Oleh: Nurun Nisa’
PERGULATAN AWAL; BERTEMU DENGAN HAL-HAL YANG TAK TERPIKIRKAN
Apakah perempuan didiskriminasikan oleh agama? Dulu saya tidak mempersoalkannya sama sekali. Itu pertanyaan remeh; tidak menggelitik—bahkan terkesan kontraproduktif. Tidak mungkin jenis kelamin menjadi alasan pembedaan. Tuhan Maha Adil. Mustahil perempuan diperlakukan secara tidak sama dengan laki-laki. Bukankah mereka sama-sama makhluk Tuhan yang diciptakan dari satu jiwa? Begitu kata guru yang amat saya hormati ketika menimpali kegelisahan saya. Saya meyakini itu. Beliau malah menguatkannya dengan sitiran kalimat Ilahi. Kuat sudah pendirian saya. Demikianlah, tidak ada persoalan dengan ke-perempuan-an.
Namun, pikiran tersebut ternyata merupakan bias dari kehidupan keluarga saya. Bias, karena pengalaman saya adalah sebuah partikularitas. Bukan universalitas. Tidak semua perempuan bernasib “seberuntung” saya. Saya diperlakukan dengan proporsional. Dengan amat seimbang. Nyaris tidak terdapat pembedaan. Apa-apa yang diberikan orang tua kepada anak laki-laki selalu didistribusikan kepada anak perempuan. Pekerjaan berkisar menyapu, mencuci, membersihkan rumah sama sekali tidak mengenal jenis kelamin. Ada pembagian secara sistematis. Yang tertua sampai mereka yang tergolong usia baligh harus mau melakukannya. Jangan sampai pekerjaan-pekerjaan tersebut dilanggar. Ibu dan bapak bisa marah besar. Kakak lelaki saya lebih mahir memasak ketimbang saya. Itu tidak tabu. Urusan mengecat sanggup saya kerjakan dibantu yang lain. Pun persoalan yang cukup sensitif: urusan menuntut ilmu. Semua anak-anaknya, ibu selalu mengatakannya demikian, harus sekolah setinggi mungkin. Tidak ada yang boleh mengulangi kesalahannya di masa lalu; kesempatan belajar timpang karena perspektif yang masih berputar pada kisaran male-civilization.
Namun, semakin lama pertanyaan tersebut kian memuncak. Memancing perdebatan saja. Ah, pikir saya, itu pertanyaan yang mendendam. Ia terlontar oleh mereka [perempuan-perempuan] yang dijahati oleh kaum lelaki. Mereka tidak mampu membalaskannya secara setimpal, lalu disebarkanlah “virus kebencian”. Paling tidak dengan cara ini, lelaki-lelaki tersebut dapat tersiksa dengan perlahan. Lalu kalah dan tersingkir. Sebuah demagogi, kata Romo Haryatmoko, yang cantik dan sistemik. Atau, ke-iri-an yang menyelimuti relasi lelaki vis-à-vis perempuan. Selalu saja terdapat kelebihan laki-laki. Perempuan ter[di]singkirkan. Mungkin dalam segi prestasi. Atau penis envy seperti disangkakan Sigmund Freud. Sebentuk alat yang penuh kuasa; yang dengan tebaran spermanya, mampu memfasilitasi terciptanya sebuah kehidupan baru. Dengan tanpa kesusahan. Tak perlu hamil seperti halnya perempuan. Ngidam, apalagi PMS (Pre Menstruation Syndrom), kaum lelaki tidak pernah mengalaminya sama sekali. Dan, itu terjadi karena laki-laki memiliki penis. Penis, bukan vagina. Penis akhirnya tidak dapat ditampik menjadi common enemy perempuan—saya tidak termasuk di dalamnya, saya mengambil posisi berseberangan dengan mereka—yang harus dilawan.
Dan, realitas demikian terus berjalan dan merapat ke seluruh pelosok pikiran saya. Ya, bagi saya pertanyaan tersebut lebih didasari naluri emosional dibanding nalar rasional. Kesimpulannya: pertanyaan tersebut memang tidak bermutu sama sekali. Sampai usia 17-an, saya tetap meyakininya dengan kuat. Tapi semuanya hampir rubuh, ketika saya dipertemukan dengan realitas di dunia lain. Dunia yang amat berlainan dengan dunia saya. Sebuah dunia yang mengerikan. Dunia yang tidak ramah dengan perempuan. Saya sedih dan mencak-mencak ketika tersadar. Teman dekat saya selama ini ternyata diperlakukan dengan tidak manusiawi. Dengan alasan berjenis kelamin perempuan, ia diperlakukan tidak wajar. Ia bekerja full time dalam keluarga. Semua acara kerumahtetanggaan dibebankan padanya. Itu tugas perempuan. Ringkasnya, apa-apa yang termasuk Triple M (Memasak, Menyusui, dan Melahirkan)—demikian Ratna Megawangi mendeskripsikan—wajib dikerjakan.
Berat sekali tugas perempuan, pikir saya. Perempuan harus menjadi super kuat. Karena siapapun tahu bahwa kerja-kerja rumah tangga adalah selama 24 jam penuh. Dari mata terbuka hingga terpejam. Dan, itu membutuhkan stamina lebih. Berbeda dengan laki-laki. Ia membanting tulang paling lama dalam kisaran 12 jam. Selebihnya, dirinya dapat menjadi majikan. Tinggal memanggil, datanglah istri atau anak [perempuan]. Dengan sekejap, kopi dan makanan ringan terhidang. Asyik sekali. Bila ternyata terdapat masalah di tempat kerjanya, ia berhak melepaskannya di rumah. Itu boleh dan absah, kata teman lelaki saya. Saya pun tercengang. Relasi macam apa ini? Laki-laki begitu didewakan. Centrum, katakanlah. Sementara perempuan tidak lain merupakan orang-orang pinggiran. Suaranya hampir-hampir termarjinalkan. Subaltern—meminjam istilah Gayatri Spivak—mungkin kata yang paling tepat, demi menggambarkan perempuan. Posisi subaltern adalah posisi yang sama sekali di luar kekuasaan. Suaranya tidak didengarkan. Partisipasinya tidak diharapkan. Jika keadannya demikian, benarkah perempuan lahir untuk didiskriminasikan? Tidak. Tidak. Saya belum mau berpikir demikian. Pendirian saya memang melemah, tapi bukan berarti saya berpindah. Saya menjadi pendukung mereka yang menebarkan “virus kebencian” kepada laki-laki? Belum. Hanya satu bukti saja. Itu perlu diragukan. Bisa saja, ia merupakan kekecualian.
Bulan berikutnya saya mendapat kejutan. Teman perempuan pesantren saya merasa “kedaulatan”nya dilangkahi. Ia memang tidak pernah menyebutnya demikian. Namun dengan bahasa sederhana, ia berkata: “Privasiku dilanggar”. Dengan tuturan dan argumen yang lumayan sistematis, saya mantap; bahwa yang dimaksudkan adalah kedaulatan dirinya. Itu tidak penting. Tapi ceritanya menarik. Surat-surat kiriman teman karibnya ternyata disensor lebih dulu sebelum dibaca, asalkan isinya tidak bertentangan dengan peraturan pesantren. Salah satunya, dilarang surat-menyurat yang berkaitan dengan “urusan perasaan”. Haram. Zina sughra. Jika telah seperti itu, jangan pernah berharap membacanya; melihat berkasnya saja sudah cukup beruntung. Kenyataan demikian terus berlanjut sampai sekarang. Sejatinya, ia tidak mempersoalkan masalah pemeriksaan. Tapi kenapa harus laki-laki? Bukankah banyak santri perempuan? Mereka tidak mungkin begitu bodoh sehingga tidak mampu membedakan antara surat yang “benar” dan tidak. Perempuan tidak diperhitungkan. “Tidak adil”, ia mengakhiri kisahnya. Rupanya ini tidak terjadi di lingkungan abangan—teman saya di awal berasal dari kalangan bukan santri—namun di ranah kehidupan di mana nilai-nilai agama begitu lekat. Pengasuhnya tidak melakukan upaya apapun. Agama tidak berbuat apapun. Sementara perempuan tetap dengan ikhlas melakukan apapun untuk menyempurnakan keberagamaannya. Perempuan tidak berniat sedikitpun keluar dari agamanya lalu menjadi atheis hanya karena didzalimi agama. Benarkah ucapan Carol Tavris, bahwa paling bersahabat dengan perempuan adalah agama; yang paling tidak bersahabat dengan perempuan adalah agama? Saya pun limbung.
Mengapa runyam seperti ini? Belum sempat berpikir jernih, muncul goncangan bertubi-tubi. Saudara [laki-laki] saya dengan setengah berkelakar menyatakan untuk tidak akan memperistri perempuan melebihi dirinya. Utamanya jenjang pendidikan si calon istri. Perempuan itu akan dibimbingnya. Akan dididik dengan benar. Diproyeksikan sedemikian rupa sehingga menjadi istri shalihah. Ciri-cirinya terdapat pada istri yang mampu menyenangkan perasaan suami; istri yang menuruti segala kemauan suami. Dan, berkuasalah suami melebihi orang tua istri. Ia melanjutkan opininya dengan terus mengulang hikayat dalam kitab Uqudullujain. Hikayat yang amat saya hafal sampai sekarang. Ketika itu, terdapat seorang perempuan sedang mendapati ayahnya kesakitan. Ia sudah menjenguknya. Sampai suatu saat, ayahnya tidak kuat menahan sakit hingga kepayahan. Tibalah masa-masa sakaratul maut. Si istri diundang untuk segera datang. Istri menolak karena tak ada izin dari suami; waktu itu suaminya sedang tidak berada di rumah. Padahal, jarak keduanya—rumah si istri dengan orang tuanya sangat dekat. Istri di lantai atas sementara keluarga orangtuanya di lantai bawah. Merasa sudah mendesak, si istri didatangi kembali. Si istri tetap tak bergeming. Suaminya sudah wanti-wanti untuk tidak keluar sebelum ia datang. Sang ayah keburu dijemput ajal sebelum suami anaknya datang. Datang kabar tak terduga; seluruh dosa ayahnya dihapuskan karena kepatuhan istri terhadap suami. Suami, lanjut saudara saya, berperan penting. Seandainya si istri memaksa datang, tidak mungkin terjadi demikian.
Apalagi ini? Penghormatan luar biasa kepada suami; melebihi orang tua yang telah bersusah payah membesarkannya? Bukankah ini merupakan idolisasi suami; pemberhalaan suami? Ini menyimpang, pikir saya. Suami hampir-hampir saja “menyamai” Tuhan. Sulit diterima akal untuk ukuran Islam yang notabene tauhid; monotheis. Dan, tidak. Kali ini saya tidak sangup menoleransi lagi. Bahwa perempuan didiskriminasi adalah nyata dan di depan mata. Kemana saja saya selama ini?
Saya kembali limbung. Kehilangan pegangan; yang terakhir saya dengar membuat saya berpikir ulang tentang relasi perempuan vis-à-vis laki-laki. Saya harus luruh oleh penyangkalan terhadap keyakinan pihak yang selama ini terkesan pendendam terhadap figur laki-laki. Harus berputar haluan. Inilah satu-satunya usaha yang dapat saya kerjakan untuk memperbaiki dosa besar. Sebuah dosa karena telah membiarkan sesama perempuan terjebak dalam kondisi penuh ketidakadilan. Padahal, jelas-jelas terdapat kemampuan untuk merubah keadaan. Tibalah saya di titik mengejutkan. Tidak terdesain sama sekali. Saya tanpa sengaja berubah menjadi pribadi ekstrimis.
TENGAH-TENGAH; MENJADI EKSTRIMIS
Fase ini begitu saja mengaliri pikiran dalam otak saya. Bisa jadi inilah reaksi balik atas kebodohan yang telah terlanjur saya pelihara tanpa rasa kebersalahan.
Waktu itu, tahun ajaran baru menjelang. Saya masuk UIN Jakarta. Sebuah pergumulan panjang sebenarnya. Dilematis; saya (di)harus(kan) nyantri atau kuliah. Tapi itu selalu saya banggakan hingga kini. Teman-teman berjibaku dengan kemuraman masa depan, saya justru kebingungan menentukan pilihan. Apalagi untuk teman-teman perempuanku. Sebut saja madesur (masa depan suram) bagi mereka. Tidak ada pilihan menggembirakan. Bekerja atau segera dipinang orang. Tragis. Amat tragis, karena mereka sekedar melaksanakan. Tidak ada pelibatan. Palu diketuk dan tanpa ba bi bu langsung dilaksanakan.
Sebenarnya faktor ekonomi bukan landasan utama penentu masa depan mereka. Kalau saja tekad sudah bulat, semua bisa disiasati. Tapi, ternyata ada penanaman ideologi di sana. Pihak-pihak tertentu merasa berkewajiban untuk mengamankan masa depan gadis-gadis tersebut. Ada kekhawatiran terselubung. “Jangan-jangan anakku tidak laku”. “Bersegeralah menikah atau kamu jadi perawan tua”. “Tidak usah bekerja keras, toh nanti suamimu yang menafkahi”. “Perempuan tidak perlu keberhasilan dan kecerdasan; bisa jadi bumerang; susah jodohnya”. Begitu kira-kira ungkapan para orang tua.
Dan, dampaknya ternyata luar biasa. Asa perempuan-perempuan tersebut dilemahkan dengan percuma. Akhirnya, mereka terserang “Cinderella Complex”. Virus yang tak kalah kejam dibanding virus HIV. Tidak terdeteksi jika dilihat di permukaan an sich. Tapi jangan ditanyakan efeknya. Virus ini mendekonstruksi pemikiran perempuan untuk tidak mandiri. Bukan tidak mampu, tapi tidak mau. Ia ingin ditolong seorang pangeran. Sama halnya ketika gadis bernama Cinderella bangkit dari keterpurukan setelah dinikahi seorang pangeran. Ya, mitologisasi Cinderella tepatnya, seperti diungkapkan Collete Dawling. Mereka yang terinfeksi pada stadium lanjut akan menderita luar biasa; menjadi takut sukses. Apalagi jika bukan karena dihinggapi ketakutan; ketakutan tidak didatangi pangeran tampan berkuda hitam. Si perempuan sudah dapat mengurus hidupnya sendirian—tentu saja tidak memerlukan uluran tangan pangeran. Bisa saja si perempuan mengelak. Tapi, norma-norma sosial amat impersonal. Bahwa perempuan harus takluk di hadapan laki-laki adalah sebuah keharusan. Jika tidak, bisa dicap sebagai deviant; penyimpang. Dan itu, tegas David Berry, tidak bisa dibiarkan. Harus dilenyapkan. Meski timpang, toh yang berlaku tetap demikian. Tetap belum bisa dilawan.
Saya tidak akan munafik. Saya juga terserang virus tersebut. Namun, saya masih dilimpahi keberuntungan. Orang-orang di sekitar saya jarang sekali menanamkan demikian. Ada penghargaan; untuk laki-laki dan perempuan disamakan. Kesempatan untuk hijrah ke Jakarta, bagi kebanyakan perempuan, adalah suatu kemenangan. Tidak, bagi saya. Itu hak saya. Takdir milik saya. I’ll make my destiny!
Lalu sayapun bertualang. Saya kejar buku-buku apapun. Kanan atau kiri bukan persoalan. Asalkan memberi asupan informasi; itu saja! Dan, saya menemukan dua nama memikat: Nawal el Saadawi (Mesir) dan Fatima Mernissi (Maroko). Keduanya menakjubkan. Tegas berpendirian. Cerdas berargumen. Yang pasti, feminis banget!
Yang pertama terkenal dengan novelnya yang dekonstruksionis. Ketika budaya dominan men-subyek-kan laki-laki, Nawal begitu tegar melawan arus. Tidak tanggung-tanggung, trilogi karyanya begitu gemuruh. Novelnya bercerita tentang dokter perempuan yang meninggalkan “belahan hatinya” dengan mantap; “pelacur” yang menabalkan dirinya sebagai penguasa para lelaki hidung belang; perempuan yang sanggup menjatuhkan imam. Tiga-tiganya tidak lain merupakan representasi dari pilihan hidupnya untuk membebaskan perempuan.
Gila! Dahsyat! Jenius! Kesan itu begitu saja muncul dengan spontan. “Seandainya perempuan itu benar-benar ada di depan saya sekarang!” Saya malah ingin melihatnya di depan mata. Bagi Nawal, perempuan tidak wajib berjilbab, penyamaan hak waris perempuan dengan laki-laki adalah keharusan mengingat 35% keluarga Mesir bergantung kepada perempuan, dan mencium Hajar Aswad dalam ibadah haji adalah praktek jahiliyah—dikatakan melecehkan agama. Tapi, saya menjadi geram kemudian ketika sebuah kata pedas meluncur, “Nawal harus dihukum,” begitu kata Nabil al Wash—seorang pengacara, laki-laki. “Nawal mesti diceraikan dari suaminya, Syarif Hetata!”, lanjutnya. Alasannya satu: suaminya Muslim sementara Nawal sudah kafir. Meski akhirnya ditolak oleh yang berwajib, toh, ini sudah terlontar ke publik. Pasti ada respons balik. Apapun hanya satu yang ingin saya tandaskan: pengacara itu begitu kejam, gegabah, dan sok kuasa.
Dengan begitu mudah, Nawal dikafirkan. Dengan begitu enteng pula, Nabil menuntut Nawal dan Sharif dipisahkan. Wow, ini yang namanya amar ma’ruf nahi munkar? Tidak mulia sekali! Saya tak bakal mau melakukannya mesti dijanjikan reward yang begitu besar. Tidak akan! Lagipula, Tuhan mustahil menginginkan demikian. Tuhan tidak se”sangar” itu. Tuhan Maha Lembut. Itu pekerjaan orang yang merasa paling benar; bahwa Islam hanya terdiri dari satu pandangan. Truth claim.
Dan, Fatima Mernissi amat saya idolai. Ia begitu menggebu—dan seringkali amat ekstrim—menyoal relasi perempuan-lelaki. Ya, itu bisa dimaklumi. Mernissi sudah sekian lama dikungkung oleh adat harem; budaya pendomestikasian untuk perempuan seperti terjadi di Fez, kota kelahirannya di Maroko. Ada kepenatan, kekesalan, dan emosi yang meluap atas perlakuan yang dialaminya; di-harem-kan. Sementara ia tak jua menemukan jalan demi mengusahakan pembebasan dirinya. Kecuali neneknya, Lala Yasmin, Mernissi tidak pernah menemukan partner tepat untuk mengatasi penderitaannya. Sama sekali tidak ada. Kerabatnya seolah sudah mati rasa; tak ada reaksi sama sekali. Mungkin saja, mereka telah teramat biasa menyaksikan ketimpangan perhubungan perempuan-lelaki. Mernissi sendirian dalam pemberontakan.
