Kamis, 15 November 2007

Rukun atau Dibikin Rukun?

Rabu malam (22/08/07), terdengar pekikan “Allahu Akbar,” di depan Gedung Gracia, Cirebon. Pekikan ini berasal dari puluhan orang yang mengaku mewakili umat Islam. Mereka datang dari kelompok Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI), Forum Umat & Ulama Indonesia (FUUI), dan Gerakan Anti Pemurtadan & Aliran Sesat (GAPAS).

Kedatangan mereka untuk menyerbu gedung itu. Sebab, pengurusnya dianggap melecehkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 01/Ber/MDN-MAG/1969 tanggal 13 September 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

“Kalau gedung itu gereja, kami tidak keberatan. Fungsinya gedung itu untuk umum, tapi disalahgunakan, makanya kami protes dan minta agar peribadatan di sana dihentikan,” kata Andi Mulya, Ketua Laskar FUI Kota Cirebon.

Silang sengketa terus berlangsung hingga Kapolsekta Cirebon Utara Barat, AKP Sukhemi dan Dandenpom III/3 Siliwangi Letkol CPM Agus datang melerai. Mereka kemudian menjembatani pertemuan dengan salah satu pengelola gedung tersebut, Andreas Budi Hartono.

Tapi rupanya ini belum selesai. Pihak korban mengadukan nasibnya ke Fahmina Institute—sebuah lembaga untuk pengembangan wacana agama kritis di Cirebon—karena merasa didiskriminasikan.

“Yang seharusnya berperan dalam masalah ini ya FKUB, bukan Fahmina,” keluh Ali Mursyid.

FKUB Kota Cirebon, menurut aktivis Fahmina Institute ini, justru tak tampak batang hidungnya ketika kasus ini mengemuka.

****


Sesungguhnya keluhan Kang Ali, panggilan akrab Ali Mursyid, ini amat wajar. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibangun dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan mestinya turut berperan dalam kasus ini. Apalagi mereka beroleh tugas khusus untuk mengawal berbagai urusan menyangkut rumah peribadatan.

Semua ini termaktub dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 9/2006 dan No. 8/2006. “FKUB Kabupaten memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat,” jelas pasal 9 ayat 2 Perber itu.

Kekecewaan terhadap FKUB ini kian menumpuk ditambah dengan permasalahan yang sejak semula ada ketika FKUB akan dibentuk; mulai dari sengketa jumlah kursi sampai sosialisasi yang minim.

FKUB Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya. Ia belum terbentuk sampai sekarang. Pihak yang terlibat ribut-ribut merasa perwakilan di FKUB tidak representatif. “Perwakilan FKUB yang dimaksud berbasis pada jumlah umat. Umat yang kuantitasnya lebih banyak akan mendapatkan kursi yang lebih banyak,” jelas Nur Khalik Ridwan.

Rebutan posisi di kalangan intern terjadi di FKUB Kab. Sukabumi. Intern Protestan di sana berseteru karena rebutan jabatan. Salah satu pihak amat ngotot duduk di jabatan itu. “Ini karena jabatan FKUB mendapat alokasi dana khusus dari APBD,” terang Daden Sukendar, Sekretaris FKUB Kabupaten Sukabumi, Rabu (19/09/07).

Di tubuh FKUB Kab. Bekasi malah keanggotaannya di-fait accompli (diputus sendiri, Red.) oleh pihak tertentu. Ketika itu, terdapat surat dari MUI setempat yang berisi usulan siapa menjabat apa dalam kepengurusan FKUB. “Mendadak FKUB terbentuk dengan 17 anggota. Rinciannya, 12 orang dari Islam dan 5 orang masing-masing dari Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu,” jelas Anton Lukito, perwakilan FKUB dari Katolik.

Sosialisasi FKUB minim untuk tataran masyarakat bawah. Padahal, seperti kasus Gedung Gracia, perannya diharapkan maksimal. Faktanya, hanya elit saja yang lebih banyak tahu soal keberadaan FKUB ini.

FKUB Propinsi Kalimantan Selatan, misalnya, nampak elitis. Sosialisasinya terbatas. “Kalangan masyarakat dan lembaga swadaya tidak begitu jelas (mengerti, Red.) dengan kiprah lembaga ini,” ujar Ghazali Rahman dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin (27/09/07).

Tak jauh beda dengan mereka adalah FKUB Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). “Di kalangan elit semua agama, FKUB di sini cukup tersosialisasi dengan baik. Tapi tidak bagi publik dan grass-root,” ungkap Jumarim dari Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (YPKM) Mataram (25/09/07).

****

Permasalahan yang menumpuk ini akhirnya berimbas pada praktek FKUB di lapangan. Misalnya, perihal mekanisme pengambilan keputusan dalam soal ditutup atau tidaknya rumah ibadat yang melenceng dari ketentuan asal.

“Sistemnya memakai voting. Jelas, kelompok mayoritas selalu menang,” terang Firman Eddy Kristiyono, pegiat Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB), tentang FKUB di Kotamadya Bekasi.

Padahal, Perber sudah menggariskan secara khusus mengenai hal ini. “Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat,” demikian bunyi Pasal 21 (1) Perber itu.

Ini dilanjutkan dengan kekacauan baru di mana prosedurnya berlangsung kilat. Hari ini surat masuk, besok sudah keluar izin untuk menutup sebuah rumah ibadat.

FKUB daerah sebelahnya, memiliki problem sama namun diselesaikan dengan cara berbeda. Ketika sebuah gereja di Lembang Sari, Tambun diperselisihkan, FKUB Kab. Bekasi tidak bisa berbuat apa-apa. Penyelesaiannya justru diserahkan kepada Pemda. Ini karena FKUB bersangkutan memiliki cara pandang yang berbeda dengan FKUB Kotamadya Bekasi.

“FKUB berpendapat bahwa landasannya adalah Perber pasal 28 ayat 1,” lanjut Anton Lukito.

Pasal tesebut menyatakan bahwa izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Perber ini dinyatakan sah dan tetap berlaku. Tetapi, sampai sekarang, kasusnya justru menggantung.

Menyikapi kasus ini saja, FKUB telihat tak seragam meski berpegang pada satu pedoman. Lalu bagaimana dengan soal yang lain?

Ini belum termasuk kompleksitas tiap daerah yang beragam tensi kehidupan keberagamaannya. Tetapi, oleh pemerintah dipaksakan ada FKUB dengan manajerial yang sama.

Keberagamaan dan FKUB NTB misalnya baik-baik saja. “Sejauh ini adem ayem,” jelas Jumarim. Sukabumi mengalami keadaan serupa. “Suasananya kondusif. Beberapa waktu yang lalu kami (sukses) mengadakan kemah keagamaan untuk kerukunan umat beragama. Pesertanya 100 orang dari berbagai kalangan agama,” tutur Daden bangga.

Daden sendiri ragu dengan kondisi daerah lain. “Di acara Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Departemen Dalam Negeri (Kesbanglinmas Depdagri) Jawa Barat, ternyata FKUB di tempat lain itu didominasi oleh kalangan Islam fundamentalis. Jadi rusuh,” imbuh Daden.

Yang ditakutkan Daden, keberadaan mereka akan berdampak pada disharmonisasi umat beragama di masa mendatang.

Ketakutan Daden ini sudah disinyalir oleh Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The WAHID Institute. “FKUB rawan diselewengkan dan disusupi kepentingan politik lainnya, seperti elit politik lokal maupun elit agama tertentu yang ada di daerah,” jelasnya (24/07/07). Jika terjadi, di mata pegiat jaringan advokasi kerukunan umat beragama ini, FKUB berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap umat beragama dari kelompok tertentu.

****


Dengan semua lika-liku di atas, FKUB sebenarnya dapat dipertanyakan perannya dalam konteks perukunan umat beragama.

“Tugas FKUB sebenarnya bisa dijalankan oleh masyarakat karena mereka sudah dewasa. Sudah bisa rukun sendiri,” tandas Daden.

Tugas pertama FKUB seperti termuat dalam Perber pasal 9 berupa melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menurut Daden, sudah dilakukan elemen masyarakat sejak dulu kala—jauh sebelum FKUB ada. Tugas yang lainnya seperti sosialiasi peraturan dan penyalur aspirasi masyarakat semestinya dilakukan oleh anggota badan perwakilan rakyat.

Tugas yang sudah dilakukan oleh masyarakat ini antara lain dijalankan oleh forum kerukunan swadaya masyarakat sendiri. Bukan forum resmi seperti FKUB. Namun, sifatnya partikelir alias non-pemerintah sehingga lebih cair sekaligus tidak birokratis.

Dalam hal ini, kita bisa menyaksikan kiprah Forum Sabtuan (FORSAB) Cirebon. “Forum lintas agama ini berdiri sejak 26 Desember 2006,” jelas KH. Husein Muhammad, salah satu pengurusnya yang juga pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon.

