Kedatangan mereka untuk menyerbu gedung itu. Sebab, pengurusnya dianggap melecehkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 01/Ber/MDN-MAG/1969 tanggal 13 September 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
“Kalau gedung itu gereja, kami tidak keberatan. Fungsinya gedung itu untuk umum, tapi disalahgunakan, makanya kami protes dan minta agar peribadatan di
Silang sengketa terus berlangsung hingga Kapolsekta Cirebon Utara Barat, AKP Sukhemi dan Dandenpom III/3 Siliwangi Letkol CPM Agus datang melerai. Mereka kemudian menjembatani pertemuan dengan salah satu pengelola gedung tersebut, Andreas Budi Hartono.
Tapi rupanya ini belum selesai. Pihak korban mengadukan nasibnya ke Fahmina Institute—sebuah lembaga untuk pengembangan wacana agama kritis di
“Yang seharusnya berperan dalam masalah ini ya FKUB, bukan Fahmina,” keluh Ali Mursyid.
FKUB Kota Cirebon, menurut aktivis Fahmina Institute ini, justru tak tampak batang hidungnya ketika kasus ini mengemuka.
Sesungguhnya keluhan Kang Ali, panggilan akrab Ali Mursyid, ini amat wajar. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibangun dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan mestinya turut berperan dalam kasus ini. Apalagi mereka beroleh tugas khusus untuk mengawal berbagai urusan menyangkut rumah peribadatan.
Semua ini termaktub dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 9/2006 dan No. 8/2006. “FKUB Kabupaten memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat,” jelas pasal 9 ayat 2 Perber itu.
Kekecewaan terhadap FKUB ini kian menumpuk ditambah dengan permasalahan yang sejak semula ada ketika FKUB akan dibentuk; mulai dari sengketa jumlah kursi sampai sosialisasi yang minim.
FKUB Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya. Ia belum terbentuk sampai sekarang. Pihak yang terlibat ribut-ribut merasa perwakilan di FKUB tidak representatif. “Perwakilan FKUB yang dimaksud berbasis pada jumlah umat. Umat yang kuantitasnya lebih banyak akan mendapatkan kursi yang lebih banyak,” jelas Nur Khalik Ridwan.
Rebutan posisi di kalangan intern terjadi di FKUB Kab. Sukabumi. Intern Protestan di
Di tubuh FKUB Kab. Bekasi malah keanggotaannya di-fait accompli (diputus sendiri, Red.) oleh pihak tertentu. Ketika itu, terdapat
Sosialisasi FKUB minim untuk tataran masyarakat bawah. Padahal, seperti kasus Gedung Gracia, perannya diharapkan maksimal. Faktanya, hanya elit saja yang lebih banyak tahu soal keberadaan FKUB ini.
FKUB Propinsi Kalimantan Selatan, misalnya, nampak elitis. Sosialisasinya terbatas. “Kalangan masyarakat dan lembaga swadaya tidak begitu jelas (mengerti, Red.) dengan kiprah lembaga ini,” ujar Ghazali Rahman dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3)
Tak jauh beda dengan mereka adalah FKUB Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). “Di kalangan elit semua agama, FKUB di sini cukup tersosialisasi dengan baik. Tapi tidak bagi publik dan grass-root,” ungkap Jumarim dari Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (YPKM) Mataram (25/09/07).
****
Permasalahan yang menumpuk ini akhirnya berimbas pada praktek FKUB di lapangan. Misalnya, perihal mekanisme pengambilan keputusan dalam soal ditutup atau tidaknya rumah ibadat yang melenceng dari ketentuan asal.
FKUB daerah sebelahnya, memiliki problem sama namun diselesaikan dengan cara berbeda. Ketika sebuah gereja di Lembang Sari, Tambun diperselisihkan, FKUB Kab. Bekasi tidak bisa berbuat apa-apa. Penyelesaiannya justru diserahkan kepada Pemda. Ini karena FKUB bersangkutan memiliki cara pandang yang berbeda dengan FKUB Kotamadya Bekasi.
“FKUB berpendapat bahwa landasannya adalah Perber pasal 28 ayat 1,” lanjut Anton Lukito.
Pasal tesebut menyatakan bahwa izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Perber ini dinyatakan sah dan tetap berlaku. Tetapi, sampai sekarang, kasusnya justru menggantung.
Menyikapi kasus ini saja, FKUB telihat tak seragam meski berpegang pada satu pedoman. Lalu bagaimana dengan soal yang lain?
Ini belum termasuk kompleksitas tiap daerah yang beragam tensi kehidupan keberagamaannya. Tetapi, oleh pemerintah dipaksakan ada FKUB dengan manajerial yang sama.
Keberagamaan dan FKUB NTB misalnya baik-baik saja. “Sejauh ini adem ayem,” jelas Jumarim. Sukabumi mengalami keadaan serupa. “Suasananya kondusif. Beberapa waktu yang lalu kami (sukses) mengadakan kemah keagamaan untuk kerukunan umat beragama. Pesertanya 100 orang dari berbagai kalangan agama,” tutur Daden bangga.
Daden sendiri ragu dengan kondisi daerah lain. “Di acara Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Departemen Dalam Negeri (Kesbanglinmas Depdagri) Jawa Barat, ternyata FKUB di tempat lain itu didominasi oleh kalangan Islam fundamentalis. Jadi rusuh,” imbuh Daden.
Yang ditakutkan Daden, keberadaan mereka akan berdampak pada disharmonisasi umat beragama di masa mendatang.
Ketakutan Daden ini sudah disinyalir oleh Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The WAHID Institute. “FKUB rawan diselewengkan dan disusupi kepentingan politik lainnya, seperti elit politik lokal maupun elit agama tertentu yang ada di daerah,” jelasnya (24/07/07). Jika terjadi, di mata pegiat jaringan advokasi kerukunan umat beragama ini, FKUB berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap umat beragama dari kelompok tertentu.
Dengan semua lika-liku di atas, FKUB sebenarnya dapat dipertanyakan perannya dalam konteks perukunan umat beragama.
“Tugas FKUB sebenarnya bisa dijalankan oleh masyarakat karena mereka sudah dewasa. Sudah bisa rukun sendiri,” tandas Daden.
Tugas yang sudah dilakukan oleh masyarakat ini antara lain dijalankan oleh forum kerukunan swadaya masyarakat sendiri. Bukan forum resmi seperti FKUB. Namun, sifatnya partikelir alias non-pemerintah sehingga lebih cair sekaligus tidak birokratis.
Dalam hal ini, kita bisa menyaksikan kiprah Forum Sabtuan (FORSAB)
Mereka rutin membicarakan berbagai hal demi meretas kejumudan dialog antar-agama secara bergiliran di rumah anggotanya, markas Fahmina Institute atau sesekali di hotel. Acaranya sepekan sekali.
Juga Forum Gedangan di Salatiga. Forum yang berdiri sejak 22 Februari 1998 ini dimotori oleh KH. Mahfudz Ridwan dan beranggotakan warga dari berbagai agama dan etnis. Tidak hanya kegiatan antar agama yang dilakukan, tetapi juga kegiatan kemanusiaan. Antara lain pemberian bantuan kepada korban gempa
Selain kedewasaan masyarakat tersebut, ada soal lain yang perlu diberi perhatian. Bahwa masyarakat kita ini sebenarnya baik-baik saja dan damai tanpa keberadaaan FKUB. Kisruh ada di tingkatan elit saja.
“Masyarakat di bawah itu baik-baik saja. Tak ada kisruh soal rumah ibadah,” tutur Anton Lukito menyitir hasil investigasi lembaganya, FKUB Bekasi, tentang keluhan agar gereja di daerahnya ditutup. Penghembus isu dalam kasus tersebut ternyata para golongan elit agama. Sementara masyarakat di daerahnya tak meributkan apa-apa.
Yang buruk, misi FKUB dalam beberapa kondisi malah kontra-produktif. Masyarakat menjadi kurang harmonis seiring gencarnya penutupan rumah ibadah. “Intensitas penutupan rumah ibadah meninggi pasca terbentuknya FKUB,” tutur Firman Eddy Kristiyono.
Toh demikian, FKUB sudah eksis. Tetapi bagaimana reaksi masyarakat sendiri?