Mungkin, Mernissi hampir senasib dengan Kartini. Kartini dikurung oleh budaya pingit. Bedanya, Kartini didomestikasi ketika ia sudah dinilai pantas menikah. Namun demikian, Mernissi lebih beruntung. Sementara Kartini kalah oleh perkawinannya dengan laki-laki berpoligami, Mernissi tetap tegar menyuarakan perlawanan. Ketika Kartini hanya boleh berkomunikasi dengan surat-menyurat, Mernissi telah membuat berpuluh-puluh buku. Tentu, saya tidak memungkiri bahwa Mernissi hidup di zaman pasca kolonial dan Kartini menjalani pergulatannya di tengah kolonialisme yang bengal.
Mernissi dengan kebenciannya yang amat dalam menggebrak dunia feminisme Islam dengan ide-ide radikal. Sebagian pemikir laki-laki menganggapnya gila; memusuhi laki-laki di atas ambang normal. Dia mengusulkan surga tandingan. Sejarah tandingan. Tafsir tandingan. Semua itu demi membebaskan perempuan.
Apa yang dilakukan oleh Mernissi bukanlah kegilaan—dalam arti sesungguhnya; sebagai suatu penyakit yang wajib disembuhkan—melainkan sebuah reaksi wajar. Bagaimana tidak ia berteriak keras ketika pembelengguan dirinya begitu sarkas. Mereka yang menggangapnya gila—terlalu simplistis. Mereka tidak pernah mengalami penderitaan serupa. Jelas itu sebuah kritik yang tidak proporsional!
Kegigihannya Mernissilah yang membuat saya mengaguminya begitu dalam. Saya amat sepakat dengan gagasan jenialnya. Kita harus menandingi laki-laki dalam hal apapun. Semua yang bisa dilakukan laki-laki dapat dilakukan perempuan. Misalnya: belajar dan meraih IP tinggi adalah sesuatu yang pasti. Mengecat atau mengangkat beban berat mutlak disanggupi. Pun, bermain sepakbola, bulu tangkis yang selama ini identik dengan laki-laki.
Ringkasnya, selama perbuatan-perbuatan yang bisa saya lakukan untuk mengalahkan hegemoni laki-laki—akan saya tanggung demi memperoleh posisi sederajat. Lebih dari itu, benak saya mengandaikan laki-laki sebagai musuh bersama (common enemy) bagi perempuan. Konflik antara keduanya sebesar pertentangan sosialisme-kapitalisme. Akan abadi dan tidak akan pernah bisa diakhiri.
Dan, tak dinyana, saya menemukan persinggahan tepat. Saya bertemu dengan teman dekat saya dan bergabung dengannya di sebuah forum studi perempuan di Ciputat. Kebetulan, forum ini mempunyai cukup bargain; ia cukup diperhitungkan oleh forum studi lain yang mayoritas dinakhkodai laki-laki. Jelas, itu sebuah nilai lebih. Bagaimana tidak, meski Ciputat kental dengan aktivisme intelektual—perempuan tetap saja (di)bungkam. Ada saja faktor penghambat. Perempuan di satu sisi enggan tampil karena mendapat sebuah pressure psikologis dari laki-laki. Ini terlihat antara lain di bangku kuliah. Bagaimana suasana kelas menjadi gemuruh ketika seorang perempuan angkat bicara. “Gender, gender.” Apa ini? Saya amat kesal mendapatkan perlakuan demikian. Tentu, bereaksi serupa tak banyak membantu. Cuma memuaskan emosi sesaat. Akhirnya, lontaran-lontaran tersebut harus dianggap angin lalu jika ingin tetap melaju. Betul, saya tidak pernah mendengarnya lagi karena telah membiasakan diri untuk kebal. Dan dengan leluasa, saya akhirnya bisa mengungkapkan segala keluh kesah tentang berbagai persoalan perkuliahan.
Tapi, (pem)bungkam(an) ternyata belum berakhir. Perempuan, terutama teman terdekat saya, merasa risih untuk sendirian beraktivitas. Malu, takut pulang malam, ogah dianggap tak punya partner, malas disuiti oleh laki-laki iseng selalu menjadi tameng saat aktivisme intelektualnya dipertanyakan. Please deh, jika keadaan ini berjalan terus, bagaimana nasib perempuan ke depan? Akankah “perempuan” ter(di)tulis oleh sejarah—history? Benar, ini merupakan tanda-tanda keruntuhan perempuan yang selama ini jadi ramalan?
Tidak. Saya tidak mau pikiran-pikiran buruk di atas menjadi terulang. Ya, saya harus bisa melakukan aktivisme intelektual meski sendirian. Kalau bukan kita, siapa lagi? Harus ada martir. Harus ada yang merelakan diri untuk menjadi tumbal demi perbaikan ke depan. Tapi, itu bukan saya. Saya sekedar merealisasikan keinginan pribadi. Saya terlalu gegabah untuk bersedia menjadi tumpuan. Mungkin, ini harapan saya, forum studi perempuan itu bisa menjadi awal perubahan.
Akhirnya, saya all out di sana. Saya belajar menjalarkan nalar melalui diskusi mingguan. Saya diajari menghargai perbedaan dalam tiap pertemuan. Saya dituntut untuk bertanggung jawab secara personal. Saya dicetak menjadi perempuan mandiri; semua pekerjaan mesti dilakukan sendirian tanpa berharap mendapat bantuan. Saya benar-benar mendapat bekal tidak bernilai. Apa yang saya cari, ternyata saya dapati.
“Terima kasih, Tuhan atas perjumpaanku dengan mereka”, saya melantukan pujian tersebut berulang-ulang; pujian untuk sebuah anugerah yang tidak boleh putus untuk disyukuri.
Seterusnya, saya ditempa untuk menjadi ekstrim. Saya dengan sadar dikonstruk untuk memahami perhubungan lelaki-perempuan yang timpang—dengan paradigma radikal, ekstrimis. Bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan relasi perempuan dan laki-laki selalu ditekankan dalam setiap pertemuan. Dan, itu harus didekonstruksi. Tidak bisa ditoleransi lagi. Kita, sebagai perempuan, harus melakukan tindakan.
Mau tak mau terjadi penetrasi ke dalam; internalisasi. Internalisasi ini kemudian berimbas pada sikap saya sehari-hari. Laki-laki bagi saya tidak perlu diramahi. Dalam hal ini, laki-laki secara frontal layak “dimusuhi”. Perempuan harus melakukan perlawanan jika diperlakukan tak adil. Semua laki-laki saya perlakukan demikian; kecuali saudara laki-laki saya—karena bukan pribadi yang Uqudullajain minded—dan ayah saya dengan kesetiaan dan kelembutannya yang amat dalam pada ibu. Selain itu, jangan tanya lagi: tak ada toleransi.
Saya akan berteriak-teriak dengan keras bila diperlakukan tidak sebagai manusia utuh. Saya bisa menyumpah-nyumpah ketika bertemu dengan laki-laki iseng yang dengan ringan menyuiti tiap perempuan. Saya bahkan dengan sinis segera menganggap pujian laki-laki sebagai gombalisasi atawa gembelisasi—plesetan dari globalisasi—meski terkadang diringi ketulusan. Tidak tersisa sedikitpun ruang untuk berdamai. “Ah, laki-laki semua sama saja. Selalu ada maunya. Egois pula.” Itulah citra laki-laki. Saya merasa benar untuk klaim ini. Saya mendapatinya secara pribadi. Saya juga mendengarnya dari teman-teman sendiri.
Kebencian demikian semakin kuat didasari oleh perjumpaan saya dengan teks-teks agama. Ada teks yang membedakan bagian warisan perempuan dan laki-laki secara rigid: 1 dibanding 2. Ada ayat yang melanggengkan kuasa patriarkhi—laki-laki merupakan pemimpin atas perempuan. Lalu kewajiban “khitan” atas perempuan yang disinyalir untuk memberangus seksualitas perempuan; khawatir menyaingi libido laki-laki. Atau, perempuan diharamkan menjadi pemimpin. Tidak sepele, negara akan mengalami kehancuran jika pemimpin dipaksakan untuk dipasrahkan kepada perempuan. Dan, yang paling saya benci: kebolehan laki-laki berpoligami sementara poliandri dihujat habis-habisan.
Saya sejak kecil selalu didoktrin untuk memercayai bahwa agama saya, Islam, sarat dengan nilai-nilai keadilan. Persoalan waris tentu saja memegang teguh nilai keadilan. Perempuan mendapat satu bagian dan laki-laki dua bagian tidak menjadi problem serius. Kenapa? Mereka akan menikah—harta keduanya akan digabung dan menjadilah 3 bagian yang lebur tanpa nama. Laki-laki memang layak menjadi pemimpin; ia kuat dan tangguh. Ia makhluk rasional—mampu menjernihkan persoalan dengan tepat. Ini jelas tidak bisa dilakukan oleh perempuan yang terlalu emosional dalam menghadapi berbagai permasalahan. Wah, kalau khitan itu wajib? Ya, biar perempuan tidak terlalu liar. Biar mereka tidak berangasan. Kalau tidak bisa jadi perempuan memuaskan nafsunya dengan serampangan. Ini bisa menggoyahkan stabilitas masyarakat. Tahu kan, bahwasanya perempuan adalah tiang negara. Tahu kan, bahwa barometer baik atau tidaknya suatu negara ditentukan oleh keadaan perempuan; jika perempuan di suatu negara “baik” maka negara dianggap baik, pun sebaliknya. Ini tugas perempuan. Artinya, perempuan harus ditundukkan demi sebuah stabilitas, ketertiban, dan keteraturan negara. Rasional kan?
Sesudah itu, saya diceramahi lagi. Perempuan tidak bisa memimpin. Mereka seharusnya diprivat(kan). Kodratnya memang menjadi ibu rumah tangga—pengasuh dan pelindung anak-anaknya. Itu saja—tidak usah macam-macam. Coba lihat, berapa banyak negara yang maju. Mereka mendapat kemakmuran dan kesejahteraan karena dipimpin oleh laki-laki. Dan jangan lupa: Nabi SAW sudah menashnya demikian. Nabi SAW sudah pernah bersabda bahwa negara tidak menemui keberuntungan jika dipimpin oleh seorang perempuan. Lagipula itu sudah dibuktikan oleh kejatuhan kerajaan Persia semenjak kerajaannya dipimpin oleh sang putri Kisra. Sudah ada bukti, sudah ada nash—kamu mau berdalih apa lagi? Itu sangat, sangat masuk akal.
Mengapa laki-laki boleh berpoligami? Agama telah mengabsahkannya. Apakah perempuan mau suaminya “jajan” di luar karena tidak mendapatkan kepuasan dari istrinya sendiri? Jika tetap dilarang, itu artinya membiarkan mereka jatuh ke lembah perzinaan. Lebih baik mempunyai istri lebih dari satu ketimbang bermain dengan PSK, bukan? Lagipula, ada persyaratan agar tidak semua laki-laki melakukan poligami secara sembarangan. Mereka harus adil! Tentu, derajat keadilan harus dipandang dari segi materi. Persoalan perasaan dan kecondongan hati adalah masalah yang rumit—tidak bisa disamaratakan dengan disribusi materi. Yang paling penting, Nabi SAW pernah melakukan. Poliandri jelas tidak pernah mendapatkan legalisasi. Dan, bukankah lebih repot mengurusi banyak suami. Satu suami saja, mereka harus stand by selama 24 jam. Walhasil, poliandri lebih banyak mengundang mudharat ketimbang manfaat. So what?
Saya terdiam. Saya dihabisi. Waktu itu, argumen yang diucapkan sulit untuk ditampik. Bahkan, diutarakankan oleh orang yang berilmu agama luas. Bagaimana saya dapat membantah? Nalar orang yang saya hormati itu, guru saya, tidak terjangkau oleh pikiran-pikiran awam saya.
Saya baru menemukan jawaban balik-nya ketika “nyantri” di forum studi perempuan tersebut. Banyak buku saya dapatkan, namun saya begitu menyaluti argumentasi Mernissi, feminis idola saya.
Pertama, memang bagian perempuan akan terlihat tidak berpengaruh jika kemudian digabungkan dengan bagian laki-laki. Ini tidak bisa tidak harus dilalui lewat mekanisme pernikahan. Tetapi, apakah semua perempuan dan laki-laki dapat dipastikan bersedia menjalankan ritual ini? Dulu memang iya; ketika hegemoni agama kuat ditambah norma-norma masyarakat yang mengikat. Namun, ketika kemandirian dan kedamaian serta anak tidak melulu diperoleh lewat pernikahan—pernikahan bukan lagi sebuah “kebutuhan pokok”. Sebagian menikah dan yang lain tidak.
Yang memilih menikah, persoalan keadilan belum tentu terselesaikan: harta tidak bisa dilebur semudah membalik telapak tangan. Keduanya tidak otomatis sepakat menggabungkan harta masing-masing. Dan, ini akan amat pelik jika dihadapkan dengan fenomena kekinian. Pasangan suami istri ramai-ramai memisahkan harta masing-masing; harta gono-gini, demikian ia disebut. Bahkan, ketika perceraian menjadi pilihan—harta gono-gini mendapatkan perhatian dalam porsi yang dominan. Masihkah disebut adil bila kenyataan di lapangan berbicara berbeda? Buta terhadap realitas jika kita tetap mempertahankan ucapan demikian.
Kedua, kepantasan laki-laki memimpin. Memang, sejarah dipenuhi oleh keberhasilan pemimpin laki-laki. Namun, itu tidak dapat dapat digunakan langsung untuk mengafirmasi superioritas laki-laki atas perempuan. Siapapun mafhum, jika sejarah adalah milik penguasa; laki-laki telah menang atas perempuan karena ditopang oleh struktur yang patriarkhal. Pernah dan pasti ada perempuan yang memimpin. Lihat, bagaimana kebesaran Ratu Bulqis dari negeri Saba’ memimpin kerajaannya seperti tertuang dalam Alqur’an. Belum cukup? Perhatikan prestasi pemerintahan Perdana Menteri Margareth “Iron Woman” Tatcher dari Inggris atau keberhasilan Golda “Tangan Besi” Meir memantapkan stabilitas Israel yang baru saja berdiri. Sulthanat Shafiyatuddin pernah berjaya di Samudra Pasai Aceh. Ini tidak termasuk sederetan ratu di belakang layar seperti ditulis dalam Ratu-ratu Islam Yang Terlupakan oleh Fatima Mernissi. Memang minim jika dibandingkan dengan kuantitas laki-laki; ya—karena akses laki-laki lebih lebar.
Ada yang perlu diperbaiki dari paradigma berpikir laki-laki. Selain legitimasi dari hadits: mereka menerapkan beban ganda: perempuan harus bisa berjuang menjadi pemimpin lalu harus sukses. Jika tidak, maka perempuan tidak layak memimpin. Boleh saja, tapi mereka dzalim. Beban itu tidak diletakkan di pundak pemimpin laki-laki. Berhasil atau tidak kepemimpinannya—laki-laki secara general tetap paling berhak memimpin. Bukankah dunia telah dirusak oleh totalitarianisme, penindasan HAM, korupsi, pembantaian massal, perang, dan perusakan alam lingkungan oleh pemimpin bernama laki-laki? Satu hal, hadis tentang kepemimpinan tersebut tidak berharga mati. Ia datang bukan dari ruang hampa. Ia bersenyawa dengan konteks masa kini. Ia dilatarbelakangi oleh kekurangmampuan sang putri untuk memimpin kerajaan Persia. Dan, periwayatan hadisnya—sebagaimana pendapat Mernissi—lemah karena terdapat nama Abu Bakrah yang kurang diperhitungkan kredibilitasnya. Masih bertahan dengan pendapat klasik di atas? Jika demikian, alasan ketidakbolehan perempuan memimpin lebih didasari nafsu untuk menghegemoni ketimbang atas dasar membela teks suci.
Ketiga, poligami. Adil sebenarnya milik perempuan. Artinya, suami dianggap adil jika itu merupakan jawaban sang istri. Akan lebih obyektif jika dibanding dengan adil versi laki-laki. Sederhana: siapa individu yang mau mengakui celanya sendiri—kalau tidak untuk disimpan rapat? Mereka yang berpoligami tidak pernah melakukannya bukan? Kalau persoalan menahan hasrat, perempuan pun bisa mengadukan hal yang sama. Poligami menguntungkan laki-laki. Mendasarkan poligami sebagai melestarikan tradisi Nabi? Bull shit. Puspowardoyo memakai alasan ini ketika ia menikahi tiga perempuan setelah istri pertamanya. Demikian ia tetap bersikukuh. Padahal, istri keduanya dinikahi tanpa sepengetahuan dan seizin istri pertama. Ketiganya berstatus tidak janda ketika sedang dinikahi. Semua perkara tersebut tidak pernah dijalankan oleh Nabi. Kalau mau, nikahi saja janda-janda Aceh!
Inilah sikap saya. Benar: agama sudah mendiskriminasikan perempuan. Marginalisasi perempuan sudah bukan persoalan ketika dilegitimasi agama. Pantas, jika laki-laki dengan ringan meminggirkan perempuan. Merasa berdosa? Jelas, tidak. Regulasi agama telah membolehkan. Demikian apik perselingkuhan agama dan laki-laki terus berjalan, tidak terdapat pemberontakan dari perempuan yang signifikan. Selemah itukah perempuan? Ternyata ada kesadaran palsu, kata Marx, di benak perempuan. Paradigma perempuan didesain untuk selalu membiarkan laki-laki menindas perempuan. Perempuan “disangkarkan”—dirumahkan untuk selalu beraktivitas di wilayah privat. Hal itu tidak boleh dibantah karena sudah dinash. Lagipula, perempuan butuh perlindungan. Perempuan dilarang berkeliaran di luar, berbahaya! Di situlah, bekerja sebuah represi yang tidak kentara: kekerasan simbolik. Melalui mekanisme ini, perempuan diberangus kritisismenya. Tatanan patriarkhi dianggap biasa—kalau laki-laki memperoleh kedudukan yang lebih baik dibanding perempuan, bukan sebuah ketimpangan. Wajar; itulah imbalan kepada laki-laki yang sudah menafkahi keluarga, yang telah memberikan mahar, yang mengayomi perempuan di segala tempat dan zaman. Bahasapun menjadi sarana. Idiom-idiom tertentu ditegaskan sebagai milik laki-laki sementara yang lain adalah kepunyaan perempuan: laki-laki/perempuan, aktif/pasif, matahari/bulan, rasional/emosional, tinggi/rendah. Perempuan mana yang mampu berkutik jika dihadapkan oleh nalar yang begitu sistemik dan canggih? Pendidikan minimal bagi perempuan sudah menutup kesempatan untuk mendapat wawasan selain yang diperoleh dari laki-laki yang notabene telah me-maskulinisasi ilmu pengetahuan. Ruang untuk pergerakan perempuan (ter)dihapus.
Saya tidak pernah menyangka, agama sedemikian kejam terhadap perempuan!
PEMATANGAN; MENCARI TITIK MODERAT
Yang saya tanamkan ke segenap relung pemikiran saya ternyata banyak menemui aral. Dicap sebagai liberal—dituduh melanggar ajaran Tuhan sudah sebuah kewajaran. Itulah konsekuensi melawan patriarkhi. Dimusuhi laki-laki karena dinilai mengancam kekuasaannya sudah bukan berita kemarin pagi. Asalkan yang dicita-citakan tercapai, mengapa tidak? Benar. Keyakinan tersebut meneguhkan saya untuk bertindak kecil-kecilan—disertai teman-teman senasib di forum studi—demi terwujudnya kesetaraan perempuan laki-laki dengan gaya radikal. Katakanlah, ekstrim. Perempuan dan laki-laki saya petakan dalam kerangka oposisi biner: tertindas/menindas, baik/jahat. Tidak ada identitas lain. Ruang kompromi tertutup.
Apa sebab? Sasaran “dakwah” kami adalah kaum intelektual. Mereka terlatih betul berargumen dan terbiasa terlibat dalam perdebatan. Perbedaan dalam pandangan, dalam iklim seperti ini, adalah sebuah keniscayaan. Siapapun dengan demikian bebas menyebarkan ide dan gagasan. Tidak ada yang dilarang terjun ke arena kontestasi pemikiran. Pihak aliran A dengan aliran B dapat saja bersaing; berebut pengaruh dan pengikut. Perebutan berbagai tafsir atas realitas kekinian dengan pisau analisis yang beragam bukan pemandangan tabu. So, selalu saja terdapat kubu yang saling berhadapan secara frontal. Bukan sesuatu yang perlu diluruskan—semua elemen yang gandrung belajar menikmati suasana tersebut karena memang diilhami oleh perkara berharga; pertarungan ide. Tentu, feminisme adalah sebuah aliran pemikiran yang layak dibawa ke medan persaingan.
Ternyata, iklim kondusif di atas tidak banyak menunjang. Sebagai aliran berparadigma kritis—feminisme tak mendapat sambutan sebesar Marxisme. Padahal, dua aliran ini sama-sama mengusung pemberontakan untuk mengangkat kaum marjinal pinggiran ke posisi sejajar dengan kaum dominan. Ada pembedaan perlakuan. Ada nuansa ketidakadilan. Apa yang dapat dinikmati oleh aliran-aliran pemikiran secara general tidak bisa dicecap feminisme. Feminisme adalah sebuah aliran pemikiran yang terlalu sensitif. Tidak hanya ilmiah, melainkan dipenuhi agenda politis. Yang menyolok—feminisme adalah sebuah corak pemikiran yang berjenis kelamin. Eksklusif untuk perempuan; feminitas ditonjolkan menandingi maskulinitas. Ya, memang feminisme lahir salah satunya untuk menggusur hegemoni maskulinitas yang kadung bercokol dengan rakus. Sadar atau tidak, feminisme sedang mengambil jarak dengan mayoritas pemikiran yang ditopang oleh fundamen-fundamen berorientasi laki-laki. Sebuah langkah maju jika untuk menjaga originalitas pemikiran agar tidak bercampur dengan aliran lama yang tercemari aroma patriarkhi. Tapi, feminisme digunakan untuk tujuan lain—untuk mengugat kemapanan-kemapanan yang sudah establish.
Atau ketika perempuan menyelenggarakan sebuah perhelatan dan menangguk kesuksesan. Ada pujian memang tapi lebih bersifat olokan ketimbang sebuah penghargaan. “Gender, nih…” Selalu itu yang diucapkan.
Lebih parah bila dibenturkan dengan “perasaan”. Teman saya dianggap sebagai virus perusak hubungan. Karena kenal dengannya, ia mencurigai perubahan teman perempuannya sebagai hasil indoktrinasi. Baginya, terdapat perubahan yang cenderung destruktif. Teman perempuannya menjadi tidak menurut, banyak berdalih, dan selalu komplain bila diperlakukan dengan sedikit represif. Perempuan tersebut tiba-tiba menjadi penuntut. Banyak maunya.
Saya tidak bisa terima dengan imej-imej di atas. Apalagi dengan fakta terakhir. Ini tentu saja tidak dialami oleh aliran pemikiran lain. Seseorang tidak akan diperlakukan sebagai “yang lain” bila tidak menunaikan shalat dengan alasan sedang dalam pencarian jati diri. Atau memilih jalur free sex karena menganut asas independensi dan liberalisasi. Juga menetapkan cara-cara Machiavellis dalam berpolitik. Mengagungkan perlawanan terhadap globalisasi di tengah derapnya arus kapitalisme bukan pekerjaan terlarang. Pun memihak kaum miskin kota seperti dilakukan teman-teman di berbagai kesatuan aksi mahasiswa yang di tiap kesempatan selalu berkoar-koar tentang perlunya keadilan dan penegakan supremasi hukum. Ya, semua berjalan tanpa rintangan. Tidak ada kecurigaan atau tanda tanya besar terutama soal akibat yang ditimbulkan.
Tapi, ini tidak didapati oleh agenda penyetaraan perempuan laki-laki. Ada semacam pengawasan. Ada kewaspadaan.
Walhasil, menjadi perempuan dengan paradigma demikian tidak selamanya dianggap memiliki kelebihan. Perlu diluruskan, katakanlah. Bukannya memudahkan—agenda ini justru menjadi bumerang. Para [laki-laki] cukup shock ketika mengetahui “kondisi” gagasan ini. Menghujam dan menghentak, memang. Ada yang merasa tersudutkan—mereka yang telah menikmati banyak privilege karena berkelamin laki-laki atau yang berkarakter individualis; menganut paradigma Darwinian tentang seleksi alam. Urusan perempuan, ketertindasan perempuan, adalah urusan ketidakmampuannya bertahan terhadap kondisi alam yang sering mempermainkan. Mengapa harus melibatkan laki-laki? Laki-laki juga sedang dan akan terus berjuang untuk selalu survive. Tiap makhluk—laki-laki, perempuan, jantan, betina—harus berjuang untuk dirinya sendiri agar tidak tergerus oleh perputaran alam.
Cara berpikir demikian cukup susah untuk dirubah. Sudah memfosil. Mengajak untuk berpikir lebih ramah terhadap perempuan dengan cara frontal, ekstrim, dan radikal tidak efektif. Sama dengan menghadapi pribadi keras kepala dengan keras kepala juga. Bukannya melunak tetapi justru bertambah keras—akan patah. Sia-sia bukan? Ya, nampaknya diperlukan “perbaikan” dalam metode pencerahan yang lebih baik.
Pun perempuan. Teman-teman saya merasa dicekoki oleh virus-virus pengganggu. Mereka merasa kesetaraan perempuan dan laki-laki hanya menambah masalah baru. Mereka harus menjadi penentang pacar, teman laki-laki, saudara laki-laki, dan ayahnya. Tidak yang positif kecuali mereka harus marah-marah jika diperlakukan dengan tidak baik. Mereka boleh pulang larut malam seenaknya. Dan, mereka harus jadi seperti laki-laki: harus bisa mengecat, bisa mengganti genting yang bocor, dan mengangkat barang-barang berat dengan sendirian. Mereka tidak bisa lagi pulang dengan jemputan, diperlakukan bak putri oleh sang pacar, dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat karena ia perempuan. Setumpuk “keistimewaan” itu dapat hilang begitu saja karena serangan virus feminisme yang mengusung agenda kesetaraan gender. Mengapa harus mengambil yang baru yang tidak baik sementara yang lama jelas-jelas lebih baik?
Saya tidak mungkin bertahan dengan keadaan demikian untuk waktu yang lama. Bukan keberhasilan yang saya tunai melainkan sebuah kekecewaan yang mendalam. Yang hendak dijadikan teman justru menjadi lawan. Saya harus berubah.
Terus terang saya, tidak mau bernasib seperti Ibu Kartini. Beliau, siapapun tahu, adalah perempuan Jawa paling gigih memperjuangkan pembebasan perempuan. Dan, beliau mendudukkan dirinya secara diametral terhadap budaya laki-laki. Poligami—seperti tertuang dalam surat-suratnya kepada sahabatnya, Stella—selalu beliau tentang tapi beliau ternyata tak mampu melawan. Malah, beliau bertahan dengan suaminya yang poligam hingga melahirkan. Saya tidak habis fikir dengan usulan beliau kepada Bupati Rembang, sang suami, untuk tidak menceraikan istri-istri terdahulunya. Sementara itu, beliau juga tidak mengajukan permintaan perceraian. Sebuah inkonsistensi yang tidak perlu dilestarikan.
Saya tidak bisa menerima alur pikir beliau sampai sekarang. Dari pro menjadi kontra monogami. Wajah perempuan Indonesia tentu tidak semurung sekarang—jika beliau dengan tegas memutuskan untuk hidup melajang. Perkawinan telah membuat beliau terpasung. Perkawinan sudah membunuh ide-ide genial beliau demi perbaikan perempuan di masa depan. Karena itu, bagi saya, Kartini tidak seharusnya (di)menikah(kan). Sebab, pernikahan merupakan perkara destruktif baginya. Kartini menjelma menjadi sosok “yang lain”; yang mempunyai pandangan berbeda jauh dengan surat-suratnya yang dibukukan dengan titel “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Keteguhan hatinya untuk meruntuhkan patriarkhi seperti tergerus gelombang di Laut Rembang di mana beliau tinggal. Saya dapat saja memahami tapi saya tidak mampu menjalani.
Dan, saya tidak sanggup menjadi perempuan ideologis seperti dilakukan oleh Mernissi. Saya amat kagum dengan kehebatannya mengurai benang kusut dalam hubungan perempuan-lelaki. Apalagi dengan masterpiece-nya: Beyond The Veil. Tapi saya tidak bisa menjadi Mernissi seperti yang saya ingini. Saya hanya dapat menjadi diri sendiri.
Mungkin sebuah antiklimaks—karena terkesan menafikan corak pikir saya sebelumnya. Tapi inilah, pergeseran paradigma ini justru sebuah langkah jitu untuk tidak berkubang dalam wilayah ekstrim. Ada capaian yang mesti digapai dengan tanpa memakai pendekatan “kasar”. Dan, itu yang saya hadapi. Saya harus membuka ruang negosiasi dan kompromi demi tetap memperjuangkan kesetaraan perempuan lelaki.
Ini bahkan menjangkiti ranah agama yang dulu amat saya benci. Agama tidak seganas yang terpikirkan selama ini. Ada KH Husein Muhammad yang membuat agama terasa lebih ramah kepada perempuan. Juga ada Ibu Sinta Nuriyah dan kawan-kawan yang mencerahkan perhubungan suami-istri dengan lebih berimbang: melalui Uqudullujain yang didekonstruksi. Atau Maria Ulfah Anshor yang dengan berani mengumumkan Fiqih Aborsi. Mereka memakai agama yang selama ini dijauhi untuk menjernihkan posisi perempuan vis-à-vis laki-laki.
Tapi, realitas keluarga sayalah yang menjadi porsi terbesar ketika hendak mengubah haluan. Ketika saya pulang, saya menyadari sesuatu yang berbeda pada ibu. Ibu, penganut agama yang taat, tidak pernah melakukan “pemberontakan”. Tapi bukan berarti beliau pasrah. Ada yang mesti disiasati. Ketika keluarga sedang kesulitan—ibu tidak serta merta menuntut bapak untuk memenuhi kewajiban. Padahal ibu paham betul fungsi suami sebagai tulang punggung yang pertama kali. Ibu fight melawan getir manisnya kehidupan dengan tanpa menanggalkan identitas ke-perempuan-an. Dan, hidup ibu dipenuhi sejuta kreativitas ketika diprivatkan. Ibu adalah mutiara terpendam.
Di balik itu, ibu jelas tidak terima dengan ketimpangan perempuan dan laki-laki. Ibu kerap emosional ketika ada sitiran: “Yang akan masuk neraka kebanyakan perempuan. Itu karena mereka sering membiarkan auratnya terbuka…” Ibu menimpali, “Kasihan sekali perempuan. Mereka sudah capek mengurus anak, memasak, melayani suami tapi tetap saja susah masuk surga.” Tapi ibu masih bersahabat dengan agama—ibu masih menutup aurat sampai sekarang. Seolah ingin menantang dan berkeyakinan; banyak perempuan akan masuk surga termasuk ibu karena sudah menjalankan agama dengan mantap dan benar. Gambaran demikian merupakan sedikit bayangan sikap ibu menghadapi superioritas agama laki-laki.
Akhirnya, spirit positif agama yang menyeru pembebasan perlu diamini. Spirit negatif agama yang cenderung mendiskriminasi perempuan selayaknya direkonstruksi. Demi masa depan. Demi Islam yang ramah perempuan.
Ciputat, 09 Mei 2005 pkl 23.52 WIB
(Ni tulisan iseng-iseng, tapi berhadiah loh..He2)