Mereka rutin membicarakan berbagai hal demi meretas kejumudan dialog antar-agama secara bergiliran di rumah anggotanya, markas Fahmina Institute atau sesekali di hotel. Acaranya sepekan sekali.

Juga Forum Gedangan di Salatiga. Forum yang berdiri sejak 22 Februari 1998 ini dimotori oleh KH. Mahfudz Ridwan dan beranggotakan warga dari berbagai agama dan etnis. Tidak hanya kegiatan antar agama yang dilakukan, tetapi juga kegiatan kemanusiaan. Antara lain pemberian bantuan kepada korban gempa Yogyakarta.

Ada lagi Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jaka Tarub) di Bandung. Lembaga yang dikomandoi Dindin Abdullah Ghazali ini secara mandiri (pernah) menerbitkan majalah Bianglala secara berkala. Isinya info dan advokasi seputar pluralisme. Pengurusnya pun kerap menggelar acara yang melibatkan dengan peserta lintas agama. Misalnya saja diskusi bersama soal puasa ditinjau dari perspektif berbagai agama.

Selain kedewasaan masyarakat tersebut, ada soal lain yang perlu diberi perhatian. Bahwa masyarakat kita ini sebenarnya baik-baik saja dan damai tanpa keberadaaan FKUB. Kisruh ada di tingkatan elit saja.

“Masyarakat di bawah itu baik-baik saja. Tak ada kisruh soal rumah ibadah,” tutur Anton Lukito menyitir hasil investigasi lembaganya, FKUB Bekasi, tentang keluhan agar gereja di daerahnya ditutup. Penghembus isu dalam kasus tersebut ternyata para golongan elit agama. Sementara masyarakat di daerahnya tak meributkan apa-apa.

Yang buruk, misi FKUB dalam beberapa kondisi malah kontra-produktif. Masyarakat menjadi kurang harmonis seiring gencarnya penutupan rumah ibadah. “Intensitas penutupan rumah ibadah meninggi pasca terbentuknya FKUB,” tutur Firman Eddy Kristiyono.

****


Toh demikian, FKUB sudah eksis. Tetapi bagaimana reaksi masyarakat sendiri?

FKUB tidak lain dan tidak bukan adalah campur tangan negara atas pemerintah atas proyek bersama bernama kerukunan antar umat beragama. Betapa tidak, lembaga kerukunan ini memiliki payung hukum tersendiri, mempunyai kewajiban yang sangat rigid, dan dibiayai alokasi dana khusus melalui APBD. Bahkan ada dewan penasehat yang terdiri dari unsur pemerintah daerah dan Departemen Agama di wilayah bersangkutan.

Sesungguhnya keinginan negara untuk memproteksi umat beragama adalah wajar sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Termasuk membikin lembaga semacam FKUB. Namun, tidak jarang hal ini dilakukan dalam kadar berlebihan.

"Kebutuhan akan stabilitas dan tanggung jawab sebagai pemerintah, membuat pemerintah sering ikut campur dalam urusan intern agama(-agama) ini," jelas Hairus Salim HS dalam tulisannya yang berjudul Kebijakan Agama Masa Orde Lama dan Orde Baru (2004).

Ironisnya, hemat aktivis Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yoygakarta ini, keikutsertaan pemerintah dalam pengaturan hubungan antar agama itu sendiri tak jarang justru memperkeruh hubungan antar-agama itu sendiri. Ini terbukti dalam kasus di Cirebon dan Bekasi.

Campur tangan ini bisa jadi dianggap sebagai perlindungan atas mayoritas di mana mereka dijaga kepentingannya dalam kasus perizinan rumah ibadah. Sebaliknya, bagi minoritas, prosedur demikian ibarat bencana, Beribadah mirip dengan bepergian ke luar negeri sebab banyaknya dokumen yang harus diurus.

Dokumen yang dimaksud adalah Izin Prinsip Pendirian Rumah Ibadat (IPPRI) dan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat (IMBRI) yang diterbitkan Bupati/Wali Kota. IPPRI dan IMBRI bisa keluar berdasar rekomendasi FKUB tingkat kelurahan/desa yang disahkan kepala desa, rekomendasi FKUB kecamatan yang telah disahkan camat, rekomendasi FKUB kabupaten/kota, rekomendasi Kepala Kantor Depag kabupaten/kota. Dan, daftar nama dan alamat kepala keluarga sesuai KTP setempat yang akan menjadi jemaat rumah sebanyak 90 orang.

Apa yang akan terjadi? "Akan ada birokratisasi agama dan tempat ibadat," tandas Rumadi dalam artikelnya yang bertajuk Birokratisasi Tempat Ibadah (2005).

Peneliti The WAHID Institute ini mendasarkan pendapatnya pada FKUB yang sangat struktural dan bentuk kepengurusannya yang amat hierarkis.

Di sinilah, negara dengan diam-diam sebenarnya sedang menunjukkan kekuasaannya. "Kebijakan khususnya menyangkut hubungan antar-agama(-agama) dan negara, antar-agama-agama, dan antar-internal suatu agama itu telah menjadi bahasa dan kekuasaan," terang Anas Saidi dalam tulisannya yang bertitel Agama sebagai Variabel Sosial; Sebuah Pengantar (2005).

Peneliti LIPI ini juga menyebut kebijakan yang demikian sebagai "teknologi politik" pengaturan dan pengontrolan terhadap masyarakat.

Dengan realitas begini, apakah masyarakat mau menerima kembali kontrol negara melalui FKUB seperti zaman Orde Baru dulu? Atau FKUB hendak disiasati agar sesuai dengan tuntutan Orde Reformasi sekarang ini?

****


FKUB bisa saja dipermak atawa disiasati dalam aras tertentu agar tidak terlalu terkooptasi oleh kepentingan negara. Sehingga, keberadaannya bermanfaat untuk publik. Misalnya saja dalam soal keanggotaan, pembiayaan, dan minimalisasi eksploitasi pemerintah.

“Teman-teman pegiat pluralisme mestinya ikut masuk lembaga ini supaya FKUB tidak menjadi forum kaum fundamentalis,” usul Daden.

Yang lain menganggap bahwa alokasi dana untuk FKUB sedikit demi sedikit dikurangi setelah misinya untuk mendewasakan masyarakat dalam soal kerukunan terpenuhi.

“Nantinya dana ini bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan untuk rakyat,” tutur Ridlwan Nasir, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya kepada The WAHID Institute (03/10/07).

Ia mendasarkan opininya pada lembaganya telah berpengalaman bekerja sama dengan FKUB Propinsi Jawa Timur menggelar pendidikan kerukunan untuk masyarakat dari berbagai karesidenan di sana.

Atau pendapat dari salah satu penyusun draft Perber, Ridwan Lubis. “FKUB ini tidak boleh dieksploitasi oleh pemerintah. Garansinya, mereka yang akan diangkat menjadi pengurus FKUB direkomendasikan oleh majelis agama masing-masing,” tandas mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depag ini kepada The WAHID Institute (05/10/07

****

Akhirnya, FKUB tidak mungkin dibubarkan. Konstitusi mengharuskan demikian. Tetapi, menerima FKUB yang resmi dan menampik forum sejenis yang tak resmi juga bukan sebuah keharusan.

Masyarakat cuma wajib rukun dengan sesamanya, baik kepada mereka yang berlainan agama maupun yang seagama. Tak perlu dibikin rukun, bukan? Wallahu A’lam.

Gus Dur: Idola (Baru) Remaja

Judul Buku : Gus Dur…Asyik Gitu Loh

Penulis : Maia Rosyida

Penerbit : The WAHID Institute

Tahun Terbit : 2007

Jumlah Halaman : 98 hlm

Oleh: Nurun Nisa'


Keliru besar kalau Anda menyangka bahwa Gus Dur cuma pujaan khusus kalangan dewasa dan orang-orang politik saja. Mau bukti? Buku bertitel Gus Dur…Asyik Gitu Loh akan membalikkan anggapan Anda selama ini.

Gus Dur Asyik

Buku karya Maia Rasyida, siswi Sekolah Menengah Universal (SMU) Qaryah Thayyibah, ini membingkai kekaguman remaja terhadap sosok Gus Dur dengan bahasa khas anak gaul sekarang. Namun isinya tetap bernas.

Ini dapat dicermati dari lembar-lembar tulisannya. Di awal, misalnya, kita bisa melihatnya dengan baik dalam soal penggambaran fisik Gus Dur.

“Gus Dur itu ganteng? Setuju banget. Tepatnya, good looking abis. Rasanya nggak perlu lagi sibuk hunting cowok muda yang segar dan punya perut six pack. Gus Dur (memang) jika dilihat dari struktur wajah mungkin masih boleh dibilang kalah jauh sama Brad Pitt atau aktor siapalah itu yang bisa bikin cewek-cewek yang ngelihat langsung teriak histeris. Diliat dari postur badan juga boleh dikatakan Gus Dur masih jauh dari sempurna….Tapi kenapa kita bisa lebih betah mandangin wajah Gus Dur daripada para icon cover boy yang banyak nampang di majalah remaja itu?” (hlm. 11)

Dara kelahiran 1987 ini punya jawabnya. Gus Dur enak dipandang sebab beliau memiliki segudang kharismatik dan inner beauty luar biasa. Tak lain ia adalah seorang intelektual yang menata hidupnya dengan akhlak dan selalu disirami dengan ilmu. Waktu SD saja Gus Dur sudah akrab dengan karya-karya Karl Marx, catatan-catatan pemikir Marxisme, dan berbagai macam buku filsafat.

Kita dapat pula membaca komentar Maia terhadap pembelaan Gus Dur atas goyangan Inul yang kontroversial itu.

“Sikap Gus Dur membela Inul dari kecaman orang-orang yang mengaku Islam adalah cerminan sikap Rasulullah. Rasulullah gak perlu pake kekerasan ketika mendidik umatnya yang masih belum tau. Karna Gus Dur tau betul Inul itu belum begitu tau agama, maka dia mengayominya dengan cara yang kalem. Menunjukkan begitulah Islam. Mengajak berpikir, tak boleh keras, dan sangat menghormati perbedaan pemikiran,” (hlm. 39).

Sikap bijak Maia ini, bagi penulis, melebihi kadar usianya. Bahkan melampaui penentang Inul, yang sebagiannya, terang benderang tidak menunjukkan kematangan usia mereka dalam merespon isu yang sama. Mereka tak mampu menyampaikan perbedaan pendapat dengan santun. Cuma berani unjuk kekuatan saja layaknya preman (berjubah).

Lain lagi soal korupsi. Maia prihatin betul dengan korupsi dan pengadilan yang tak kunjung unjuk gigi. Maia salut dengan gaya Gus Dur yang potong kompas demi mengamputasi budaya korupsi secara radikal.

“Korupsi udah nggak mau tau tempat lagi. Ini mungkin satu hal yang yang menyebabkan negeri ini menjadi hopeless untuk bisa bersih...pengadilan juga udah banyak yang punya dwifungsi. So..biar pengadilan jadi layak disebut adil dan terpercaya, kira-kira gimana yah caranya? Nggak ada harapan banget nih. Kuncinya emang pemimpin mesti tegas dan bersih. Berani dan tanggung jawab dunia wal akherat. Kaya’ Gus Dur ajalah. Santai gitu. Tinggal pecat sana pecat sini. Asyik tuh. Nggak bertele-tele dan habis. Meski beresiko tinggi, ya emang begitu kan resikonya jadi orang jadi orang nomor satu? Begitu kan resikonya seorang pembela kebenaran?” (h. 52).

Mendengar ini, para politikus, aparat penegak hukum, dan tentu saja para koruptor itu sendiri selayaknya merenung. Atau malah malu. Sebab, remaja yang masih bau kencur saja tahu dan bisa memilih yang terbaik; bahwa kebenaran dan kebersihan mestilah dijadikan pegangan hidup seperti dipraktikkan Gus Dur. Bukan berlindung di balik kebohongan atau justru menggadaikan diri dengan kekuasaan. Padahal, mereka tahu perkara ini lebih dalam dan lebih banyak ketimbang seorang remaja seumuran Maia. Tapi mereka tak mau melakukannya.

Buku setebal 98 hlm ini layak baca untuk semua kalangan. Diksinya renyah—namun tak sampai jatuh pada kegenitan remaja yang kadangkala membikin tulisan menjadi barisan kosakata prokem yang tak ada isi sama sekali.

Meski begitu, ia tetaplah buku bergizi tinggi. Ini dapat dilihat dari rujukan pendapat Maia; mulai dari puisi-puisi Gus Mus, cerita-cerita Abu Nawas, Sirah Nabawiyah sampai kaidah-kaidah fiqhiyyah yang lumayan rumit.

Buku ini gue banget buat para teman remaja. Para orang tua tidak perlu khawatir membaca buku ini. Dijamin tidak akan merasa digurui. Justru mereka dijadikan teman bicara yang setara. Wallahu A’lam.