FKUB tidak lain dan tidak bukan adalah campur tangan negara atas pemerintah atas proyek bersama bernama kerukunan antar umat beragama. Betapa tidak, lembaga kerukunan ini memiliki payung hukum tersendiri, mempunyai kewajiban yang sangat rigid, dan dibiayai alokasi dana khusus melalui APBD. Bahkan ada dewan penasehat yang terdiri dari unsur pemerintah daerah dan Departemen Agama di wilayah bersangkutan.
Sesungguhnya keinginan negara untuk memproteksi umat beragama adalah wajar sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Termasuk membikin lembaga semacam FKUB. Namun, tidak jarang hal ini dilakukan dalam kadar berlebihan.
"Kebutuhan akan stabilitas dan tanggung jawab sebagai pemerintah, membuat pemerintah sering ikut campur dalam urusan intern agama(-agama) ini," jelas Hairus Salim HS dalam tulisannya yang berjudul Kebijakan Agama Masa Orde Lama dan Orde Baru (2004).
Campur tangan ini bisa jadi dianggap sebagai perlindungan atas mayoritas di mana mereka dijaga kepentingannya dalam kasus perizinan rumah ibadah. Sebaliknya, bagi minoritas, prosedur demikian ibarat bencana, Beribadah mirip dengan bepergian ke luar negeri sebab banyaknya dokumen yang harus diurus.
Apa yang akan terjadi? "Akan ada birokratisasi agama dan tempat ibadat," tandas Rumadi dalam artikelnya yang bertajuk Birokratisasi Tempat Ibadah (2005).
Di sinilah, negara dengan diam-diam sebenarnya sedang menunjukkan kekuasaannya. "Kebijakan khususnya menyangkut hubungan antar-agama(-agama) dan negara, antar-agama-agama, dan antar-internal suatu agama itu telah menjadi bahasa dan kekuasaan," terang Anas Saidi dalam tulisannya yang bertitel Agama sebagai Variabel Sosial; Sebuah Pengantar (2005).
Dengan realitas begini, apakah masyarakat mau menerima kembali kontrol negara melalui FKUB seperti zaman Orde Baru dulu? Atau FKUB hendak disiasati agar sesuai dengan tuntutan Orde Reformasi sekarang ini?
FKUB bisa saja dipermak atawa disiasati dalam aras tertentu agar tidak terlalu terkooptasi oleh kepentingan negara. Sehingga, keberadaannya bermanfaat untuk publik. Misalnya saja dalam soal keanggotaan, pembiayaan, dan minimalisasi eksploitasi pemerintah.
Yang lain menganggap bahwa alokasi dana untuk FKUB sedikit demi sedikit dikurangi setelah misinya untuk mendewasakan masyarakat dalam soal kerukunan terpenuhi.
Atau pendapat dari salah satu penyusun draft Perber, Ridwan Lubis. “FKUB ini tidak boleh dieksploitasi oleh pemerintah. Garansinya, mereka yang akan diangkat menjadi pengurus FKUB direkomendasikan oleh majelis agama masing-masing,” tandas mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depag ini kepada The WAHID Institute (05/10/07
****
Akhirnya, FKUB tidak mungkin dibubarkan. Konstitusi mengharuskan demikian. Tetapi, menerima FKUB yang resmi dan menampik forum sejenis yang tak resmi juga bukan sebuah keharusan.
Masyarakat cuma wajib rukun dengan sesamanya, baik kepada mereka yang berlainan agama maupun yang seagama. Tak perlu dibikin rukun, bukan? Wallahu A’lam.
3 komentar:
Hei, ini Nisa yang di WI kan ya?
Saidiman
www.saidiman.wordpress.com
He2..ya.
Terima kasih sudah mampir ke blog saya..
* Di sini ada cerita
Tentang cinta
Tentang air mata
Tentang tetesan darah
Disini ada cerita
Tentang kesetiaan
Juga pengkhianatan
Disini ada cerita
Tentang mimpi yang indah
Tentang negeri penuh bunga
Cinta dan gelak tawa
Disini ada cerita
Tentang sebuah negeri tanpa senjata
Tanpa tentara
Tanpa penjara
Tanpa darah dan air mata
Disini ada cerita tentang kami yang tersisa
Yang bertahan walau terluka
Yang tak lari walau sendiri
Yang terus melawan ditengah ketakutan!
Kami ada disini
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com
Posting Komentar