
Penulis
:
Muhammad Yasin Mazhar Siddiqi
Penerbit
:
The Islamic Foundation
Tempat Terbit
:
London
Tahun Terbit
:
2006
Jumlah Halaman
:
230 hlm + xiii


Oleh: Nurun Nisa’

Menjadi minoritas memang tidak enak. Mereka sering menjadi korban penindasan mayoritas. Ketika sebuah kebijakan dilahirkan demi kepentingan mayoritas, saat itulah penindasan menjadi sesuatu yang niscaya bagi mereka yang minoritas.

Minoritas

Ini benar-benar terpraktek di Indonesia. Di berbagai daerah muncul perda diskriminatif bernuansa agama. Di Bulukumba, dirilis perda jilbab karena penduduk (perempuan)-nya kebanyakan beragama Islam. Yang tidak berjilbab tidak mendapatkan pelayanan di kelurahan. Sebaliknya, di Manokwari terbit rancangan perda (raperda) Kota Injil karena sebagian besar warganya memeluk agama Kristen. Nantinya umat Islam tidak boleh mengenakan simbol Islam termasuk jilbab sebab raperda tersebut memang menggariskan demikian.

Melihat realitas tersebut terbersit pertanyaan; apakah relasi antara mayoritas-minoritas memiliki pakem yang tak boleh berubah—selalu hegemonik dan dominatif seperti itu? Jika kita mau melihat fakta sejarah, rasanya tidak.

Berabad-abad lalu, Nabi Muhammad menjadi minoritas Muslim di Mekkah. Para bangsawan dan agamawan Mekkah merasa tersaingi dengan Islam yang dibawa mereka. Bangsawan-bangsawan tak mau kehilangan privilege-nya karena Islam mengajarkan persamaan antar manusia. Bukan melanggengkan kasta seperti tradisi mereka. Di pihak yang lain, kehadiran Nabi SAW menggusur pengaruh agamawan yang bercokol lama—Yahudi, Kristen, dan Pagan. Nabi SAW kemudian ditindas dan dipojokkan. Ini berlangsung lama. Di situlah, tirani mayoritas dan minoritas memperoleh keabsahan.

Nabi SAW memutuskan agar umatnya meminta suaka ke Abbesinia. Mitra dagang Mekkah ini masyhur akan rajanya yang adil, Negus. Negus menerima Ruqayyah dan Utsman bin Affan, perwakilan umat Islam dengan tangan terbuka. Ia membiarkan penganut Islam menjalankan ibadahnya meski ia penganut Kristen yang taat. Cerita kesewenang-wenangan kelompok mayoritas tidak ada lagi. Di sini dapat disaksikan bahwa hubungan antara minoritas dan mayoritas tidak selamanya tegang atawa terkungkung dalam kerangka oposisi binarian; mayoritas mesti menjadi penguasa dan minoritas tak bisa menolak takdirnya menjadi pihak yang dikuasai.

Pola baru ini terus berlanjut ketika Nabi SAW kemudian pindah (lagi) ke Madinah. Nabi SAW menjadi mayoritas tapi tak menindas. Umat lain yang minoritas, seperti Yahudi, memperoleh perlakuan yang setara. Bukti paling nyata adalah lahirnya Piagam Madinah. Semua kelompok dapat berpartisipasi tanpa pandang posisi.

Dalam posisi ini, Nabi SAW memilih membangun pusat pendidikan dan perekonomian. Masjid difungsikan dengan baik sebagai pusat pendidikan. Perdagangan dioptimalkan untuk mengembangkan kualitas umat. Keduanya mutlak. Karena umat yang kuat adalah umat yang cerdas serta makmur. Cerdas maksudnya berperadaban dan sanggup berinteraksi dengan segala perubahan zaman. Sementara makmur tak berarti kaya. Yang penting tidak miskin dan fakir. Aspek ekonomi dan aspek pendidikan tetap menjadi fokus Nabi SAW ketika diri dan umatnya bahkan ketika menjadi mayoritas. Dengan modal ini, terbukti umat Islam mampu melawan gempuran dari luar dan goncangan dari dalam untuk kurun waktu yang tidak pendek.

Di sinilah bisa ditangkap pesan bahwa umat baik minoritas atau mayoritas mestinya mengabdikan usahanya untuk mengurus hal-hal yang substansial seperti kebutuhan ekonomi dan pendidikan—hal-hal yang benar-benar dibutuhkan untuk capacity building umat. Sebab itulah, mengurus formalisasi ajaran dan doktrin agama (baca; merancang perda agama dan seterusnya) menjadi sesuatu yang layak dinomor-duakan. Tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas, juga kuantitas, sebuah umat. Demikian Nabi SAW sudah membuktikan. Begitu umat sejahtera dan cerdas, dengan segera ia menjadi umat yang beriman seperti dicitakan-citakan oleh perda-perda agama itu. Karena memang kemakmuran dan kecerdasan itu berbasis nilai-nilai agama.

Kisah panjang Nabi SAW menjadi minoritas Muslim di Makkah dan Abbesenia ini di-dedahkan dengan baik oleh Yasin Mazhar Siddiq dalam bukunya yang bertajuk “The Prophet Muhammad SAW; A Role Model for Muslim Minorities”.

Buku karya profesor Islamic Studies di Aligarh Muslim University ini memang buku sejarah. Tetapi dijamin tak menjemukan. Dalam buku ini, pembaca akan menjumpai detail Nabi SAW sebagai Muslim minoritas di Makkah dan Abbesinia dengan segala perniknya. Hunafa’, aliran (agama) penerus tradisi monotheisme Ibrahim, misalnya diceritakan dengan rinci. Lalu soal suksesi penguasa Ka’bah dari satu bani (suku atau klan, Pen.) ke bani yang lain dengan kronologis yang panjang. Juga pembeberan bukti persahabatan Muslim Mekkah dengan rakyat Abbesinia—termasuk syair-syair dari pujangga Arab tentang itu. Kisah Bilal dan Ummu Ayman dalam kapasitasnya sebagai orang dekat Nabi SAW, yang pribumi Abbesinia, juga dibeberkan dengan bagus.

Itulah bedanya dengan buku sejarah lainnya—Yasin memang ingin membikin salah satu periode dakwah Nabi SAW ini dengan sudut pandang baru. Ia dalam hal ini mengeluh soal pola penulisan sejarah yang tak berkembang sejak dimulai oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam berabad-abad lalu. Mereka membahas Mekkah hanya pada soal turunnya wahyu untuk kali pertama, pemeluk Islam pertama, dan hal-hal lain di sekitar itu. Yasin, hemat penulis, sudah berhasil melakukan tugas ini. Toh begitu Yasin tetap merendah; pekerjaannya diakui bukan sesuatu yang sempurna atau sebuah error-free work.

Akhirnya, selamat membaca. Wallahu A’lam.[]