Rabu, 19 Maret 2014

GUSTI TAK MAU PERGI

“Kamu merasa bahagia?,” Tyas menanyakannya lagi kepada Gusti. Tyas sebenarnya hanya sekedar menanyakan perasaan terdalam mantan lelakinya. Memastikan Gusti baik-baik saja sejak mereka berpisah setahun lalu. Sejak itu, komunikasi terputus. Tyas memutuskan diam. Hanya mengirimkan senyum singkat ketika bertemu dengan sang mantan. Sebaliknya, Gusti masih menggebu. Lelaki itu yang memutuskan, tetapi juga ia tidak terima ketika Tyas tak lagi berkata-kata seperti biasa. Melihat Tyas mogok bicara, Gusti semakin menjadi-jadi. Berkali-kali ia mengirim pesan di media social bisa tiga kali sehari. Layaknya minum obat. Gusti Arifin mengirim tiga pesan. “Halo, apa kabar?” “Sudah makan belum?” “Selamat bobok, Dinda”. Tyas menghela nafas. Tyas baru saja memikirkan teman SMA-nya itu. Ia melihatnya bengong di taman fakultas, seperti ada yang mengganjal. Ia segera menuju ke kamar tidur –selimut biru lau itu seperti menariknya. “Apalagi, Gusti? Kau yang mengakhiri dan sekarang kau kacau begini,” Tyas memikirkannya lagi. Tapi hatinya menolak. Gusti yang memutuskan pergi. Tyas sudah menahannya, dan Gusti lebih suka menyenangkan egonya. Setahun tanpa percakapan memang menyiksa. Tapi Tyas menahan diri—percakapan hanya mewariskan kesedihan. Mungkin lebih buruk lagi: menyalahkan satu sama lain. Memang iya jika dikatakan akhir hubungan mereka karena tidak ada yang mengalah. “Aku sudah sering mengalah. Aku capek tiap hari begini,” Gusti berteriak keras-keras. “Aku menunggumu setiap pulang kerja. Aku selalu menelponmu lebih dulu jika kita berselisih paham. Aku membelamu di depan ibuku, apapun kesalahanmu. Aku sabar dengan semua keluhanmu yang tak pernah berubah setahun,” Gusti segera menggelar semua jasanya serupa tukang obat yang biasa praktek di Monas menjelang akhir pekan." “Aku juga yang menjengukmu sewaktu sakit. Kamu? Aku telpon berkali-kali. Itu jika moodmu bagus”. Isi hati Gusti tumpah ruah. Seribu kata ia keluarkan, tapi rupanya Gusti belum ingin berhenti. “Itu belum seberapa sakit. Sikapmu kemarin itu merusak segunung harapku”. Tyas mendadak pucat. Hanya kalimat Gusti yang membuatnya terhenyak. Gusti adalah orang yang bisa membuatnya bertahan. Riwayat cintanya adalah siklus tiga bulan. Tiga bulan berbunga-bunga. Tiga bulan ribut besar dan konflik semi besar. Tiga bulan berikutnya, ribut maha besar. Tersebutlah Septian, Reza, dan Galih. Tiga nama dan siklus tiga bulan. Tyas menganggap biasa. Lebih dari tiga kali tiga bulan, kisah cinta hanya akan jadi hambar tidak karuan. Kalau ia masih ada, bagi Tyas, berarti ada tambahan pengawet. Makanya, setelah siklus ini lewat, dua belah pihak biasanya tak begitu sehat. Harap maklum, namanya juga cinta pengawet. Rina dan Rita adalah karibnya. Mereka adalah contoh terbaik teori cinta Tyas. Tyas sering meledek. “Rina, kamu itu cantik minta ampun. Kenapa masih bertahan dengan Farid?” Rina cuma mengulum senyum. Farid sering ingkar janji. Sudah begitu kelakuannya bak polisi: tiap Rina pergi tanpa izin, segera diinterogasi. Tapi ia punya seribu alasan untuk membuat Rina meleleh. Rita sudah bahan makanan Tyas. Si cewek super duper pinter ini punya banyak penggemar. Cuma, ia sudah klik dengan Mamet. Teman kelasnya tetapi memiliki IP mengecewakan. “Aku memilih setia, Tyas,” Rita memberikan alasannya bertahan.Tapi Tyas tak percaya. Mamet itu banyak tingkah. Ia suka bikin modus kepada cewek-cewek manis jika Rita absen ke kampus. Sesuai dengan ramalan Tyas, tingkh belagu cowok ini dimulai sejak bulan keempat. Ya, tiga bulan kedua. Tyas baru pensiun meledek setelah bertemu Gusti. Gusti adalah pacarnya yang maha. Selalu menjemputnya hingga kerjanya setahun. Meminta maaf lebih dulu ketika dia yang khilaf. Dan ia begitu terharu ketika ia dipilih daripada ibu Gusti—ia tanpa sengaja memecahkan pot kesayangan ibunya. Tyas tidak mungkin selamat jika Gusti tidak tanggap. Ibu Gusti adalah tipe amat-setia-terhadap-segala-miliknya. Setia macam ini pula yang ditunjukkan kepada mendiang ayahnya. “Dan tadi siang, mengapa kamu bersama Septian? Tidak ada stok sabar buatmu lagi!” “Septian itu terus kamu ceritakan sepanjang tiga bulan!” “Septian itu yang tahu lebih banyak tentang kamu!” Tyas tak lagi sabar mendengar kalimat Gusti yang beranak pinak. “Aku tidak pernah memintamu Gusti. Merengek segala yang kau sebutkan tadi. Tidak pernah sama sekali,” Tyas berhenti. Ia tidak hendak berkata begini, tapi kalimat ini tak bisa ditarik lagi “Tapi aku berterima kasih engkau rela memberi. Tolong jangan pergi, Gusti,” Tyas menghiba. Ia mengganti kata-kata kerasnya—ia ingat segala jerih pacarnya itu sejak siklus tiga bulan ketiga. Ini satu-satunya alasan tidak bertahan. Tidak ada yang menahannya pergi seperti Gusti. Tidak Septian atau mantannya yang lain. Tyas harus puas ketika Gusti benar-benar pergi. Dengan pengalamannya selama ini, Tyas menjadi orang dengan move on yang professional. Begitu doi pergi, ia ke kamar. Menangis dengan satu box tisu. Setelah itu makan menu aneh di kafe paling mahal di kota. Jika badan masih kuat, ia ke bioskop menonton film Bollywood. Tentu saja hape Tyas dimatikan dan pergi dari rumah tanpa pesan. Hampir setahun berjalan, Tyas merasa bergembira. Upayanya akan berhasil. Sampai pesan itu kembali datang. Lalu, ia mengeluarkan jurus lamanya. “Kamu merasa bahagia?” “Jika iya, teruskan saja pesan berantaimu”. “Jika sudah tidak ada, maka itu saatnya berhenti”. Tyas menekan enter dan pesan itu segera menuju ke akun Facebook Gusti. Gusti senang dengan balasan ini. Tapi matanya nanar. Pesan itu kejam sekali buat Gusti. Serupa tombak yang dibidikkan ke ulu hati. Ia tentu tidak bahagia denga cara begini. Tapi apa daya? Siang tadi, ia tak sengaja bertemu Tyas di kantin kampus. Matanya bersirobok dengan perempuan berkulit pualam itu. Gusti membayangkan Tyas akan gugup. Seharusnya iya, sebab Tyas yang menahannya pergi. Halo, dan tersenyum lalu berlalu dari hadapannya. Hanya itu saja. Tyas sepert robot cerdas era ini. Ia tak terima dan karenanya terus berkirim pesan. Makan apa pagi ini, Dinda? Hati-hati di jalan ya. Seharian mendung.. Jangan pikirkan Septian lagi. Dia membonceng Rita dengan mesra Tiga bulan itu hanya ramalan Tiga bulan itu teori yang akan segera berganti Tyas membacanya, dan terus membacanya lagi. Ia mengetik kembali: “Kamu merasa bahagia?”