Senin, 24 September 2007

Bersama-sama Menolak Perda

Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Pertanda malam mulai kelam. Tapi, Jalan Otista, Tangerang, masih ramai. Beberapa perempuan terlihat menunggu angkutan di sisi pinggirnya. Termasuk Lilis, pramusaji di sebuah restoran di Cengkareng. Ia tenang saja meski dingin angin makin menusuk. Maklum, begitulah rutinitasnya; pulang larut malam selepas kerjanya rampung.


Tak dinyana, malam itu dirinya menginap di penjara. Sebab, petugas tramtib (ketentraman dan ketertiban, Red.) telah menangkapnya. Tak tanggung-tanggung, ia dituduh sebagai pelacur gara-gara kebiasannya itu. Dasarnya perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005.


Lilis tak terima. Begitu bebas, ia mengajukan gugatan terhadap Walikota Tangerang atas pelaksanaan perda tersebut dengan didampingi pengacaranya. Tetapi ditolak oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Angga yang senasib dengan Lilis juga melakukan hal serupa dengan diwakili ibunya, Tuti Rahmawati. Tuti beserta Hesti Prabowo dan Lilis Mahmudah dengan Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR) mengajukan kasasi ke MA. Nasibnya sama; ditolak.


Penolakan ini tak membikin patah semangat para perempuan Tangerang. Perda boleh jalan terus, tapi perlawanan tak mau surut. “Mereka tetap tidak takut pulang malam,” kata Asfinawati ketika dihubungi The WAHID Institute, Jumat (22/06/07). Mereka, kata Ketua LBH Jakarta yang juga terlibat dalam TAKDIR ini, melakukannya karena keberanian mereka yang kuat. “Kalau bukan PSK, kenapa takut?,” begitu kira-kira argumen mereka.


****


Tak hanya Perda Tangerang yang ditolak kaum perempuan. Perda No. 5 Tahun 2003 yang mewajibkan pemakaian jilbab itu ditampik oleh perempuan Bulukumba, Sulawesi Selatan. “Ibu-ibu PNS hanya memakai jilbab ketika di kantor. Setelah pulang dilepas,” kata Subair, pegiat Lembaga Advokasi dan Pendidikan untuk Anak Rakyat (LAPAR), Makasar kepada WAHID Institute (20/06/07). Padahal, di sana ada kawasan bernama desa Muslim di mana warganya wajib menutup aurat setiap waktu.


Di Padang sama saja. Instruksi Walikota No.451.442/Binsos-III/2005 yang berisi kewajiban berjibab dan anjurannya bagi yang non-Muslim itu justru menimbulkan antipati. Para siswi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) negeri memang mengenakan jilbabnya. Tetapi ada rambut yang dicat di balik penutup kepala itu. “Itu (mengecat rambut, Red.) dilarang keras di sekolah negeri dan diberi sanksi jika dilakukan,” ujar Sudarto, seorang guru yang juga peneliti Pusat Studi Antar-komunitas (PUSAKA,) Padang.


Penolakan ini sesungguhnya amat wajar. Sebab, peraturan tersebut telah mendiskriminasikan perempuan. Padahal, sudah ada peraturan dan kovenan internasional yang merekomendasikan penghapusan diskriminasi tersebut.


“Produk kebijakan tersebut jelas mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (UU Sipol),” terang Musdah Mulia dalam tulisannya yang bertajuk Perda Syari’at dan Peminggiran Perempuan di ICRP On-line (01/08/06).


CEDAW memberikan amanat kepada negara yang meratifikasinya antara lain agar melakukan langkah-tindak yang tepat untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita—termasuk perda diskriminatif yang menimpa perempuan di Tangerang, Bulukumba, dan Padang. “Setiap orang (laki-laki dan perempuan) berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi,” demikian bunyi UU HAM pasal 2. Sementara itu, UU Sipol menggarisbawahi bahwa hak sipil dan politik—termasuk hak sipil dan politik perempuan—tidak boleh dilanggar. Pemberlakuan perda diskriminatif terhadap perempuan jelas-jelas sebuah pelanggaran atas komitmen yang sudah disepakati bersama ini.


Selain itu, peraturan diskriminatif mendatangkan kekerasan bagi perempuan sehingga layak ditolak. Kekerasan psikologis, misalnya, diterima oleh Angga akibat perda usungan Wahidin Halim itu. “Anak saya sempat stress karena khawatir ditangkap sebab pulang malam dari hotel tempatnya bekerja,” tutur Tuti Rahmawati, ibu Angga, Selasa (07/03/06). Gara-gara itu Angga pindah kerja ke Bogor. Bahkan indekos juga di sana.


