Senin, 24 September 2007

Seulawah, Syari’ah, dan Serambi Mekkah

“Saya meminta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”


“Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fi sabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam peperangan itu maka berarti mati syahid”.


Demikianlah, dialog mesra antara mantan Presiden Soekarno dan Tgk. Muhammad Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin kharismatis Aceh enam dasawarsa yang lalu. Sang Datuk bersama Tgk. H. Djakfar Lamjabat, Tgk. H. Muhammad Krueng Kalee, dan Tgk. H. Ahmad Hasballah Indra Puri kemudian mengeluarkan fatwa khusus. “Bagi kaum muslimin yang berperang mempertahankan cita-cita proklamasi, kalau meninggal dunia dalam perang itu akan mendapat pahala syahid” demikian seruan tertanggal 7 Oktober 1945 itu. Sontak, rakyat Aceh mengumpulkan sumbangan dan dibelilah pesawat jenis Dakota DC-3 yang disebut ‘Dakota R1-001 Seulawah’. Sengaja diimbuhi ‘Seulawah’, artinya gunung emas, karena memang dibeli dengan bantuan setara 20 kg emas.


Tapi hubungan yang sangat baik ini kemudian bubar di bulan September 1953. Daud Beureuh memilih memisahkan diri karena sang Presiden ingkar janji dan bergabung dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo. Soekarno tak mau menegakkan Syari’at Islam (SI) di Bumi Rencong seperti dijanjikannya dulu. Setelah itu, terus menerus Aceh bergolak. Klimaksnya adalah deklarasi Geurakan Acheh Merdeka (GAM) di tahun 1976 yang berusaha ‘ditertibkan’ melalui kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM). Aceh menjadi berdarah-darah.


Namun, damai akhirnya bersemayam di sana. Melalui penandatanganan MoU Helsinki (15/08/05) antara GAM dan RI dicapai kata sepakat; tidak ada lagi konfrontasi. Tidak ada lagi ‘konflik’ antar keduanya. Tapi ternyata timbul konflik baru. Konfliknya kini terjadi antar masyarakat lokal Aceh sendiri. Seperti termaktub dalam laporan World Bank Desember 2006, konflik tersebut berubah dari vertikal menjadi horizontal. Masyarakat lebih banyak ribut soal tanah, sumber daya alam, dan bantuan tsunami. Juga soal kekerasan milisi. Ini antara lain ditandai dengan angka kriminalitas, dilansir Media Indonesia (09/08/06), di beberapa daerah yang meningkat.


Dengan keadaan yang demikian, Aceh terlihat tak stabil untuk sebuah perubahan. Termasuk proses politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada). Tapi situasi di bulan Desember rupanya lain. Aceh aman dan damai dalam pilkada pertamanya. Semua pihak bersyukur termasuk si pemenang; Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (IRNA).


****


Demikianlah, GAM harus bubar karena ide-idenya yang separatis. "Kami bangsa Acheh Sumatra, telah melaksanakan hak-hak kami untuk menentukan nasib sendiri, dan melaksanakan tugas kami untuk melindungi hak suci kami atas tanah pusaka peninggalan nenek moyang, dengan ini menyatakan diri kami dan negeri kami bebas dan merdeka dari penguasaan dan penjajahan regime asing Jawa di Jakarta, " tulis Tengku Hasan Muhammad Di Tiro, pendiri GAM, mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada tanggal 04 Desember 1976.

Sekedar pengingat, petinggi GAM memang pernah berujar akan membubarkan organisasi ini. “GAM akan membubarkan diri dan berjuang lewat jalur politik,” jelas Zaini Abdullah, Menteri Luar Negeri GAM (28/04/06). Namun beberapa bulan kemudian, Perdana Menteri GAM justru berkata sebaliknya. Malik Mahmud menanggapi dengan sinis surat Pieter Feith yang berisi permintaan pembubaran GAM. Itu out of proportion dan premature,” sergahnya (28/10/06). Permintaan ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), menurut Tjipta Lesmana (Mengapa GAM Tidak Mau Membubarkan Diri, Suara Pembaruan, 19/12/06) itu ditampik karena beberapa alasan.

Pertama
, masalah trust building. Cerita represif dari aparat dan ketidakadilan pemerintah RI di Aceh telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan mereka. Kedua, emotional reality. GAM, menurut Malik, telah mengorbankan aspirasi mereka untuk merdeka. Rasanya tidak adil untuk membubarkan GAM sementara kemerdekaan mereka sudah dikorbankan. Ketiga, masalah pembentukan partai lokal.

Pembubaran GAM tidak secara literal dicantumkan dalam MoU Helsinki. Sementara pendirian partai lokal sudah ditegaskan dalam nota kesepahaman tersebut. Kalau partai lokal (yang eksplisit) belum diwujudkan, mengapa GAM (yang implisit) harus ditiadakan?


Ungkapan-ungkapan petinggi GAM di atas cukup mengkhawatirkan. Ini belum termasuk posisi Irwandi Yusuf yang strategis dalam institusi GAM. Ia adalah ahli propaganda, juru runding HAM sekaligus orang penting GAM di Komisi Peralihan Aceh (KPA).


Di sisi lain, hasrat pemerintah Aceh melegalisasi Syariat Islam (SI) tak kalah mengkhawatirkan. Beberapa institusi yang akan mengurus keberlangsungan SI. Yakni, Mahkamah Syari’ah (MS), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Wilayatul Hisbah (WH), Dinas Syari’ah, dan Dewan Syari’ah telah dilegalkan. Tiga institusi pertama semakin kuat posisinya karena termaktub dalam UU No. 11 Th. 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). MS masuk dalam pasal 128, MPU dalam pasal 138, dan WH disahkan di pasal 244.

Di tingkatan praktis, positivisasi SI tak kurang taji. Ia sudah memakan banyak korban, utamanya perempuan. Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa selama tahun 2005, tercatat 46 kasus. Tujuh puluh persennya (32 kasus), perempuan menjadi terdakwa dan terhukum. Ini berarti bahwa secara de facto, sasaran utama dalam praktik penerapan syariat Islam di NAD. Belum lagi soal perebutan ‘lahan’, mengutip laporan Crisis Group medio 2006, antara polisi syari’at dan polisi (nasional).

Dengan dua kecenderungan ini, kemana pendulum politik Aceh akan bergerak?

****

Self-governance atau otonomi Aceh nampaknya akan menuju jalan tengah. Latar belakang gubernur terpilih tentu amat menentukan. Di sini, prospek SI tidak terlalu moncer. Aktivis GAM, seperti Irwandi, memang dikenal sebagai kumpulan orang-orang yang terbiasa berbicara menyangkut pemisahan diri sebagai negara. SIRA mendorong pilihan itu dengan memberi ruang otonomi. Tetapi dalam soal ideologi, rupanya lain. “Keduanya termasuk sekuler,” jelas Indra J. Piliang dalam artikelnya ‘Otonomi Paham Separatis’ di Majalah Tempo (18-24/12/06).

Sekuler di sini nampaknya dimaksudkan dengan tidak adanya keberpihakan kepada penegakan SI secara jelas. SIRA, dalam situs resminya, tidak pernah menyinggung soal SI. Pun GAM. Pernyataan Acheh-Sumatra Merdeka atau yang lebih familiar sebagai Deklarasi GAM tidak pernah menyebut SI secara vulgar. Hanya ada satu kalimat saja tentang Islam, bukan Syari’ah Islam. “…..Semuanya sebagai Wali Negara dan Panglima Tertinggi yang silih berganti dari negara Islam Acheh Sumatra,” demikian bunyi paragraf kelima deklarasi GAM tersebut. Tetapi yang dimaksud bukanlah Aceh dengan formalisasi SI seperti saat ini. “Mungkin itu konteksnya untuk membedakan diri dengan Indonesia yang penduduknya majemuk secara agama” terang Kemal Fasya (06/02/06).

Ini senada dengan jawaban Tgk. Amni Ahmad Marzuki dan Drs. Amdi Hamdani kepada Marzuki Wahid dan Nurrohman (Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syari’at Islam; Kasus Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2003). “GAM tidak tertarik dengan issue seputar formalisasi SI,” tegas mantan juru runding GAM itu (15/07/02). Menurutnya, dengan nada diplomatis, SI sudah menyatu dengan budaya masyarakat Aceh dan yang ada sekarang adalah “Paket Politik Jakarta”.

Selain itu, formalisasi SI tidak lain adalah aspirasi partai politik nasional yang menang pada pemilu 1999 dan 2004. Ini semu belaka. “Karena pemilu itu diadakan di tengah situasi darurat militer,” tambah peneliti Center for Strategic and International Strategy (CSIS) ini.

Orientasi kepada daerah otonom yang akan memerdekakan diri agaknya masih dini untuk diamati. Sejak kesepakatan damai Helsinki 15 Agustus 2005, GAM memainkan politik sipil, meninggalkan cita-cita “M”, merdeka. “Seluruh ketakutan Jakarta terhadap kami, telah kami tanggalkan” demikian tokoh Munawarlizza Zain. M, merdeka, baginya, tak ada lagi dalam agenda. “Senjata telah kami potong dan tentara telah kami bubarkan,” tambahnya kepada Radio Nederland Wereldomroep (28/12/06). Jadi, tak ada masalah lagi soal itu.

Pendapat senada datang dari pengamat politik Aceh, Kemal Fasya. IRNA akan memfokuskan pemerintahan Aceh pada soal-soal krusial. “Di antaranya, perbaikan ekonomi, pembentukan clean government yang bebas dan transparan,” terang ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA) ini. Pemerintahan yang peduli lingkungan dan HAM juga akan menjadi agenda politik IRNA. “Ini demi menjaga kepercayaan internasional,” tandasnya kepada WI via telepon (18/01/07). Maklum, keberadaan GAM selama ini antara lain berkat dukungan dunia internasional.

Kesan ini makin kuat dengan adanya ‘kunjungan’ Irwandi ke Jakarta. Ia bersama ketua tim suksesnya, mantan Panglima Wilayah GAM, Sofyan Dawood, bertemu salah satu bos Golkar yang juga taipan media asal Aceh, Surya Paloh. “Kami ingin dengar pendapat Bang Surya,” Irwandi berkelit. Seperti dirilis radio tersebut pula, gaya faksi GAM Irwandi dianggap pragmatis. Senada dengan hal tersebut adalah pendapat Sidney Jones, peneliti dari International Crisis Group (ICG). “Saya yakin Irwandi akan pargmatis,” tandasnya.

****

Kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan penduduk yang rendah harus menjadi agenda utama pemerintahan IRNA. Apalagi, seperti dilansir Kompas, Aceh adalah provinsi termiskin keempat sebelum tsunami. Angka kemiskinannya mencapai 28,5%. Jumlah ini diperkirakan meningkat hingga 7 % pasca tsunami sehingga menempatkan Aceh sebagai daerah termiskin kedua di Indonesia, setelah Papua. Ini antara lain karena maraknya korupsi. Kiranya tak berlebihan jika Azhari berharap soal tersebut. “Saya berharap Irwandi-Nazar membersihkan birokrasi di Pemda Aceh sebagai sarang korupsi,” tutur pegiat Komunitas Tikar Pandan ini.

Tak kalah penting adalah merawat perdamaian yang telah disemai dengan susah payah—bahkan dengan air mata dan darah. “Bagi pemimpin yang terpilih pada Pilkada nanti harus bisa menjalankan dan menjaga kedamaian di Aceh seperti yang sudah dirasakan sebelumnya, tanpa adanya lagi kekerasan dan konflik yang berkepanjangan pasca penanda-tanganan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), sehingga masyarakat dapat hidup aman dan damai di Aceh,” demikian salah satu rekomendasi workshop yang diselenggarakan WI di Aula Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry itu (07/12/06).

Di atas semua itu, yang paling substansial, justru keterlibatan seluruh komponen Aceh dalam membangun Aceh pasca pilkada dan konflik. Rakyat Aceh mesti dilibatkan oleh pemerintah dalam segala proses menuju masa depan Aceh yang lebih baik. Termasuk dalam soal pembuatan policy, kebijakan. Kebersamaan dan kesatuan keduanya mutlak dijunjung meski dilanda prahara apapan. Sama dengan ‘pesawat’ Seulawah yang tetap kokoh hingga kini meski diterjang tsunami. Wallahu A’lam (Nurun Nisa')

Tidak ada komentar: