Senin, 24 September 2007

Pilkada Bermasalah, Siapa Salah?

Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Alun-alun Tuban, Rabu (2/5/2006), menjadi momen penting warga Tuban. Saat itu adalah kali pertama bupati terpilih periode 2006-2011, Haeny Relawati, muncul pasca kerusuhan. Sayang, ketika diserbu wartawan, ia tak sudi menjawab pertanyaan seputar kemenangannya pada Pilkada 27 April 2006 yang memakan banyak korban.

Ketika dikejar, Haeny bergegas masuk ke Jaguar warna merah hati dengan Nomor Polisi S 1 HA. Sebelumnya, pelat nomor itu biasa terpasang di mobil dinas Bupati Tuban, Nissan Terrano, yang habis dibakar massa di parkiran Pendopo "Krido Manunggal", Sabtu (29/4/2006).

Selain mobil dinas, mereka yang tidak puas atas kemenangan calon Partai Golkar ini juga merusak sejumlah mobil mewah yang berada di rumah dinasnya. Antara lain, Range Rover bernopol B 8038 FZ, Toyota Alphard G bernopol L 2560 HP, dan VW Caravelle bernopol H 7439. Sebelumnya, mereka juga meluruk kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tuban dan membakar bangunan utama pendopo kabupaten tersebut.

Bakal rumah Haeny di atas lahan empat hektare di Jalan Letda Sucipto pun tak luput dari amuk massa. Begitu juga Hotel Mustika di Jalan Teuku Umar dan gudang PT Sembilan Sembilan milik suaminya, Ali Hasan. Keduanya ludes di tangan massa. Harta Ali lainnya, dua SPBU dan kediaman Haeny di Jalan KH Agus Salim turut jadi sasaran walau tak sampai dibakar.

Biang Kisruh Pilkada

Tak hanya di Tuban, pilkada di beberapa daerah juga meninggalkan masalah. Bentuknya tidak tunggal. Ada yang rusuh. Ada juga yang menempuh jalur hukum. Meski berbeda, pilkada bermasalah memiliki hulu yang sama.

Mulanya, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang dinilai tidak netral. Komisi ini dianggap sering bermain mata dengan para calon. Terutama Bupati yang sedang menjabat sebagaimana terjadi di Sukoharjo, Jawa Tengah. KPUD Sukohardjo bahkan dituntut untuk dibubarkan karena ada indikasi curang guna memenangkan pasangan calon bupati (cabup) Bambang Riyanto-calon wakil bupati (cawabup) Muhammad Thoha. Di antaranya, penggelembungan jumlah pemilih di sejumlah tempat pemungutan suara. Juga mencetak tambahan 10.000 lembar surat suara sehari menjelang pencoblosan.

Begitupun di Tana Toraja seperti dilansir Forum Komunikasi Mahasiwa Toraja (FKMT) Se-Indonesia. “KPUD Toraja tidak pernah mengeluarkan: 1. Daftar Pemilih Sementara (A1), 2. Daftar Pemilih Tambahan (A2) KPUD Tana Toraja justru mengeluarkan daftar pemilih tetap (A3) berulang sampai tiga (3) kali. Hal ini melanggar PP No 6 Tahun 2005 Pasal 16, 19, 20 dan PP No 17 perubahan PP No 6 tahun 2005 tentang Tahap Pelaksanaan Pilkada,” demikian bunyi selebaran yang diterbitkan oleh FKMT dalam Kronologi Kisruh Pilkada Tana Toraja, Kamis (14/7/2005).

Panitia Pengawas (Panwas) pilkada juga bermasalah. Mestinya menjadi wasit pertandingan pilkada, mereka malah ogah memperingatkan atawa memberi kartu merah saat salah satu pemain pilkada ‘melanggar’ pemain yang lain. Kisruh pilkada di Tuban contohnya. Panwas dianggap menutup mata. “Panwas tidak menggubris pelanggaran Pilkada seperti politik uang, dan pemalsuan nominal pemilih, dan masih banyak lagi pola-pola pelanggaran yang secara telanjang disaksikan oleh orang yang paling awam proses pilkada sekalipun,” ungkap peneliti Yayasan Tantular Malang, Paring Waluyo Utomo yang mengamati perkembangan Pilkada Tuban.

Para kandidat juga urun masalah. Mereka sering tidak siap kalah. Alih-alih menerima hasil pilkada dengan legowo, ketidakdewasaan mereka justru membuat pilkada berdarah-darah. Di Kaur misalnya. Calon bupati kalah ditengarai menggerakkan massa untuk menolak pasangan bupati baru, Saukani Saleh-Warman Suardi. Massa yang marah melakukan perusakan. Polisi pun bertindak. Yusirwan Wanie dan Sahlan Sirad, cabup dan cawabup yang kalah, ditetapkan sebagai tersangka dalam pilkada daerah yang merupakan pemekaran wilayah Bengkulu itu.

Harus diakui, para kandidat Pilkada banyak yang kurang matang dalam menghadapi event lima tahunan itu. “Kekurangmatangan (para kandidat, red.) banyak terjadi di pilkada-pilkada kita. Karena tidak puas dengan hasil-hasil dan sudah kadung terlalu rugi, terus kalah, mulailah mengancam, mendorong, ngompor-ngomporin sehingga jadi keributan. Saya melihatnya di kasus Tuban, Kaur dan Sulsel”, ungkap Direktur Eksekutif CETRO Hadar Navis Gumay.

Partai politik yang menjadi kendaraan juga tak berkutik. Mereka tidak mendidik massa untuk cerdas politik. “Apa yang mereka lakukan? Cuma kampanye. Mereka mengatakan yang terbenar. Hanya itu. Belum sampai melakukan pendidikan politik yang murni,” gugat Hadar.

Insiden di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, bulan Mei 2005 dapat dijadikan pelajaran berharga atas hal ini. KPUD Manggarai menolak pendaftaran calon dari PDI-P karena batas waktu pendaftaran calon bupati sudah lewat. Karena tidak puas, pengurus partai berlambang banteng gemuk ini pun meminta izin berdemo damai. Tapi, petugas menemukan senjata tajam di tangan sejumlah massa. Bahkan, beberapa di antaranya dalam keadaan mabuk. Di depan Kantor KPUD di Ruteng, ibukota Manggarai, massa PDI-P itu pun bentrok dengan polisi. Akibatnya, empat anggota Polres Manggarai terluka, yakni Kabag Ops, AKP Agus Nggana, Kasat Samapta, Ipda Donce Fernandez, Bripda Yefta Tafoi dan Bripda Kamilus S. Niron.

Selain tiga pihak di atas, Depdagri (Departemen Dalam Negeri) juga bertanggungjawab atas pesta demokrasi tingkat lokal yang tidak berjalan sesuai harapan. Moh. Samsul Arifin, dalam salah satu tulisannya di koran Jawa Barat, menilai Depdagri terkesan sangat ngotot menyelenggarakan pilkada mulai Juni 2005. Seolah-olah mereka dikejar tenggat. “Semakin cepat pilkada dilaksanakan berarti jalannya roda pemerintahan daerah akan lancar dan efektif. Yang digembar-gemborkan Depdagri adalah dari sekitar 181 propinsi dan kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada, mayoritas sudah rampung persiapannya," tegas analis politik pada CBS (Centre for Bureaucracy Studies) Jakarta ini.

Pada posisi ini, Depdagri kurang sensitif dengan daerah-daerah yang memiliki kendala spesifik berdasarkan karakter dan kapasitas tertentu. “Daerah (pemerintah kabupaten dan KPUD) diiming-imingi semacam reward tertentu baik berupa dukungan dan fasilitas, agar sanggup menyelenggarakan pilkada tepat waktu,” ungkap Samsul. Ia menambahkan, situasi tersebut cenderung memunculkan masalah baru. KPUD potensial mengabaikan kondisi batin dan psiko-politik yang mengitari daerah tersebut. Ini amat beresiko terhadap kesuksesan pilkada, apalagi jika dihelat di daerah yang baru saja mengalami pemekaran.

Namun, hal ini dibantah oleh Depdagri. “Daerah pemekaran calon potensial konflik akan menjadi prioritas Depdagri. Mendagri telah meminta gubernur-gubernur menyelesaikan masalah ini," aku Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Progo Nurdjaman.

Potensi konflik ini bertambah parah jika dibumbui dengan intimidasi dalam bentuk isu ras sebagaimana kasus Tuban. Sebelum meletus konflik pasca pilkada, merebak isu rasial untuk mendiskreditkan cawabup Go Tjong Ping, pasangan cabup Noor Nahar Hussein, yang menjadi rival politik pasangan Haeny Relawati-Lilik Soehardjono. “Di kalangan grassroot berhembus isu jangan pilih Cina untuk memimpin Tuban. Atau jangan pilih Cina karena dia tidak dikhitan. Isu ini memang konyol kelihatannya, namun bagi kalangan grassroot, terutama di desa-desa cukup efektif untuk menimbulkan kebencian laten terhadap WNI keturunan Tionghoa,” ungkap Paring W. Utomo.

Isu agama juga mengundang bencana. Di Tasikmalaya dan Muna (Sulawesi Tenggara) muncul fatwa untuk menjegal lawan. "Di sana, ada pemuka agama yang membuat fatwa masuk neraka jika masyarakat memilih pasangan calon tertentu," tutur Lukman Budiman Tadjo, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

Simbol agama juga sering dipakai untuk menyuap. Ketika pilkada sudah dekat, banyak calon kepala daerah berbondong-bondong menyumbang ke mushala serta membagikan jilbab dan kitab Yasin. "Ini terjadi di Asahan, Kendal, dan Jember," ungkap Lukman.

Selain itu, simbol agama bisa menjadi alat penekan kepala daerah yang sedang menjabat, seperti yang terjadi di Banyuwangi. "Jika masa yang memakai simbol agama berhasil menggulingkan kepala daerah, ini akan dipakai di daerah lain," ujar Koordinator JPPR Adung A. Rochman.

Premanisme juga menjadi momok Pilkada sebagaimana terjadi di Bandar Lampung. "Di Kota Bandar Lampung, kepala desa diintimidasi oleh para preman agar mendukung kandidat tertentu", tutur Lukman.

Apalagi money politic. Taktik busuk ini seperti lazim dipakai. "Di Sumenep, Muna, Asahan, Sidoarjo, dan Sukabumi, calon-calon ketahuan membagikan uang kontan Rp 20-50 ribu kepada para pemilih," tambahnya.

Legitimasi Tak Berarti

Pilkada bermasalah ternyata juga disebabkan oleh legitimasi publik. Dalam periode Juni 2005-Mei 2006, mayoritas kepala daerah terpilih mendapat dukungan yang sangat rendah dari masyarakat daerahnya. "Berdasarkan pemantauan kami di 226 pilkada, 153 kepala daerah atau 67,70 persen terpilih dengan mendapatkan suara di bawah 51 persen," papar Adung A. Rochman saat seminar evaluasi satu tahun pilkada di Jakarta, Rabu (28/6/2006). Hal tersebut mengakibatkan legitimasi kepala daerah terpilih kurang kuat.

Keadaan ini secara tidak langsung disebabkan oleh regulasi pilkada itu sendiri. Jika UU Pemilu mengharuskan pasangan capres dan cawapres merebut suara 50% plus satu agar dapat menjadi pemenang, tidak demikian dengan pilkada. Pemenang cukup memiliki suara 25 % plus satu seperti termaktub dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 95 ayat (2) PP No. 6 Tahun 2005. Juga tidak diharuskannya pilkada putaran kedua, seperti halnya pemilihan presiden.

Kenapa? Alasannya sangat pragmatis; demi efisiensi pendanaan. Ini sebagaimana diungkapkan Hadar N. Gumay, saat dia mengajukan RUU Pemerintahan Daerah. “Kami pernah mengusulkan kepada DPR, dengan agak mengalah, sebanyak 40%. Sekurang-kurangnya 40%. Tapi kalau kurang dari itu, harus ke putaran dua. Tetapi di UU No. 32 ini ‘kan hanya 25% plus satu? Itu kecil sekali.” Hadar melanjutkan, “Waktu itu mereka (DPR, red.) bilang; 'Wah, nanti, biayanya terlalu tinggi kalau sampai putaran kedua”.

Tawaran Alternatif

Lalu bagaimana mengatasi pilkada bermasalah ini? Ada bebarapa tawaran alternatif yang patut disimak. Pertama, soal teknis. Mau tidak mau, UU No.32 mesti direvisi terutama menyangkut pemisahan rezim pemerintahan dan rezim pemilu. Yang berlaku selama ini, urusan pilkada adalah urusan berdua; KPUD dan Pemda. Depdagri bahkan membentuk badan bernama desk pilkada untuk urusan ini. Bukannya efektif, keduanya seringkali malah tumpang tindih.

Kedua, menyangkut problem non teknis. Ini terkait dengan kepuasan rakyat atas kandidat terpilih, dapat diperkenalkan sistem baru. Bentuknya, menurut Hadar, adalah direct democracy yang sebenarnya, di mana rakyat memiliki hak inisiatif untuk mengajukan keberatan kepala daerah terpilih. Dengan kata lain, bila sang kepala daerah tak cakap memimpin, ia dapat diturunkan (di-recall) tanpa menunggu masa jabatannya khatam lima tahun. Tentu, setelah diadakan referendum atau semacam jajak pendapat terlebih dahulu dengan memakai prosedur tertentu.

Kini, usulan di atas menunggu diperjuangkan. Bila tidak, perbaikan yang dijanjikan pilkada langsung jangan harap menjadi kenyataan. Wallahu A’lam. (Nurun Nisa’ dkk)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Marilah kita semua, segenap masyarakat Kabupaten Manggarai Timur untuk mendukung Paket "SALUS" sebagai Calon Bupati & Calon Wakil Bupati.

Pertama, karena background mereka berdua adalah dari Katekis yang bersih, polos & jujur, sehingga bisa membawa kemajuan pembangunan bagi masyarakat Kabupaten Manggarai Timur. Sebab Pemerintahan yang Bersih & Berwibawa adalah Modal Utama bagi Pembangunan suatu Daerah.

Yang Kedua, bahwa Visi & Misi keduanya jelas semua serta tidak muluk-muluk. Dan buat Pak Sebinus Suardi yang biasa berhubungan dengan Perusahaan skala Nasional & Asing, tidaklah sulit untuk menggandengnya masuk menjadi Investor di Manggarai Timur. Sebab Manggarai Timur memang mempunyai banyak potensi yang belum dikelola dan sama sekali belum tersentuh oleh Pembangunan.

Jadi kesimpulannya sekali lagi bahwa seluruh komponen & lapisan masyarakat Kabupaten Manggarai Timur di manapun ANDA berada, dihimbau kiranya untuk bahu-membahu memberikan dukungan penuh bagi Paket "SALUS" agar mereka bisa memimpin Kabupaten yang kita cintai ini.

Hidup SALUS! Hidup Pembangunan Kabupaten Manggarai Timur!!! GOD Bless You All ......



Salam Hangat Dalam Kristus,


Claudius Erwin Mulialim
------------------------
erwin.mulialim@gmail.com