Kekerasan ekonomi juga muncul akibat peraturan ini. Lilis Lindawati kini hanya di rumah. Sementara, suaminya yang seorang guru dipersulit dalam pekerjaannya—termasuk dalam penerimaan gaji. Padahal, itu sudah haknya. “Itu karena mereka dianggap mempermalukan pejabat pemerintahan Tangerang (karena melakukan gugatan terhadap Walikota Tangerang, Red.),” terang Tuti lagi kepada The WAHID Institute (19/07/07) tentang teman senasib anaknya itu.


Perda jilbab juga mengabaikan hak perempuan untuk memperoleh pelayanan publik sehingga pantas ditolak oleh perempuan. "Tidak melayani kecuali yang berjilbab," demikian bunyi pengumuman di balai desa di Bulukumba. Padahal, pasal 13 perda yang digadang-gadang Pattoboi Pabokori itu menyebutkan, “Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan berdomisili dan atau bekerja dalam wilayah Kabupaten Bulukumba.”


****


Lalu bagaimana jalan keluarnya? Lilis Lindawati, seperti disinggug di atas, memilih melakukan gugatan kepada Walikota Tangerang melalui PN Tangerang. Sementara itu, Tuti Rahmwati dan kawan-kawan melakukan judicial review (permohonan uji materil, Red.) atas perda anti pelacuran Tangerang ke MA bersama tim TAKDIR.


Alasannya, antara lain karena perda tersebut melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 7 Tap MPR No.27 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. “Perda itu juga berpotensi mengkriminalkan korban perdagangan orang dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain,” tulis tim TAKDIR dalam draft gugatannya setebal 38 halaman itu.


Namun, MA ternyata memiliki anggapan yang lain. Hakim Agung Achmad Sukardja, Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar memutuskan bahwa permohonan itu ditolak. “Melihat dari aspek prosedural, proses pembentukan Perda Kota Tangerang telah melalui proses yang cukup lama, semua unsur dilibatkan, dan tidak bertentangan dengan peraturan UU,” ujar Djoko Sarwoko, juru bicara MA, mengutip delik putusan, Jum’at (13/04/07). Perda itu juga dinilai oleh MA telah melalui proses politik sehingga sudah menjadi wewenang eksekutif dan legislatif daerah dan sah untuk diberlakukan di Tangerang.


Akan tetapi tim TAKDIR tidak tinggal diam. “Kami sedang melakukan lobby dengan eksekutif dan departemen-departemen terkait,” jelas Asfinawati kepada The WAHID Institute, Jum’at (22/06/07). Yang dimaksud sebagai pihak eksekutif dan departemen terkait adalah Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Hukum dan HAM.


Sementara itu, Subair tidak memilih jalur legal formal seperti dilakukan oleh Asfinawati dan kawan-kawan dalam melawan perda jilbab. “Proses ini erat kaitannya dengan parlemen sementara masyarakat di sini belum terbiasa melakukan proses-proses itu,” bebernya. Selain itu, protes lewat jalur ini membutuhkan energi yang besar. “Lobi melalui Kaukus 56 (kaukus 56 anggota DPR menolak perda SI, Red.) saja gagal. Bahkan perda SI malah diganti namanya dengan perda anti maksiat saja,” tambahnya setengah kesal. Belum lagi, menurut Subair, soal definisi terhadap istilah ‘pelanggaran terhadap UU di atasnya’ dan ‘wewenang otonomi daerah’ yang membingungkan itu.


“Jalur itu juga berat karena keyakinan agama yang berurat dalam masyarakat Bugis,” tandasnya. Orang Bugis sejak dulu kala terkenal dengan budaya menutup auratnya, termasuk dengan berjilbab yang hingga kini tidak dapat digugat. “Karena itu, kami hanya bisa menghimbau untuk tidak mematuhi peraturan tersebut dalam aras praktisnya,” paparnya lagi. Dalam aras teoritisnya, ia dan lembaganya, LAPAR, menyelenggarakan diskusi terbatas untuk membangun sikap kritis terhadap perda tersebut.


Sudarto sejalur dengan Subair. Dalam kultur keagamaan konservatif Padang, advokasi PUSAKA—lembaga di mana ia aktif mengkritisi perda diskriminatif—agak berat dilaksanakan dengan menempuh jalur hukum. “Kami berusaha mengkritik kebijakan tersebut melalui seminar atau forum ilmiah lainnya,” tandasnya kepada The WAHID Institute, Jumat (20/06/07).


****


Yang otoritatif untuk menangani perda diskriminatif ini agar menjadi memihak pada perempuan sebenarnya pemuka agama—mengingat karakter religiusitas orang Indonesia yang menonjol. Sayangnya, pemuka agama ini berikut pemahaman keagamaannya justru tidak menunjukkan peran yang demikian di Tangerang, Bulukumba, dan di Padang.

Di Tangerang, majelis taklim menjadi corong pemerintah dalam memberlakukan perda anti pelacuran itu. Termasuk para pimpinannya yang notabene ulama. "Para pemimpin agama memainkan simbol-simbol Islam dalam hal itu," terang Asfinawati. Simbolisasi ini berwujud pada pencitraan perempuan; yang suka pulang malam adalah perempuan tidak baik (baca; tuna susila) sehingga harus ditertibkan demi kebaikan bersama. Sementara di Bulukumba, jilbab sudah merupakan keputusan keagamaan yang tidak bisa diganggu gugat. “Itu sesuatu yang sudah final,” jelas Subair lagi. Tradisi keagamaan Padang begitu kuat dengan semboyan-nya yang khas: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. “Mengkritisi itu kita dianggap orang Yahudi-lah atau Kristen,” ujar Sudarto dalam sebuah acara refleksi yang digelar WI di Padang, Senin (27/06/05).

Pihak lainnya adalah negara. Akan tetapi, kiprah negara sepertinya tidak jauh berbeda. Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memang sudah mengupayakan pengawasan dan evaluasi perda-perda yang dianggap bertentangan, baik dengan sistem perundang-undangan yang lebih tinggi maupun bertentangan dengan masyarakat setempat. "Langkah nyata Depdagri tersebut terbukti dengan pengawalan perda diskriminatif di tiga daerah," terang Janiruddin, Kabag Pengkajian dan Evaluasi Produk Hukum Biro Hukum Depdagri dalam sebuah diskusi, Kamis (14/06/07).


Pengawalan yang dimaksud berbentuk pembinaan antara lain kepada Walikota Tegal, Bupati Purworejo, dan Bupati Banjarmasin. Tetapi, perda yang dimaksud terkait dengan larangan minuman beralkohol. Tak ada nuansa perda (diskriminatif) perempuan di sana meskipun pembinaan ini telah melibatkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP).

Meutia Hatta, sang menteri, sesungguhnya juga sudah menunjukkan sikap. Ia berkeluh soal perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Masa sekarang makin banyak perda yang tidak pro-perempuan dan justru membatasi gerak perempuan,” ujarnya dalam peringatan Hari Kartini di Jakarta, Senin (23/04/07). Hal itu dinilai kontradiktif dengan prinsip kesetaraan gender di segala sektor termasuk soal Pengarus-utamaan Gender (PUG) dalam kementeriannya sesuai Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000. Ia beserta timnya-pun berusaha membendungnya. "Kami sudah mengirimkan surat ke gubernur dan wali kota kalau ingin membuat perda harus memperhatikan kesetaraan gender," tambahnya dalam satu kesempatan, Selasa (23/05/06).

Tetapi KNPPP bukanlah kementerian yang berbentuk departemen yang memiliki kewenangan luas. “Kementerian Negara mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara,” demikian bunyi pasal 89 Peraturan Presiden No.9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Ketentuan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Sementara itu, kementerian yang berbentuk departemen memiliki langkah yang lebih panjang karena diberi wewenang untuk menyelenggarakan apa yang sudah dirumuskan. Semaju-majunya KNPP, langkahnya tetap terbatas karena kewenangannya tak banyak. Sehingga, kiprah mereka tidak terlalu bisa diharapkan.

****

Karena itulah, penolakan perda lebih tepat dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Tidak dengan mengandalkan siapa-siapa. Bentuknya adalah melibatkan perempuan dari berbagai kalangan. Tak peduli, apakah berasal dari legislatif, aktivis, bahkan perempuan di ranah domestik. “Kita merekomendasikan bahwa perempuan harus membuat koalisi. Koalisi rainbow power (kekuatan pelangi, Red.) atau semacam itu,” usul Erni Agustini, peneliti di Women Research Institute (WRI), (Lihat Wawancara; Perlu Koalisi Rainbow Power).

Usulan ini sesungguhnya masuk akal. Pertama, karena tingkat legislasi perempuan rendah. Seperti dirilis Kompas (28/08/01), hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Dengan jumlah sekecil ini, perempuan daerah tak sanggup membendung lahirnya peraturan yang diskriminatif tersebut karena posisi tawarnya yang tidak cukup signifikan.


Kedua, perempuan di ranah domestik ternyata memiliki peranan penting sepert halnya kaum legislatif. “Ibu PKK juga mempunyai peran yang signifikan,” tambah alumnus Pusat Studi dan Kajian Wanita (PSKW) UI. Ketiga, aktivis perempuan dan organisasinya yang tidak diragukan lagi kontribusinya dalam perjuangan melawan diskriminasi perempuan, terutama di daerah. “Keberadaan organisasi perempuan di tingkat daerah itu sangat penting keberadaannya dalam konteks otonomi daerah”, ujarnya lagi.


Perempuan bisa menolak perda bersama-sama. Mari! Wallahu A’lam (Nurun Nisa').

.

Tidak ada komentar: