Jumat, 24 Agustus 2007

Empat Langkah Memusuhi Sang Liyan

Buku Iqbal Ahnaf

Judul : Image of The Other as Enemy; Radical Discourse in Indonesia
Penulis : Muhammad Iqbal Ahnaf
Jumlah Hal. : 76 hal
Penerbit : AMAN - Silkworm Books, Bangkok
Tahun Terbit : 2006

Oleh Nurun Nisa’

“He is a good man. I respect him. But, unfortunately, he is a Christian. We should be careful”.

Demikian tuturan seorang petinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan S Awwas, ketika ditanyai soal tokoh terkemuka dialog antar-iman asal Yogyakarta yang beragama Nasrani, Th. Sumartana.

Ungkapan tersebut serasa bernada curiga. Kesan yang timbul, boleh saja ia baik hati, tapi kalau beda agama, nanti dulu. Kita harus berhati-hati terhadap orang yang beda agama. Walaupun sama-sama manusia, posisinya cenderung dianggap sebagai sang liyan, the others atawa al-akhar. Dengan status tersebut, sang liyan layak di-lain-kan. Kalau perlu dianggap sebagai musuh, enemy.

Tak ada asap kalau tak ada api. Begitupun tentang persepsi ‘musuh’ ini. Ini diungkapkan oleh Muhammad Iqbal Ahnaf dalam bukunya yang bertajuk The Image of The Other as Enemy; Radical Discourse in Indonesia.

Berdasarkan penelitiannya terhadap Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia di Yogyakarta, Iqbal menyimpulkan bahwa citra musuh ini sesuatu yang diproduksi dan direproduksi.

Citra ‘musuh’ ini diproduksi melalui dua aspek; teologis dan historis. Dari aspek teologis, citra ‘musuh’ disandarkan pada ayat-ayat al-Qur’an. Ada kata ‘aduwwun mubin, musuh yang nyata. Dianggap musuh karena mereka akan selalu mengajak masuk ke agamanya. Ikhtiar ini tak akan berhenti, kecuali kiamat datang. Siapa tidak takut dengan wanti-wanti model begini? Jadi, pantaslah kalau kita merasa harus ber-syakwasangka terhadap liyan. Meski ini adalah pemahaman literal.

Yang kedua melalui aspek historis. Konflik yang bertubi-tubi antara umat Islam dan non-muslim yang tak berkesudahan sampai kini. Sebut saja konflik di Ambon dan Poso. Atau konflik Israel-Palestina untuk kontek luar negeri. Tidak bisa tidak, jika disimpulkan, Islam dan agama lain memang tidak dapat di-damaikan alias saling bermusuhan.

Kemudian, citra musuh ini direproduksi melalui empat pola. Pertama, ideologisasi. Yakni, dengan menegaskan keunggulan sistem Islam sekaligus menekankan kegagalan sistem sekuler. Caranya dengan memakai simbol dan gambar yang memberi pesan ideologis itu.

Kedua, demonisasi. Yaitu mencitrakan sang liyan sebagai ancaman, culas, barbar, dan tidak beradab. Ketiga, insistensi (baca; bersikeras) atas apa yang disebut dengan benturan antara sistem Islam dan non-Islam yang didasarkan pada keyakinan superioritas sistem yang pertama atas yang kedua. Pola ini membawa pada penolakan untuk berbagi, berkompromi atau bernegosiasi dengan sang liyan.

Keempat, imajinasi atas kemenangan Islam yang akan segera datang menggantikan kapitalisme yang tengah kolaps. (Sistem) Islam diandaikan sebagai kekuatan adidaya.

Proses produksi dan reproduksi atas citra sang liyan sebagai musuh, secara kasat mata, memang tidak menyebabkan problem serius atau konfrontasi dalam soal relasi dengan sang liyan. Ini terbukti dengan kekerasan yang tidak pernah dilakukan oleh HTI dan MMI di Yogyakarta sejauh amatan Iqbal.

Akan tetapi, pencitraan sang liyan sebagai musuh, bagaimanapun, termasuk ‘kekerasan simbolik’ seperti digambarkan oleh Pierre Bordeau. Kekerasan simbolik ini merupakan pemaksaan sistem simbolisme dan makna (seperti agama) atas kelompok atau komunitas lain, sehingga (seakan-akan) hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sah. Atau yang digambarkan De Lauretis sebagai ‘kekerasan retorik’.

Kedua jenis kekerasan ini merupakan diskursus yang tidak objektif dan monolitik. Juga menciptakan generalisasi stigma dan membuat pernyataan provokatif melawan sang liyan yang potensial menyulut konflik dan kekerasan fisik.

Buku ini unik karena menggunakan analisis media sebagai metodologi penelitiannya. Segala macam terbitan dan pidato para pemimpin MMI dan HTI diteliti sedemikian rupa sehingga melahirkan pelbagai kesimpulan menarik. Iqbal diganjar oleh Asian Muslim Action Network (AMAN) sebagai salah satu peneliti terpilih dalam seri penelitian bertemakan Islam in South-east Asia; Views from Within atas ikhtiarnya ini. Selamat membaca.[]

Tidak ada komentar: